Seorang pengamat mengatakan bahwa produsen hoax paling besar dan sempurna adalah pemerintah karena pemerintah memiliki semua instrumen yang bisa diberdayakan untuk membuat hoax, lalu menyebarkannya. Ini bukan sekadar hoax, tapi di balik itu ada ikhtiar sistematis untuk menutupi kebenaran yang sengaja disembunyikan.
Pada dasarnya, hoax memang dibuat dengan sengaja untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian karena hanya dengan itu massa bisa digerakkan atau, sebaliknya, disuruh berdiam diri. Bergantung pada isi hoax yang disebarluaskan, dampaknya juga bisa diukur. Kalau dulu sering disebut ada politik disinformasi, maka penyebaran hoax ini adalah kelanjutannya dan sekarang semakin luas menyebar.
Produsen hoax itu bisa siapa saja dan saya tak berani mengatakan bahwa pemerintah adalah produsen hoax paling besar dan sempurna. Dalam kecanggihan media sosial sekarang, siapa pun bisa memproduksi hoax lebih besar dari negara dan bisa lebih efektif. Tak berlebihan jika saya katakan bahwa telah tumbuh industri hoax yang berinduk pada banyak kepala, entah itu pemerintah, pihak swasta, atau individu. Hoax bisa diperdagangkan karena produksinya membutuhkan bukan saja keterampilan, tapi juga orang-orang yang berkomitmen untuk membuat strategi produksi dan penyebaran hoax. Karena itu, kampanye bisa disertai dengan hoax, pemerintahan bisa dipermainkan dengan hoax, dan para pesohor bisa dirusak karena hoax.
Dunia memang sedang berubah. Hal-hal yang dulu tak pernah terbayangkan sebagai kenormalan sekarang menjadi kenormalan dalam keseharian. Terorisme, isolasianisme, dan fundamentalisme telah menjadi kenormalan baru. Saya kira hoax juga sudah menjadi kenormalan baru. Suka-tidak suka kita mesti berurusan dengannya dan sekarang bergantung pada kita bagaimana menyikapinya.
Tak perlulah bahaya hoax ini dilebih-lebihkan. Kita mesti belajar menanggapinya dengan kepala dingin, jernih, dan cerdas. Kebohongan sesempurna apa pun tak akan bisa mengalahkan akal sehat. Kebohongan yang sifatnya individual tak perlu kita risaukan, tapi kebohongan yang menyangkut masa depan kita semua yang majemuk, harmonis, bersatu, dan toleran perlu kita tanggapi secara tegas. Kita tak boleh menganggap remeh hoax yang akan mencabik-cabik negeri ini.
Kita memiliki perangkat peraturan perundangan untuk melawan dan menghukum mereka yang memproduksi hoax yang memecah-belah bangsa. Pasal 156 dan 156a KUHP dan Pasal 27 dan 28 UU ITE bisa dipakai, walaupun itu adalah pasal-pasal yang sejak dulu kita tentang. Pasal-pasal tersebut masih bisa dipakai, tapi sebaiknya kita segera merumuskan perangkat perundangan baru untuk mengganti perangkat hukum yang cenderung bisa disalahgunakan itu.
Sering sekali penegakan hukum mengalami kesu-litan menghadapi hoax karena dia keluar dari akun yang tak jelas pembuatnya dan tak bisa dilacak. Mereka bisa diblokir, tapi akan lahir seribu akun pengganti. Jadi, tugas memblokir adalah tugas yang harus dijalankan meski akan lahir lebih banyak akun anonim dan palsu. Kita harus adu napas. Tapi kita juga tak boleh menafikan adanya akun anonim yang membantu membongkar kasus korupsi atau narkoba.
Ini tantangan bagi penegakan hukum dan intervensi melalui regulasi. Sikap Mahkamah Agung kita tidak begitu jelas. Kita tak pernah bisa membaca alasan rasional sikap Mahkamah Agung karena argumentasinya memang tak pernah dijelaskan secara rinci.
Bandingkan dengan Mahkamah Agung Amerika dalam kasus Cohen vs California (1971) dan United States vs Alvares (2012). Mahkamah mengatakan masyarakat Amerika punya komitmen nasional yang kuat untuk menyelenggarakan debat publik terbuka tentang hal yang tak boleh dilarang atau dihalangi. Dengan perspektif seperti ini, intervensi melalui regulasi tak boleh mematikan debat publik. Sebab, debat publik inilah tiang dan sokoguru demokrasi.
Sekarang ini RUU KUHP sedang diperdebatkan di DPR. Saya tak tahu sudah sampai di mana perdebatannya, tapi sekaranglah saatnya DPR dan pemerintah merumuskan ketentuan mengenai ujaran kebencian, hate crime, hoax, dan kejahatan cyber lainnya. Mari kita tunggu.
0 komentar:
Posting Komentar