Cari Blog Ini

Jumat, 19 Mei 2017

Menimbang Nasib FPI Pasca Pembubaran HTI

Menimbang Nasib FPI Pasca Pembubaran HTI

Akhirnya pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Tiga alasan yang dijadikan dasar pembubaran terkesan subjektif dan berpotensi menimbulkan efek berantai untuk memberangus ormas-ormas yang tidak sejalan dengan pemerintah. Dari kaca mata lawannya, bukankah ormas Front Pembela Islam (FPI), juga memenuhi ketiga alasan tersebut? Hanya tiga hari setelah mendapat perintah dari Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto membuat keputusan untuk membubarkan HTI. Menurut Wiranto, pembubaran HTI dilakukan setelah mencermati berbagai pertimbangan serta menyerap aspirasi masyarakat. Sejumlah pihak, terutama PB Nahdlatul Ulama (NU) merspon positif keberanian Jokowi membubar HTI yang dianggapnya bagian dari komitmen menjaga pancasila dan NKRI. Meski demikian pembubaran HTI masih membutuhkan proses lebih lanjut. Mengacu Pasal 70 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyrakat, pembubaran ormas harus dengan putusan pengadilan. Artinya akan ada proses peradilan di mana ormas yang dibubarkan diberi kesempatan untuk membela diri. Bukan tidak mungkin bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa sebagai wakil pemerintah dalam persidangan tersebut, dimentahkan oleh HTI dengan data dan fakta lain. Tanpa bermaksud mendahului putusan pengadilan, mengingat pembubaran HTI merupakan policy pemerintah, rasanya tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak. Namun, tanpa mengurangi apresiasi atas sikap tegas pemerintah di tengah penguatan politik identitas di tengah masyarakat, kita berharap alasan-alasan yang dikemukakan sebagai dasar pembubaran HTI, tidak dijadikan alat pembenar untuk menyasar kelompok lain. Sebab FPI pun memenuhi tiga syarat yang dijadikan alas pembubaran HTI sehingga sangat mungkin dimasukkan daftar tunggu untuk dibubarkan. Terlebih selama ini FPI sudah masuk redlist dengan tuduhan mengkampanyekan intoleransi yang bertentangan falsafah dan semangat Pancasila. Mari kita lihat “kedekatan” FPI dengan alasan-alasan yang dijadikan dasar pembubaran HTI. Pernyataan resmi pemerintah terkait pembubaran HTI. Pernyataan resmi pemerintah terkait pembubaran HTI. 
Pernyataan resmi pemerintah terkait pembubaran HTI.
Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Alasan ini sangat subjektif karena frasa “peran positif dalam proses pembangunan” tentu dapat dimaknai berbeda tergantung kepentingannya. Melalui frasa ini, pemerintah tengah menyampaikan pesan berbahaya karena ormas yang tidak mengambil “peran positif dalam proses pembangunan” dianggap sebagai musuh negara. Dengan bahasa lain, Wiranto menekankan agar seluruh ormas mendukung dan berpartisipasi positif dalam menyukseskan program pembangunan pemerintah. Ormas yang tidak berperan aktif, apalagi menolak proses pembangunan layak dibubarkan. Jika pembangunan yang dimaksud di sini adalah agenda kerja pemerintah, maka FPI pun tidak dalam gerbong yang “melaksanakan peran positif”. Oleh sebagian orang, FPI justru ditempatkan dalam gerbong yang bertolak-belakangan dengan kebijakan pemerintah, mengusung intolerasi, selalu membuat gaduh dan kerap meresahkan masyarakat dengan aksi-aksi sweeping-nya. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Klausul ini justru sangat tepat disematkan kepada FPI. Sebab sudah lama FPI dilabeli sebagai ormas yang bertentangan dengan Pancasila. FPI selalu di depan dalam kasus-kasus yang dianggap intoleransi seperti pengusir warga Ahmadiyah, demo menolak pembangunan rumah ibadah agama non Islam, merazia warung makan di bulan Ramadhan, termasuk menolak pemimpin non Muslim di Jakarta. Satu-satunya yang membedakan HTI dengan FPI adalah terkait isu khilafah atau imamah. FPI jarang sekali mengusung tema tersebut, sementara HTI menjadikannya sebagai nafas perjuangan. Anehnya, soal khilafah atau imamah ini tidak dimasukkan sebagai dasar alasan pembubaran HTI. Frasa “bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945” sangat normatif sehingga bisa melebar kemana-mana. Apakah ormas yang mengkampanyekan liberalisasi ekonomi tidak termasuk “bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945”? Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Silahkan hitung, ormas mana yang paling sering mendapat penolakan dari masyarakat, HTI atau FPI? Isu HTI dan penolakannya, baru terjadi belakangan ini, sementara untuk FPI sudah sejak beberapa tahun lalu. Ingat insiden di Palangka Raya? Ingat bentrokan di Solo? Banyumas, Padang, Samarinda dan Tulangagung adalah contoh daerah-daerah yang juga menolak kehadiran FPI. Jika mengacu pada alasan ketiga, timbul pertanyaan mengapa HTI yang baru-baru ini saja mendapat penolakan dari (sebagian) masyarakat langsung dibubarkan, sementara FPI yang sudah sering mendapat penolakan sejak tahun 2010, belum tidak dibubarkan? Apakah pembubaran HTI hanya sebentuk test case, test the water sebelum membubarkan ormas yang lebih besar seperti FPI? Sekali lagi kita berharap hal itu tidak akan terjadi. Jangan sampai kebijakan pembubaran HTI menjadi lonceng kematian yang mengancam kebebasan berserikat, khususnya bagi ormas-ormas yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Jangan sampai ada keinginan untuk memposisikan pemerintah sebagai negara (state). Sebab jika itu terjadi, ketika perbedaan pandangan politik dengan pemerintah akan dianggap sebagai musuh negara sehingga dicari-cari alasan untuk dibubarkan, kita tengah berjalan mundur, kembali ke rezim otoritarian yang meniadakan kebenaran di luar tembok istana.

0 komentar:

Posting Komentar