Cari Blog Ini

Rabu, 31 Mei 2017

Agama, Konflik dan Perdamaian

Binsar A. Hutabarat

Pada penutupan “The 3rd World Peace Forum” yang digelar di Hotel Sheraton Yogyakarta 2 Juli 2010, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla menyatakan, syarat utama untuk menciptakan perdamaian di dunia adalah kepercayaan yang didasari dengan rasa saling mengerti satu sama lain. Karena itu menurutnya, sangat penting untuk bisa memahami ajaran agama sendiri, dan juga memahami agama lain, jika ini terjadi menurutnya, konflik agama bisa diredam.

Tepatlah apa yang dikatakan Jusuf Kalla bahwa kepercayaan terhadap sesama yang didasari rasa saling mengerti merupakan hal yang penting bagi terciptanya sebuah perdamaian. Dan kepercayaan ini akan tumbuh seiring dengan pemahaman yang makin baik tentang ajaran agama-agama lain, dan tentu saja tanpa mengabaikan pemahaman yang makin baik dari masing-masing agama.

Karena itu, masih mudahnya konflik agama yang berujung pada kekerasan yang meledak di negeri ini menunjukkan bahwa rasa saling percaya antar anak bangsa di negeri ini makin terkikis, dan pastilah ada yang hilang dalam hubungan antar agama di negeri ini yang pernah terkenal dengan kerukunannya.

Konflik Agama
Tingginya kepercayaan antar umat beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan konflik agama yang cerdas yang memungkinkan agama-agama itu hidup rukun dan damai, karena penyelesaian konflik membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling percaya. Konflik sesungguhnya merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren, demikian juga dengan konflik agama. Konflik agama telah ada ketika agama-agama itu ada. Selama manusia tak mampu membebaskan diri dari stereotype negatif tentang agama lain, konflik agama akan terus ada.

Meski demikian, konflik itu sendiri sesungguhnya memiliki peluang dan ancaman di dalam dirinya. Karena itu, pengelolaan konflik secara cerdas dalam hal ini sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik membawa pada suatu kehidupan bersama yang lebih baik (peluang), bukannya malah mengorbankannya untuk kemudian meledak dalam bentuk kekerasan (ancaman). Jadi, hal yang  utama bukanlah bagaimana meniadakan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik tersebut secara benar melalui penggunaan saluran-saluran yang benar, agar tidak berujung pada kekerasan.

Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan dengan mulus. Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945-1964 tidak ada insiden berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah (gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237 kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63%.

Pada era orde lama maupun orde baru, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah, berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia.

Mengamati konflik agama yang terjadi yang berujung pada kekerasan di Indonesia, di sana terlihat bahwa tampaknya pemerintah sering kali mengambil posisi strategis, pemerintah dalam hal ini bisa dituduh melakukan kejahatan dengan membiarkan kekerasan berdasarkan agama (crime by omission). Pembiaran pemerintahlah yang menyebabkan konflik menyebar secara cepat. Malangnya, penyelesaian konflik di negeri ini tak pernah tuntas. Akibatnya, negeri yang dahulu terkenal dengan kerukunannya itu kini menjadi negeri yang rentan dengan konflik kekerasan yang amat memprihatinkan. Tepatlah apa yang dikatakan Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama).

Konflik agama di Indonesia makin sulit dihindari karena terjadinya pengelompokkan berdasarkan agama. Pengelompokkan (clustering) berdasarkan agama  ini menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut menyebabkan hubungan di masyarakat lebih rentan konflik, dan jika konflik pecah, sulit diselesaikan.

Itulah sebabnya pada peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri Senior Goh Chok Tong mengingatkan agar Singapura mewaspadai potensi bahaya yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura. Menurutnya, semakin religious seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok-kelompok berdasarkan agama. Ini akan emnyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama.

Misi Perdamaian
Pengalaman buruk dari kehadiran agama yang berwajah garang yang gemar menebar konflik kekerasan, tentu bukanlah peneguhan bahwa agama tidak patut berada di ruang publik. Apalagi pembelengguan agama-agama demi menumbuhkan toleransi untuk menciptakan kedamaian adalah suatu anomaly, karena di dalam agama-agama itu sendiri sesungguhnya terkandung semangat perdamaian.

Pembelengguan agama hanya akan menimbulkan “balas dendam” agama, meminjam istilah Gilles Kepel, yang terbaca jelas pada legitimasi kekerasan pada aksi terorisme, inilah yang menjadi persoalan besar bagi negara-negara sekuler, dan negara-negara bekas komunis yang sedang bingung menata hubungan antara agama dan negara.

Apabila umat beragama di negeri ini mampu bergaul dengan baik, dengan memperkembangkan tumbuhnya wadah-wadah bersama, wadah-wadah interkomunal, maka itu akan menjadi kekuatan yang ampuh untuk meredam setiap konflik agama yang muncul. Kemampuan mengelola konflik agama secara cerdas akan memungkinkan agama-agama di negeri ini memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa Indonesia yang damai dan sejahtera. Ini adalah misi semua agama-agama di Indonesia.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society
 

0 komentar:

Posting Komentar