Yap. Untuk Pilpres 2019, memenjarakan Buni Yani adalah harga mati. Buni Yani dipastikan akan masuk bui melihat gelagat politik yang bermain. Maka Jenderal Tito Karnavian tetap komit mengawal untuk memenjarakan Buni Yani – dan juga Asma Dewi, dan Alfian Tanjung. Komitmen dan kawalan ini penting karena ada nilainya.
Nilai strategis di bidang keamanan, ketertiban, dan keseimbangan sekaligus test-case adu kekuatan di bidang hukum: antara kelompok pecinta NKRI dan kalangan kaum Islam radikal. Karenanya, harganya begitu seksi sebagai obyek dan manusia pesakitan tak bermanfaat bagi NKRI – namun secara politis sangat tinggi. Bahkan menentukan kemenangan dan kekalahan Jokowi.
Buni Yani Pertaruhan Jokowi 2019
Pengadilan (baca: pemenjaraan) terhadap Buni Yani – dan tidak seperti Asma Dewi dan Alfian Tanjung – diwarnai kepentingan politik tingkat tinggi yang ujungnya Pilpres 2019. Manusia papa moral sirik ini adalah bagian dari semua rancangan strategis yang begitu hebat menghantam kaum waras. Dia juga menyetir kaum Bumi datar tetap menjadi pendukung setia Prabowo. Dia juga terafiliasi bahkan dengan tersangka chat mesum porno manusia tak bermanfaat bagi NKRI Rizieq. Politik segregatif, RAISA (ras, agama, intoleransi, suku, dan antargolongan) menjadi alat politik segala cara yang dimainkan bersama.
Jokowi yang gagal dilengserkan sejak hari pertama pelantikannya sebagai presiden, dengan berbagai intrik politik kini terpaksa hanya bisa disingikirkan di 2019. Untuk itu semua rancangan penggerogotan suara dimulai dari Ahok menyasar Jokowi – sekecil apapun suara. Hebatnya, musuh politik Jokowi, Prabowo dan SBY, beserta pendukung mereka termasuk Anies Baswedan dan kalangan Islam radikal melihat setiap celah dengan penuh perhitungan. Termasuk kasus Buni Yani ini. Hebat.
Faktor Ahok
Faktor irisan pendukung Ahok-Jokowi yang sekitar paling kurang 5 juta orang pun digarap oleh gerombolan Islam radikal – yang berafiliasi dengan Prabowo dan SBY seperti terlihat dalam Pilkada DKI dengan mendukung Anies. Dengan cermat mereka menghitung peta politik dukungan kepada Jokowi dan Prabowo dan segera melakukan gerakan untuk pengamanannya.
Mungkin bagi sebagian orang angka 5 juta orang – taksiran terkecil irisan pendukung Ahok-Jokowi – namun dalam konstelasi dan kontestasi politik ketat menjadi sangat menentukan. Hilangnya dukungan 5 juta orang bagi Jokowi bukan angka kecil dalam Pilpres 2019. Silakan baca peta pendukung Jokowi dan Prabowo beserta pendukungya yang sangat mengkhawatirkan bagi kaum Bumi bulat.
Kegagalan memenjarakan manusia busuk tabiat akhlak pembenci kemanusiaan ini akan melukai pendukung Ahok. Pendukung Ahok ini sangat militant dan menentukan. Memang ada penafian dari kalangan yang hendak menjerumuskan Jokowi dengan niatan membuang Ahok. Faktor Ahok yang disandingkan dalam keadilan terhadap Ahok dianggap sebagai variabel kecil kemenangan dan kekalahan Jokowi.
Namun, sekali lagi dalam persaingan politik yang panas dengan fakta nyata gerakan Islam radikal yang pasti akan berafiliasi dengan partai agama PKS, Prabowo dan SBY – seperti praktik Pilkada DKI Jakarta – 5 juta suara loyal tak bisa dinafikan begitu saja.
Apalagi kita semua tahu basis strategi kampanye Jokowi dan Prabowo dan kawan-kawan bagai langit dan bumi. Jokowi masih bersifat tradisional orisinil, sementara Prabowo dan kawan-kawan melangkah dengan seluruh strategi yang cermat dan cerdas.
Sebagai gambaran kasar perolehan suara Prabowo dan Jokowi, Jawa Barat (14.167.381 atau 59,78% dan 9.530.315 atau 40,22%). Di Jawa Tengah Jokowi unggul dengan suara 12.959.540 dan Prabowo 6.485.720 suara. Di Jawa Timur Prabowo meraih 10.277.088 Jokowi 11.669.313.
Jika ditotal di tiga provinsi itu kemenangan Jokowi hanya sekitar 3,226,979 suara (Prabowo 30,930,189 dan Jokowi 34,159,168). Di tiga provinsi ini Prabowo bekerja keras. Di Jabar memerlebar jurang kemenangan, di Jatim dan Jateng menggerogoti, sementara di provinsi-provinsi lain terjadi perubahan misalnya terkait dukungan Jusuf Kalla. Ini tentu berat untuk Jokowi.
Sementara secara nasional kemenangan Jokowi 70,997,833 dan Prabowo 62,576,444 suara, atau selisih hanya8,421,389 suara. Maka bisa dibayangkan jika Jokowi di 2019 kehilangan suara 5 juta, dipastikan Jokowi akan kalah.
Loh memang tidak ada pergeseran suara bersilang ke Jokowi dan Prabowo serta sebaliknya? Ada. Tetapi tidak signifikan. (Penyebabnya kemampuan manajerial kampanye Prabowo cs. Nanti kita bongkar pada waktunya agar mereka keok.) Bahkan kolerasi antara kepuasan kinerja dengan pilihan nyaris tidak ada. Buktinya Ahok yang kepuasaan kinerjanya 76% kalah dan hanya merebut 42 persen suara.
Nah, variable penyebab kemenangan dan kekalahan itu antara lain adalah cara kampanye, kekuatan uang atau finansial, relawan, dan faktor politik dan psikologis pemilih. Faktor emosional seperti rasa keadilan menjadi penentu. Dan, Ahok mau tidak mau adalah salah satu variable atau faktor kemenangan dan kekalahan Jokowi di 2019. Pahit memang. Tapi ini kenyataan. Jadi?
Memelototi Keterlibatan Mafia Peradilan
Menyadari nilai strategis pembebasan dan pemenjaraan para manusia berpaham bigot, bigotry – istilah yang suka dipakai penyusup di group WA, facebook, Tele, untuk adu domba – maka Asma Dewi, Buni Yani, dan Alfian Tanjung tetap akan dibui meski dibela oleh Yusril sekali pun. Karena mereka menjadi simbol kemenangan gerakan Islam radikal dan politik busuk berdasarkan RAISA.
Para pendukung mereka yakni mafia dan Islam radikal dengan segala cara berupaya untuk pembebasan Buni Yani. Bahkan untuk membebaskan Buni Yani, Yusril yang memang senang bahagia membela kaum Bumi datar, daster Arabia, turun gunung.
Meskipun publik tahu Yusril yang ahli hukum tata negara tak memiliki kapasitas di ITE, dipaksakan hadir. Ini untuk menundukkan hakim-hakim yang sezaman dengan Yusril yang pernah menjadi menteri.(Kalau saksi lainnya tak usah dihitung seperti Musni Umar yang jelas condong ke Buni Yani, dll. Yusril ini jelas memihak ke Buni Yani – maka Jaksa pun protes, dan tentu tak digubris oleh hakim.)
Keterlibatan Yusril dalam membela Buni Yani ini sangat menarik karena dia bagian dari status quo. Dia adalah pendukung dan pembela HTI – ormas anti Pancasila pendukung khilafah. Bahkan saking dekatnya dia dengan HTI, dia mengajak eks HTI menjadi calon legislator PBB. Langkah yang jelas bertentangan dengan logika kaum yang masih waras. Bekas HTI anti Pancasila dan NKRI kok mau dibela malah disorongkan menjadi anggota DPR/D.
(Memang Buni Yani dan juga Asma Dewi dan Alfian Tanjung adalah manusia kelompok kelas paria dalam tabiat dan sikap. Ketiga manusia ini adalah apkir akhlak. Artinya, mereka mendudukkan akhlak mereka dalam kubangan kebejatan moral yang tak terbayangkan oleh manusia normal dan waras. Segala cara ditempuh berupa fitnah, adu domba, kebohongan, bigot – ini kata gaya-gayaan yang suka disitir para komando partai sapi untuk memelintir berita dari dalang penjelekan terhadap Jokowi dan Ahok.
Asma Dewi adalah bagian integral dari Saracen. Tak akan bisa menyangkal manusia terkutuk demokrasi ini. Dia adalah bigot sok merasa benar sendiri, kaki tangan Islam radikal yang memang pas. Jejak langkah manusia munafik, jahat, dan pembenci Islam. Tidak ada ajaran Islam yang menyuruh membunuh manusia lain seenak perut buncitnya dan sebagus muka indah penuh durhaka durjana itu.
Sementara Alfian Tanjung tak usah dibahas sudah tamat tanpa harus dikawal, biarkan membusuk dan kita gunakan sebagai pemetaan kalangan islam radikal pendukungnya. Biarkan pengadilannyam enggelinding sendiri tanpa rem karena tak memiliki nilai strategis sama sekali ketika sudah dicokok.)
Jadi jika diamati dengan seksama, maka tampak sekali pendukung daster Arabia datang menguasai persidangan. Kelompok mafia dan koruptor yang memiliki kepentingan menimpangkan keadilan atas Ahok dan Buni Yani – untuk tujuan menggerus suara Jokowi di 2019 – bermain.
Dan, pekerjaan, strategi, taktik, cara mereka rapi dan nekat dan bisa melibatkan mafia peradilan dan mafia lainnya. Sinergi ini dikawal dengan memelototi persidangan, catatan hakim dan jaksa, yang semuanya bermuara pada perang kepentingan politik luar biasa di luar mereka.
Mengawal Peradilan Buni Yani
Melihat gambaran di atas, maka mengawal untuk memenjarakan Buni Yani adalah prioritas tugas mendesak dan perlu. Publik harus juga mengawal karena subyektivitas hakim begitu tinggi. Pun di dalam persidangannya dipenuhi oleh kaum Bumi datar dan daster Arabia pendukung mereka. Belum lagi faktor Bandung dan Jabar sebagai pusat Islam radikal nomor wahid menjadi ancaman bagi keadilan di pengadilan.
Pengadilan dan peradilan (baca: hukum) adalah barang mewah di negeri para bedebah mafia. Kenyataan hasil investigasi dan informasi menyebutkan 70 persen keputusan hakim adalah intervensi mafia peradilan. Ini masuk akal. Karena terbukti banyak sekali kasus yang aneh keputusannya. Pun juga banyak hakim, pengacara, jaksa, panitera, dan bahkan sopir tertangkap terlibat dalam korupsi peradilan.
Hakim hanyalah pelaksana ‘hukum’ di Indonesia. Kekuatan adalah pokok isu peradilan dan pengadilan. Kekuatan awal dimulai dari Polri yang dipegang dan dikomando Jenderal Tito Karnavian. Awal mereka dicokok sampai menjadi tersangka adalah kemauan ada di tangannya.
Nah, Buni Yani tetap menjadi yang dikawal pertama masuk bui. Sedangkan Alfian Tanjung dan Asma Dewi tidak memiliki nilai politis sama sekali dan mafia hukum tidak akan bekerja. Mereka hanya akan menjadi korban kesia-siaan dan tidak berguna sama sekali bagi NKRI, kemanusiaan, dan hanya akan menjadi manusia apkiran fid dunya wal akhirat. Amien (tanpa) Rais.
Kasus Buni Yani ini adalah pekerjaan TO strategis the Operators tentu, dan juga pencinta NKRI, Pancasila, dalam melawan mafia hukum yang coba bermain dalam kasus Buni Yani yang sangat memiliki nilai politis yang coba dinafikan oleh kalangan penjerumus Jokowi . Salam bahagia ala saya.