Cari Blog Ini

Rabu, 31 Mei 2017

Peranan Agama dalam Membangun Perdamaian yang Berkesinambungan


Jakarta, (ICMI Media) - Dua hari lalu saya mendapat kehormatan untuk menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tingkat tinggi (high level discussion) di PBB New York. Acara yang disponsori oleh kantor Presiden SMU PBB (UN General Assembly) ini mengangkat tema: The role of religion in building sustainable peace (peranan agama dalam membangun perdamaian yang berkesinambungan).

Hadir sebagai pembicara, selain wakil negara-negara anggota PBB, juga beberapa pejabat tinggi negara. Menlu Kazakastan, Presiden GA PBB yang juga mantan presiden Finland itu.

Dalam presentasi saya kembali menekankan bahwa pembahasan tingkat tinggi tentang peranan agama dalam membangun perdamaian adalah sesuatu yang harus dihargai. Karena dimasukkannya agama sebagai pembahasan di kancah internasional mengindikasikan jika agama memanh kembali diakui sebagai aktor penting dalam kehidupan publik manusia, termasuk dalam hubungan global saat ini.

Dengan kata lain agama bukan sekedar menyentuh kehidupan privat, yang juga dibatasi pada masalah-masalah ritual ubudiyah dan spiritualitas. Agama seringkali dipersepsikan sebagai ajaran seremonial yang bersentuhan dengan ubudiyah individual.
 
Membangun narasi agama yang benar

Jika agama memang diharapkan memainkan peranan penting dalam membangun perdamaian yang berkesinambungan maka hal pertama yang harus dirubah adalah narasi agama itu sendiri. Selama ini narasi yang berkembang seolah agama itu menjadi sumber kekerasan, terorisme dan berbagai aksi pengrusakan dalam kehidupan dan peradaban.

Dengan harapan agama memainkan peranan perdamaian baiknya narasi seperti di atas dirubah menjadi agama sebagai sumber perdamaian, keadilan, kemakmuran, persaudaraan dan kerjasam, serta kemakmuran dan peradaban.

Hanya dengan narasi tentang agama yang benar akan tumbuh prilaku manusia beragama secara benar pula. Jika agama dipahami sebagai ajaran yang yang mengajarkan kemarahan (anger) atau ajaran yang mengajarkan kebencian (hate) maka pemeluknya akan dengan mudah berprilaku demikian atas nama agama itu.

Oleh karenanya perubahan narasi  beragama menjadi esensial dalam merubah karakter manusia, terlebih lagi atas nama agama yang dianutnya. Secara esensi Islam adalah agama perdamaian, keadilan, kemajuan, kehidupan dan peradaban. Narasi agama seperti inilah yang perlu dibangun di saat umat ini rentang mengalami cobaan. Bahwa beragama Islam bukan sekedar gelar. Tapi sebuah kekuatan yang bersumber dari dalam (internal strength) yang membawa kepada kekuatan luar (external strength). Kekuatan itulah yang terefleksi dalam kehidupannya, baik pada tataran privat maupun kolektifnya.
 
Kerjasama antar komunitas agama

Salah satu flatform yan kuat dalam upaya menjadikan agama sebagai basis pembangunan perdamaian yang berkesinambungan adalah melalui kerjasama antar komunitas agama (interreligious cooperation). Sebab memang hilangnya kerjasama antar pemeluk agama rentang menjadi faktor kecurigaan dan bahkan tumbuhnya kemarahan atas nama agama.

Dilemanya kemudian adalah bahwa upaya membangun kerjasama antar pemeluk agama ini bukanlah hal mudah. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Satu di antaranya urgensi membangun kepercayaan (trust) antar pemeluk agama itu sendiri. Kerjasama tidak mungkin akan efektif jika dibangun di atas kecurigaan (suspicion).
 
Untuk terbangunnya kepercayaan ini ada minimal dua hal yang juga perlu dibenahi:

Pertama, isu generalisasi. Selama ini seringkali jika segelintir dari kalangan pemeluk agama tertentu malakukan kekerasan, ambillah misalnya terorisme, seolah keseluruhan anggota umat ini adalah teroris. Itulah yang kemudian berdampak kepada kebijakan imigrasi, di mana mereka yang beragama tertentu dan berlatar belakang etnik tertentu harus melalui proses yang berbeda dari orang lain. Semua itu karena ada kecenderungan melakukan generalisasi. Padahal senua komunitas agama itu bersifat majemuk (ragam). Umat Islam misalnya tidak bersifat monolithic, bahkan ragam seragan manusia itu sendiri.

Kedua, isu dominasi. Ada penggalan kalimat yang sering kita dengarkan, sebagai misal: tidak semua Muslim itu adalah teroris. Tapi semua teroris adalah Muslim. Penggalan kalimat ini keliru dan juga misleading. Keliru kareba kenyataannya berbagai tindakan teror juga banyak dilakukan oleh komunitas lain, tentu dengan ragam faktornya. Misleading karena seolah umat Islam itu perlu dicurigai dan dijaga karen mereka rentang untuk melakukan tindakan terorisme.

Kedua hal di atas telah menjadi tantangam tersendiri dalam upaya membangun kepercayaan. Sangat tidak rasional bahwa di satu sisi Islam dituduh sebagai ajaran kekerasan. Tapi di sisi lain mengharapkan pemeluknya untuk membasmi kekerasan.

Oleh karenanya membangun "trust" menjadi prasyarat bagi terbangunnya kerjasama antara pemeluk agama. Tapi trust hanya akan bisa terbangun jika tuduhan-tuduhan kepada umat ini ditinjau ulang dan ditempatkan pada porsi yang sesungguhnya. Artinya kita tidak mengingkari adanya "masalah" itu. Tapi generalisasi dan tuduhan dominasi hanya menjadikan manusia lupa sejarah. Atau pura-pura lupa sejarah?

Karena sesungguhnya, sebagaimana saya sering sampaikan, di tangan semua komunitas ada darah yang perlu dibersihkan. Jangan sampai ada kalangan yang merasa suci sendiri. Merasa sempurna? Where the hell you gonna get perfectness in the world?

Bersambung!
 


Oleh: Imam Shamsi Ali, Wakil Ketua Majelis Dialog Antar Peradaban, Kebudayaan dan Keyakinan ICMI

 

Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar