Cari Blog Ini

Selasa, 02 Mei 2017

UNITY AND SOCIAL HARMONY


“Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa”
Tulisan ini adalah tugas Kontemplatif dari Kuliah Umum bersama Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
Sebuah Pengantar
Keringat zaman semakin mengerutkan jidat kehidupan duniawi. Hal tersebut diiringi dengan kemunculan berbagai fenomena gejala-gejala kemanusiaan (baca: budaya) kian menjadi perbincangan ontologis di berbagai dimensi ilmiah secara normatif. Seakan daya perenungan sufistik mendesak untuk dimunculkan pada permukaan dinamika filosofis yang dialektif—kemudian menjadi rangkaian perdebatan “holistic”.  Seandainya saja tali perdebatan dapat dikompromikan, mungkin akan melahirkan tatanan nilai yang harmonis sesuai koridor pembenarannya, karena nilai selalu bersilaturahmi pada pembenaran subyektif. Hal ini kemudian mengemuka pada beberapa fase zaman yang saling berseberangan. Beberapa pendapat membenarkan bahwa gejala kemanusiaan akan menemui wacana perebutan kekuasaan, coup d’etat, sampai ia menemukan ajalnya.[1] Motinggo Busye berkisah bahwa perebutan kekuasan ini menampilkan dua kekuatan primer manusia (si baik dan si buruk, penj). Jika ditelaah secara mikro, perebutan kekuasaan sudah menjadi hak primer manusia dalam menyejarah sebagai individu yang sadar akan nilai kemanusiaannya. Blaise Pascal menyebut bahwa perebutan kekuasaan tersebut sebagai kejadian dua infinita.[2]  Di samping itu, Studi islam menjelaskan adanya fitrah pada diri manusia sebagai keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia dan cenderung pada kebenaran.[3] Disamping itu, manusia juga memiliki kehendak untuk menentukan nilainya, terkadang kehendak tersebut sering terpengaruh pada hal yang negatif—banyak yang menyebutnya dengan godaan iblis yang terkutuk. Menyambung pemahaman studi tersebut, seorang novelis inggris, Dan Brown mengisahkan nilai-nilai kemanusiaan lewat novelettenya Angel & Devils. Ia mencerna dari perebutan kekuasaan dalam kekuatan setan dan kekuatan malaikat dalam diri setiap manusia. Secara epistemologis, gejala ini merupakan kondisi historis dari manusia sebagai subjek dari nilai tersebut. Sesuatu kerangka epik dalam kehidupan manusia saat diramu menjadi butiran-butiran yang menyatu dengan ruh primordialnya. Berbagai kisah perebutan kekuasaan ini sering ditampilkan oleh zamannya sendiri dalam bingkai eksekusi dari bentuk perlawanan batin yang bergelora.

Konsep Dasar Nilai Kemanusiaan
Essay ini menyajikan perebutan kekuasaan pada kendali jiwa manusia yang menjadi kekuatan besar dalam dekadensi kehidupan kontemporer. Insiden tersebut banyak membuka mata dunia akan ganasnya perebutan kekuasaan yang individualistik menjadi serangan massif terhadap nilai kemanusiaan yang represif-dekonstruktif. Perjalanan peradaban yang panjang pun seolah telah ditakdirkan untuk menemui sorotan kegelisahan global saat manusia hanya bernilai sebagai makhluk di antara dunia benar dan dunia salah. Hal ini tentu mengerikan bagi persaudaraan universal (universal brotherhood) bahkan bagi kelangsungan hidup manusia. Fenomena dekadensi kemanusiaan menjadi catatan peradaban penting untuk mengetahui sejauh mana manusia dapat bertahan dalam perdamaian. Cita-cita perdamaian dunia tentu milik semua manusia—dengan sifatnya multidimensional, baik kehidupan beragama, berbangsa, bernegara—yang mendambakan kebahagiaan tanpa harus mengumpat pada ke perebutan kekuasaan yang akan berdampak penilaian benar dan salah. Dalam hukum kekuasaan Yunani Kuno berlaku bahwa yang benar harus memaksakan kehendaknya pada yang salah. Fenomena ini yang terjadi di dunia hingga kini.
Cara-cara refresif-dekonstruktif ini yang kemudian menjadi perdebatan sengit dalam ruh tulisan ini. Pembatasan kajian akan mengarah pada kekerasan yang mengatasnamakan norma-norma, etika, fatwa, dan segala perangkat yang menyangkut nilai lainnya. Tentu ruang lingkup yang jelas adalah demokrasi dalam bingkai agama. Hal ini dikarenakan  banyaknya kasus perbedaan secara umum yang menjadi jurang pemisah bagi kehidupan berbangsa dan beragama yang berujung pada tindakan-tindakan nonkonsolidatif. Wabah ini akhirnya akan menimbulkan banyak kekisruhan yang mengancam keharmonisan dan sikap bertenggang rasa antar umat beragama bahkan antar golongan dalam suatu agama tertentu. Hal ini akan menimbulkan beban psikis yang memilukan bagi para kelompok minoritas. Kesetimpangan ini menjadi kelucuan dekadentif ketika sebuah kebenaran hanya mampu dipaksakan oleh kelompok mayoritas. Kualitas kebenarannya pun sangat subyektif, apalagi jika dengan tindakan-tindakan di luar prinsip kemanusiaan (baca:kekerasan). Tindakan tersebut berdampak tidak hanya pada psikologis, juga fisik. Bagaimana tidak? Saat manusia menemui dirinya terancam secara fisik, di samping itu pula psikologisnya terancam. Itu merupakan kedua pilar gejala normal yang ada pada diri manusia ketika mendapat ancaman. Fenomena dekadensi moral sebenarnya saat terjadinya ancaman kedua pilar tersebut, bukan hanya pada satu sisi psikis yang banyak didengungkan oleh kaum bagai manusia titisan surga yang belakangan ini banyak menjadi sorotan media, karena prinsip hidup itu berimbang.


Perdebatan Teologis dalam Kerangka Kehidupan Bernegara
Rekayasa untuk menjadikan bangsa majemuk ini menjadi bangsa yang ekslusif telah berulang kali kita saksikan, baiki itu dari media-media, buku, sejarah, dan bahkan menyaksikan langsung kejadian tersebut.   Tentu ini bagian dari PR kita bersama sebagai warga Negara yang berdiri pada Negara yang demokratis dan pluralis. Tidak semestinya suatu kelompok memaksakan pandangannya kepada kelompok lain agar sama pandangannya dengan kelompok mereka. Hal demikian sangat mustahil. Karena setiap orang punya cara pandang, masing-masing, memiliki daya nalar, kepercayaan, dan keyakinan masing-masing. Mengapa mesti disamakan. Kejadian ini ramai kembali di berbagai media saat Lady Gaga akan menyelenggarakan konser di negeri tercinta. Berbagai kelompok yang kebanyakan dari ormas-ormas Islam menolak dengan keras kehadirannya yang dianggap sebagai representasi dari setan dengan symbol-simbol yang dibawanya dalam setiap pementasan, juga ada beberapa lirik lagunya yang menghina salah satu agama (sebut saja Kristen). Hal demikian memang benar adanya. Bagi pemerhati perilaku manusia seperti beberapa ormas tersebut memang ini menjadi momok yang mengerikan bagi perkembangan psikologis para penggemar Lady Gaga. Secara normatif pandangan saya cukup bersilaturahmi dengan ormas-ormas tersebut, karena memang bangsa ini harus dijaga jiwa raganya, jangan sampai terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Sesuai dengan lirik lagu Indonesia Raya  yaitu “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Raganya untuk Indonesia Raya…” bagaimana pembangunan jiwa bangsa ini akan terus berkembang, jika selalu dihambat dengan era-era moderisasi yang terlalu banyak negatifnya. Maka segala bentuk apa pun yang menghalangi pembangunan jiwa dan raga bangsa Indonesia itu harus dicegah dan ditolak. Dengan begitu, bangsa ini telah menunjukkan kewibawaannya sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Bangsa ini memiliki kepekaan terhadap segala hal yang berbau “pengrusakan”, baik itu moral maupun budaya bangsa. Bangsa ini memiliki sensor terhadap tindakan-tindakan nonetis yang dapat menelanjangi nilai-nilai yang dibangun dari berbagai peradaban nenek moyang. Sensor itu berbunyi nyaring saat bangsa ini mengalami serangan, dan tak lain sensor itu adalah Negara dan pemerintah yang berwenang untuk memutuskan kebijakan sensor akhir dari berbagai sensor-sensor yang banyak dilakukan oleh ormas-ormas yang menganggap kelompoknya yang berhak atas memberikan sensor dari hadirnya serangan-serangan tersebut. Tentu ini menyalahi aturan perundang-undangan ketatanegaraan, bahwa segala hal yang menyangkut eksekusi dari segala bentuk penilaian rakyat dan masukan, pertimbangan, dan nasihat yang berwenang adalah Negara, dalam hal ini adalah kepala Negara—sekaligus kepala pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia—bukan ormas-ormas yang selalu membawa panji kelompoknya sebagai lambang penolakan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan budaya bangsa. Negara kita Negara hukum, maka seyogyanya jadikanlah hukum sebagai panglima yang mengatur semua tindakan-tindakan yang melanggar hukum yang tidak sesuai dengan adat dan budaya bangsa. Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, menuliskan tentang fase-fase amar ma’ruf nahi munkarbahwa ketikan ada penguasa, rakyat hanya boleh dalam 2 hal, yaitu; memberitahukan dan memberi nasihat. Sedangkan untuk tindakan di luar itu—seperti peneguran, bahkan pemukulan—diserahkan pada negara.[4] Namun, ada sebagian kecil golongan yang tidak menerima hal itu, mereka menggunakan buku karangan “bossnya”. Jika pertentangan ini diniatkan terjadi, maka saya nyatakan bahwa pemerintah tidak tegas dan lamban untuk bertindak yang lebih bijaksana. Porsi pemerintah dalam kasus ini harus cepat tanggap, bukan hanya berpidato, mengeluh atas kejadian yang telah terjadi. Mau sampai kapan rakyat mendengarkan keluhan-keluhan pemerintah yang tidak bermutu? Sedangkan banyak rakyat yang sudah menjadi korban.  Jangan sampai nilai kemanusiaan yang sudah jelas diatur dalam UU dan dalam norma-norma agama diselewengkan bahkan dilecehkan oleh perdebatan2 apologis dari golongan2 tertentu. Negara mesti berdiri di atas semua golongan. Jelas tidak dibenarkan jika ada suatu kelompok yang menjadi ancaman bagi orang, atau kelompok lain. Apalagi dengan menggunakan kekerasan, akibat yang ditimbulkan tidak hanya dampak psikologis seperti yang dikhawatirkan oleh ormas tertentu dari kehadiran Lady Gaga, namun juga dampak psikis yang ditimbulkan merupakan dampak serius dalam penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ormas—untuk sementara tidak dapat saya sebutkan terlebih dahulu—yang mengklaim bahwa kelompoknnya berhak melakukan kekerasan mungkin tidak pernah menyadari dan merasakan bagaimana rasannya ketika mendapati dirinya berlumuran darah akibat pemukulan dan pengeroyokan seperti tragedi di hari bersejarah, yaitu Hari Kelahiran Pancasila (2008). Ratusan orang diserang dengan bermacam benda yang dihantamkan pada anggota tubuh mereka oleh ormas—karena selalu merasa paling benar, maka saya menyebutnya sebagai kelompok “manusia surga”—tersebut, bahkan mereka menyerang dengan sangat tidak berperikemanusiaan dan tak pandang buluh, wanita dan anak-anak menjadi korban aksi biadab tersebut. Selang sehari dari kejadian itu, Presiden berpidato pada rakyat Indonesia dan mengeluh mengapa peristiwa biadab itu mesti terjadi. Jika pemerintah terus lamban menangani kasus tersebut, maka saya berpandangan bahwa pemerintah telah gagal melindungi segenap warga negaranya, dan hal ini jelas sekali bertentangan dengan UUD 1945. Jika pemerintah tidak bias menjamin perlindungan bagi warganya, sama saja Negara ini tidak memiliki kepala Negara bahkan mungkin tidak memiliki kepala pemerintahan, dalam hal ini presiden. Bangsa ini akan mengalami degradasi jika kekerasan atas nama agama dan perbedaan pandangan ini terus terjadi, bahkan akan terpecah belah menjadi kepingan-kepingan kehinaan. Karena kekerasan itu akan membawaq bencana bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang majemuk dan plural ini. Pakar Teologi Khatolik sekaligus Guru Besar Teologi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF-Driyarkara), Romo Franz Magnis Suseno,SJ, mengatakan bahwa Indonesia hanya bisa bersatu kalau kemajemukan itu diakui. Pada tahun 1945 para pendiri Republik ini, khususnya tokoh-tokoh Islam memiliki kebesaran hati untuk menerima bahwa Negara yang baru diproklamasikan  kemerdekaannya ini dimiliki oleh semua warganya (tidak hanya satu golongan saja,penj) tanpa membedakan agama, suku, budaya, bahasa, dan antara mayoritas dan minoritas.[5] Itulah hakikat Pancasila sebagai ruh bangsa Indonesia.[6]

Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai Perekat Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Bangsa ini terdiri atas lebih dari 17.000 pulau dan ratusan suku, budaya, adat, dan bahasa yang berbeda, semua perbedaan tersebut mendapat jaminan bersatu dalam falsafah bangsa, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika sebagai kerangka dasar bangsa merupakan daya dan energi bagi persatuan dan kesatuan bangsa yang pluralistik dengan Pancasila sebagai pedoman yang mengantarkan bangsa ini berdaulat dan bermartabat.  Jika ada keyakinan  ekslusif yang ingin memaksakan pandanagnnya, maka mesti dihindarkan demi keutuhan dan perdamaian bangsa sesuai dengan cita-cita bangsa. Dalam Pancasila, telah dipecahkan masalah tentang apakah Indonesia berdasarkan Islam atau berdasarkan nasionalisme. Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan empat prinsip etika politik, dank arena itu mempunya ruang bagi semua.
Sebagai penutup, dalam kerangka kehidupan, manusia tampak sebagai makhluk paradoksal dan senantiasa berbaur dengan nilai-nilai yang terkadang mengikatnya, dan apakah nilai itu benar atau salah, manusia hanya bisa berikhtiar dan mengejawantahkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan naluri ilahiahnya seperti dibahas di muka tulisan ini. Selama manusia hidup di dunia ini, manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan yang didambakannya, ia mati dalam selalu keadaan “belum selesai.”[7] Dalam perbutan kekuasaan tersebut hendaknya manusia dapat memelihara status quosebagai pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaanya yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Manusia yang dapat memelihara itu dapat dikatakan sebagai ujud manusia total atau insan kamil[8]. Ketika semuanya berjalan harmonis akan menciptakan semuah keserasian yang indah. Tentu setiap nilai mesti mengandung kebenaran, dan Allah, Tuhan Yang Mahakuasa lah yang akan menilai suatu kebenaran tersebut.


Catatan Kaki
[1] Motinggo Busye, Sanu Infinita Kembar, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hal. IX
[2] Mackie, John Leslie. The Miracle of Theism: Arguments for and against the Existence of God. (Oxford: Oxford University Press, 1982).
[3] Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
[4] Dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali sebenarnya ada 4 fase untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, fase pertama ialah mengenali sesuatu tersebut, dan yang terakhir adalah memukul (fii dorobi) dalam bahasa arab juga berarti menimbang bahkan sampai mnghukum, kemudian Imam Al-Ghazali menjelaskan siapa yang menjalankan itu?, ketika ada penguasa, rakyat tidak boleh melakukan kecuali dua saja dari fase-fase itu, yaitu memberitahukan dan member nasihat, tentang mahakam itu hak penguasa untuk menjalankannya. Bahkan dalam kitab lain, dari Syeikh Abdul Qodir Zailany menuliskan pula dalam kitabnya, bahwa amar ma’ruf nahi munkar pun dapat diharamkan jika menimbulkan kekerasan.
[5] Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan berbeda-beda bahasa, agama, warna kulit, budaya, suku, adat, karena semua itu dianugerakhan agar manusia dapat saling mengenal dan saling bersilaturahmi, menghargai satu sama lain, menghormati perbedaan tersebut.
[6] Franz Magnis-Suseno, SJ, Pluralisme dan Reaktualisasi Pancasila, (dalam kumpulan tulisan Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa karya Jimmy Oentoro, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal.26.
[7] Louis Leahy, Essay Filsafat untuk Masa Kini; Telaah masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal.3.
 [8] Dalam NDP HMI, yang dimaksud dengan insane kamil atau manusia total adalah manusia yang setiap kegiatan mental dan psikisnya merupakan suatu keseluruhan (tidak sebagian saja atau dalam setiap perebutan kekuasaan antara dua kekuatan ruh manusia menghilangkan atau mengalahkan satu-samalain, karena Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup, penj)
Oleh : Johan Aristya Lesmana

0 komentar:

Posting Komentar