Kabar mengejutkan dari Benua Biru dimana sedikitnya 9.100 kantor cabang bank di wilayah Uni Eropa tutup. Berita itu pun heboh dan sempat viral di jejaring sosial dunia perbankan dan ekonomi pada umumnya di Indonesia. Alasannya cukup mendasar dimana transaksi cashless dalam rupa transaksi digital. (BacaNasabah Pindah ke “Online,” 48.000 Kantor Bank di Uni Eropa Tutup)
Penyebab lainnya yaitu masyarakat  yang juga makin cerdas dalam hal literasi keuangannya sehingga mendesak suku bunga kredit yang sangat rendah. Rendahnya suku bunga tersebut menekan sumber pendapatan perbankan yang biasa dipakai untuk pembiayaan, pendapatan dan investasi. Dengan kondisi demikian, laba perbankan pun menjadi tergerus. Efisiensi menjadi jalan keluarnya.
Nah, masyarakat lebih suka transaksi online di atas, banyak layanan yang selama ini dilayani secara offlinedengan melibatkan orang (person) secara langsung di kantor cabang, pun berbalik arah. Tak ayal, masyarakat justru menjauhi kantor-kantor cabang perbankan.
Masyarakat nyaman dengan layanan online yang disodorkan sejumlah aplikasi fintech (financial technology) yang kebanyakan justru dirilis bukan oleh perbankan, melainkan perusahaan jasa keuangan. Ini jelas suatu fenomena yang menarik.
Masyarakat (nasabah) tak mau ribet untuk melakukan transaksi seperti harus menuju ke kantor cabang bank atau ATM. Masyarakat berpikir praktis, kalau bisa dilakukan di genggaman tangan dengan smartphone, mengapa harus ke kantor cabang?
Cara berpikir masyarakat yang serba praktis karena dimudahkan dengan kehadiran teknologi memaksa bank mengambil langkah tragis yaitu menutup sejumlah kantor cabangnya. Bank pun terpaksa dan dengan berat hati menutup dan mengurangi karyawannya.
Pihak bank berpikir, sepinya transaksi di kantor cabang berdampak pada terkurasnya harta dan kekayaan bank karena pemasukan tak seberapa, sementara pengeluaran entah untuk karyawan, bangunan dan perawatan peralatan cenderung naik. Efisiensi diwujudkan dengan penutupan kantor cabang. Dan tentu saja tak ada jalan lain, bank terpaksa merumahkan para pengawainya. Korelasi dengan 9.100 kantor cabang di Uni Eropa yang tutup, perbankan terpaksa memangkas sekitar 50.000 orang pekerjanya. Jumlah yang tidak sedikit.
Data dari Federasi Perbankan Eropa ini cukup menjadi tamparan dunia perbankan dimana jumlah kantor cabang bank di Uni Eropa turun menjadi 189.000 kantor pada 2016 lalu dengan persentase penurunan mencapai 4,6%. Secara keseluruhan, ada 48.000 kantor cabang perbankan yang ditutup sejak tahun 2008 sampai 2016 di Eropa. (Baca: Beralih ke Online, 9.100 Kantor Bank di Eropa Tutup)
Pengurangan tersebut sudah mencapai seperlima dari jumlah kantor cabang yang ada. Selain itu, jumlah pegawai bank juga berada pada titik terendah sejak tahun 1997, yakni hanya sekitar 2,8 juta orang. Bank-bank di Inggris saja menutup 762 kantor cabangnya pada tahun ini.
“Tsunami Online
Perubahan gaya hidup offline menuju online memang banyak digandrungi masyarakat modern, dalam hal ini mereka yang tidak mau ketinggalan dengan perkembangan teknologi mulai dari gawai atau acang.
Misalkan sistem pembayaran non tunai (e-wallet) jelas terbukti sukses mengikis tunai. Kegandrungan masyarakat akan e-wallet juga berjalan seiring dengan meroketnya perusahaan financial technology (fintech) sektor pembayaraan (payment) di Indonesia.
Data terkini Asosiasi Fintech Indonesia menunjukkan sektor payment ini mendominasi gurita fintech dengan penetrasi sebesar 40%, meninggalkan sektor lending (23%), agregator (12%), crowdfunding (7%), personal/financial planning (7%) dan sekor lainnya (11%).
Sektor payment non tunai memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia karena kehadirannya mempermudah dan memangkas alur transaksi pembayaran. Masyarakat makin dimudahkan untuk melakukan transaksi hanya dalam hitungan detik secara digital, teristimewa melalui perangkat smartphone-nya.
Tak cuma mengubah uang kartal menjadi “kartu”, teknologi e-wallet mampu mengubah dompet kulit menjadi dompet digital yang dibenamkan di sebuah ponsel pintar. Karena e-wallet juga terbatas, muncul lagi inovasi-inovasi fintech modern yang lebih dari e-wallet dengan pemaksimalan saldonya.
Perkembangan gawai yang melaju pesat memang tidak serta-merta membuat orang tetap dalam posisinya sebagai obyek pasif yang gaptek. Kemajuan teknologi juga diiringi dengan strategi keterjangkauan dan kemudahan, dimana penggunaannya saja kini makin user-friendly. Penggunaan aplikasi untuk transaksi elektronik makin simpel dan mudah digunakan.
Dampak langsungnya masyarakat melirik dan nikmat dalam menggunakan transaksi elektronik. Kepraktisan pun diburu ramai-ramai hingga melahirkan semacam “badai online” atau “tsunami online” yang mengancam dunia perbankan.
Nasib Perbankan Indonesia
Tsunami atau badai online ini sudah pasti akan sampai ke Indonesia. Ini hanya soal waktu.
Dampak tsunami online memang belum nyata di Indonesia di sektor perbankan. Yang kini baru kita rasakan yaitu tutupnya 8 gerai toko Ramayana dan sepinya Pasar Glodok di Jakarta yang dulu dikenal sebagai pusat perbelanjaan elektronik. Penulis yakin ke depan kita akan lebih terperanjat dengan dampak dari “tsunami online” di sektor perbankan. Orang memilih belanja online dibanding belanja offline, orang lebih suka naik taksi online dan orang lebih suka melakukan semua transaksi pembayaran, pembelian dan transfer uang secara online.
Sekarang orang sudah capek bermacet ria di jalan untuk sekedar ke bank, plus parkir yang mahal, sampai antre di depan kasir. Tentunya lebih enak, tinggal pencet di gadget sembari duduk di atas sofa di rumah. Untung saja, aplikasi bank juga hadir, meski masih belum semasif perusahaan jasa keuangan yang dibekingi anak-anak muda modern dengan skill update.
Iseng-iseng berdiskusi dengan seorang teman di bank, terungkap fakta bahwa kini sudah banyak penyusutan karyawan di bank karena beberapa cabang ditutup dengan dalih sudah tidak efisien lagi. Nah, kalau kita juga cermat melihat, sebenarnya sekarang ini sudah banyak ATM tempat kita biasa ambil uang telah ditutup karena tidak efisien.
Nggak kebayang apa yang akan terjadi 3 sampai 5 tahun ke depan dengan perbankan, di saat warga negara Indonesia yang masuk dalam 5 besar pengguna smartphone di dunia ini, sudah banyak yang beralih melakukan transaksi lewat online. Badai itu pasti datang. ***