Sebagai kalimat pembuka, saya ingin mengatakan bahwa Pak Jokowi benar-benar seorang yang pemberani. Pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan Indonesia untuk mengejar ketertinggalan, bisa dikatakan sedang gila-gilaan dikerjakan. Bayangkan saja, tidak sampai 3 tahun dana yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur sudah mencapai hampir Rp 1.000 triliun, bila dirincikan tahun 2015 anggaran infrastruktur Rp 290 Triliun, tahun 2016 naik jadi Rp 313 triliun dan tahun 2017 naik lagi menjadi Rp 387,3 triliun, jadi 3 tahun terakhir dana yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 990,3 triliun. Wow!
Bayangkan saja, zaman pak SBY selama 10 tahun dana yang dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur adalah kurang lebih Rp 1500 triliun, atau sekitar Rp 150 triliun per tahun. Setengahnya saja belum sampai, dan angka pembangunan 10 tahun itu mungkin bisa dikejar hanya dalam waktu 4 tahun saja, loh! Karena itu, saudara-saudara kita di ujung Kalimantan, Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah lainnya yang selama ini sangat jarang tersentuh pembangunan akhirnya bisa melihat pembangunan yang mengagumkan di daerahnya.
Sampai di sini, saya setuju dengan apa yang dilakukan Pak De.
Sebagai rakyat biasa, yang datang dari golongan terbawah, bukan bangsawan, juga kalau luka, darahnya merah (bukan biru), maka saya tentunya sangat gembira dengan pembangunan gila-gilaan ini. Kalau Pak De menjadi presiden 2 periode, tentunya 5 tahun yang selanjutnya, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara lainnya. Kalau Pak De tidak dua periode, setidaknya presiden selanjutnya sudah bisa menikmati dan melanjutkan saja pembangunan yang sudah dibuat Pak De.
Teringat tahun 2015 lalu, setelah Pak De dilantik. Ada sebuah keputusan revolusioner nan tidak populer diambil Pak Jokowi. Mencabut subsidi BBM! Dan keputusan itu “digoreng” renyah-renyah oleh oposisi dan cabang-cabang, ranting-ranting, serta daun-daunnya untuk menghancurkan citra Pak De yang bahkan belum mulai memerintah.
Kata Pak De, daripada untuk hal yang tidak produktif (subsidi BBM) lebih baik dananya dialihkan ke pembangunan infrastruktur. Jadinya, lebih produktif dan lebih berguna bagi masyarakat, ketimbang subsidi BBM yang justru dinikmati oleh masyarakat dengan mobil mewah alias menengah ke atas.

Sampai di sini, saya juga setuju dengan apa yang dilakukan Pak De.
Ternyata, yang terjadi diluar perkiraan. Harga minyak dunia turun bebas. Jadi, tanpa harus diberi subsidi apapun, harga minyak tetap murah. Beberapa negara penghasil minyak bergoyang-goyang dangdut karena perkara harga minyak dunia yang terjun bebas ini.
Hasilnya, dana subsidi BBM yang dicabut, bisa dikatakan tidak ada. Pendapatan sektor migas juga ikut turun bebas. Tapi, pembangunan sudah direncanakan, jadi apapun yang terjadi, pembangunan tidak bisa dihentikan.
Alhasil, langkah yang harus diambil memang hanya satu : ngutang! Akibatnya, bersamaan dengan pembangunan yang gila-gilaan, maka hutang Indonesia juga ikut naik gila-gilaan. Untuk membiayai pembangunan infrastruktur selama 3 tahun yang hampir menyentuh angka Rp 1.000 triliun, maka hutang pemerintah dari 2015 sampai 2017 sudah bertambah mencapai Rp 1.063,55 triliun. Angka yang fantastis untuk kategori “hutang”, karena jumlah itu akan membengkakkan hutang Indonesia menjadi total Rp 3.672,33. Angka-angka hutang tersebut saya sadur (cieh sadur) dari BPS.
Yah tidak masalah membangun meski berhutang. Apalagi Indonesia adalah bangsa yang besar, dalam arti sesungguhnya. Wilayahnya luas, baik laut maupun daratnya. Lebih dari ribuan pulau, dan semuanya perlu tersentuh pembangunan. Kita anggap saja bila total pulau yang bisa di bangun di Indonesia ada 1.000 pulau, maka angka Rp 1.000 triliun berarti Rp 1 triliun untuk satu pulau, selama tiga tahun. Dibagikan lagi, 1 tahun berarti 1 pulau hanya kebagian jatah pembangunan sekitar Rp 330 miliar. Berarti selama 1 bulan, 1 pulau di Indonesia kebagian jatah pembangunan sekitar Rp 27 miliar. Kurang lebih begitu, kan?

Okelah, sampai di sini, saya juga masih setuju dengan apa yang dilakukan Pak De.
Nah, kalau setuju terus, kok tidak sesuai sama judul? Faktanya, ada satu yang saya kok kurang setuju dengan apa yang dilakukan Pak De untuk urusan yang satu ini. Tidak konsisten, cenderung ragu-ragu dalam keputusannya mencabut subsidi BBM.
Dalam APBN Perubahan 2017, ternyata ada item subsidi BBM yang angkanya mencapai Rp 43,7 triliun. Bahkan pada R-APBN 2018, direncanakan akan dinaikkan lagi sampai Rp 51 triliun, seperti yang ditulis kolumnis kompas.com. Lah, kok di subsidi lagi Pak De?
Di tengah hutang Indonesia yang mulai membengkak, ada kabar tidak mengenakkan dari harga minyak dunia yang kembali naik meski perlahan-lahan. Tapi meski begitu, harga minyak terutama yang premium sekarang masih di angka Rp 6.450 per liter berdasarkan ketetapan pemerintah. Nah, kok di subsidi lagi Pak De.
Meski saya berasal dari golongan paling bawah, bisa dikatakan hidup pas-pasan, tapi saya lebih setuju bila Pak De mengambil kebijakan sesuai dengan apa yang dikatakan Pak De pada tahun 2015 silam, daripada untuk subsidi BBM yang tidak produktif, lebih baik ke pembangunan infrastruktur. Toh dengan menaikkan subsidi BBM, rombongan itu-tuh tetap saja nyinyir dan share berita hoax bahwa rezim ini tidak pro rakyat lah, PKI lah, antek aseng lah dan lain-lain.
Jangan takut Pak De. Sekali cabut, tetap cabut dan alihkan ke pembangunan. Daripada membengkakkan hutang yang bisa berakibat fatal bagi negeri, lebih baik memang alihkan subsidi BBM tersebut ke tempat yang lebih membutuhkan. Rakyat akan tetap mendukung, kok. Percaya deh. Di Papua sana, harga minyak per liter di atas Rp 10.000, sedangkan di Jawa harga Rp 6.500 sudah nyinyir di dunia maya. Seperti kata Pak De, sakit di awal demi kemajuan ekonomi.