Cari Blog Ini

Minggu, 14 Mei 2017

Dilematisnya Pembubaran Ormas Radikal


Harus saya akui jumlah anggota islam radikal semakin banyak. Hal tersebut ditunjukan dari ‘Aksi Bela Islam’ yang berjilid dengan menggunakan angka-angka cantik pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Hal itu menjadi tamparan keras bagi penggerak Islam nusantara. Nampaknya keyakinan terhadap Islam nusantara yang damai tergerus dengan perjuangan Islam yang transnasional.
Uniknya, kelompok Islam radikal menjual sejumlah nama ustad import sebagai pesaing para Kiai dan Ustad asal Indonesia. Salah satu kasusnya, adanya kedatangan Ustad Zakir Naik yang datang ke Indonesia. Padahal secara keilmuan, lebih mumpuni Ustad Nadirsyah Hosen.
Adanya gerakan radikal ini, membuat barisan Nahdatul Ulama (NU) geram. Apalagi di sejumlah daerah sempat terdengar Banser NU membubarkan pengajian kelompok radikal. Bahkan, saat ini sejumlah Gerakan Pemuda (GP) Ansor melakukan gerakan demo kepada pemerintah daerah untuk menghalau dan pembubaran gerakan radikal.
Keadaan tersebut seperti dua mata pisau yang berbeda. Di sisi lain, Islam radikal ini merusak tatanan kedamaian keagamaan yang ada di Indonesia. Namun, di sisi lain ketika dilakukan pembubaran oleh kalangan NU yang sebagai pendukung dari pemerintah telah mencederai demokrasi Indonesia.
Hak untuk berkelompok sudah tertuang dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 28 telah dilanggar. Lebih jauh berbicara pembubaran organisasi masyarakat (ormas), harus dilakukan kepada ormas yang berbadan hukum.
Siapa yang memiliki hak dan legalitas badan hukum? Tentu saja hal ini ada ditangan Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan syarat untuk mendapatkan badan hukum terdaftar di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Lalu, siapa saja ormas Islam radikal? Sebut saja, Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) adalah ormas yang sangat dengan radikalisme. Apakah ormas tersebut berbadan hukum?
Jawabannya, tidak!
FPI dan HTI tidak terdaftar di Kemenkumham, sementara di Kemendagri hanya FPI yang terdaftar. Jelas, dalam hal ini HTI adalah ormas yang ilegal di Indonesia. Dia bukan lagi dianggap ormas. Harusnya, anggap saja HTI sebagai komunitas islam lainnya. Sama seperti komunitas hijab yang di beberapa daerah.
Jika mereka harus dibubarkan, hal yang sangat dilematis memang. Lalu, kenapa dua ormas tersebut bisa semakin besar di Indonesia? Tentu saja, dua ormas ini mendapatkan pendanaan yang sangat masif dari berbegai kelompok.
Saya pernah melihat, beberapa majalah HTI di Dinas Pendidikan Jawa Barat. Di dalamnya, ternyata ada iklan dari dinas tersebut. Oke, dalam hal ini ada beberapa pemerintah yang memang sengaja menjadi orang yang tetap menghidupkan mereka.
Lalu, kapan kedua ormas tersebut didirikan?
Khususnya FPI bukan lagi organisasi yang baru di Indonesia. Tercatat, pada 17 Agustus 1998 FPI yang dipimpin oleh Rizieq Shihab berdiri dengan status pembentukan organ paramiliter Pengamatan (Pam) Swakarsa. Tidak aneh jika ormas tersebut memiliki hubungan dengan militer. Bahkan, FPI dinilai memiliki kedekatan dengan orang-orang Soeharto, terurama Prabowo. Dan saat ini, keduanya kembali dekat seakan bernostalgia pada masa-masa tersebut. Walaupun pada 1998, FPI sempat merapat kepada kepada Wiranto.
Kedekatan masa lalu yang sempat dengan Wiranto tersebut dianggap sebagai celah menjatuhkan Basuki Tjahja Purnama dalam kasus penistaan agama. Akan tetapi, kenangan masa lalu hanya angin lalu. Wiranto masih patuh pada aturan hukum yang Indonesia buat.
Kembali ke topik pembahasan terkait pembentukan ormas radikal. HTI ini bermula didirikan pada 1953 di Palestina. Lalu, masuk di Indonesia pada 1980-an ke lembaga kampus di Indonesia. Hal ini juga ditandai dengan berhijabnya sejumlah perempuan yang bukan dari kalangan pesantren. Kenapa HTI aman pada saat itu?
Mudah saja jawabannya. HTI tidak mengganggu kepemimpinan Soeharto saat itu. Jawabannya, sangat sederhana. Saya sempat berdiskusi dengan teman, bagaimana jika pemerintah Indonesia melakukan pembubaran HTI kembali ke zaman Soeharto. Di mana orang-orang yang menentang dibunuh dan dimusnahkan dengan mudah.
Memang saya akui hal tersebut menjadi opsi yang sangat baik. Akan tetapi, hal tersebut sama saja membuka sejumlah luka lama yang saat ini sudah mulai mengering. Bagi ini, posisi pemerintah cukup dilematis.
Saya sempat membaca sebuah tulisan dari Nadirsyah Hosen. Di mana kita harus mengajak dan membuka ruang-ruang diskusi dengan sejumlah ormas radikal dengan perlahan. Kita harus jadi orang yang sangat yang sangat bersahaja untuk berhadapan dengan para kelompok Islam radikal tersebut.
Harus saya akui, proses tersebut ditempuh cukup lama. Namun, saya percaya dengan pepatah sunda yang berbunyi, ”Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok”. Artinya, usaha yang dilakukan secara perlahan pasti akan membuahkan hasil.
Saya sempat menemui seorang mantan FPI di Bandung yang kini menjadi penggiat lintas Iman. Di mana dia mengakui perbuatan radikalnya memang bersalah. Proses penyadaran ini harus dilakukan dengan hati yang ikhlas dengan membawa pesan damai. Sama halnya ketika Nabi Muhammad yang sering berbuat baik pada nenek buta yang membencinya.
Siapa saja yang mengemban tugas tersebut? Semua orang yang masih menganut Islam Nusantara. Terutama pada para anak muda, para mahasiswa. Khusu untuk kaum muda NU dikalangan mahasiswa, jangan sampai terlena dengan perebutan ruang-ruang politik kampus. Lalu, meninggalkan khitoh sebagai penjaga dan pelestari dari Islam nusantara.
Lebih jauh, terutama pada tetua negeri ini yang hadir dan dibesarkan oleh ormas besar Islam. Sebaikan, bisa menjadi penenang masyarakat. Tidak lagi hadir sebagai politiki kacangan yang membawa agama di dalamnya. Jangan sampai menjadi kompor meleduk di tengah umat yang terlihat galau. Di ombang-ambing oleh Islam transnasional dan Islam nusantara.

0 komentar:

Posting Komentar