Cari Blog Ini

Kamis, 18 Mei 2017

NU Minta Pemerintah Bubarkan Ormas Radikal

NU Minta Pemerintah Bubarkan Ormas Radikal

Untuk kesekian kalinya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meminta kepada pemerintah agar membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD '45. Permintaan ini sudah pernah diutarakan sejak era pemerintahan sebelumnya. Tetapi, kenyataan menunjukkan ormas radikal semacam FPI dan HTI masih bebas melenggang dan memprovokasi massa hingga kini. 

Diulanginya permintaan ini oleh PBNU pada acara Kongres XVII Muslimat NU di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta Timur, Kamis (24/11/2016), yang dihadiri juga oleh Presiden Jokowi, mungkin cukup tepat. Situasi sosial politik nasional yang menghangat akibat demo-demo dan perang kata di media itu tak lepas dari peran ormas anti empat pilar itu. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah kali ini akan memenuhi permintaan itu. 

KH Said Aqil Siradj ketua PBNU yang mengutarakan permintaan itu memang tidak menyebut satu demi satu ormas yang dimaksud. Yang dipastikannya adalah ormas itu jelas bukan NU, Muhammadyah, atau Wasliyah Sarekat Islam yang ada sejak sebelum kemerdekaan. Pemerintah dinilai sudah tahu ormas yang menentang empat pilar kebangsaan itu. (kompas.com, 24/11/2016)

Tetapi, kalau membaca berita lama, ada dua ormas yang pernah diminta NU untuk dibubarkan yaitu FPI dan HTI. Selama ini yang secara khusus disebut akibat aksinya yang meresahkan masyarakat dan yang secara terbuka ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia memang FPI dan Hizbut Thahir Indonesia (HTI). Masyarakat luas sudah lama tahu dan merasakan sepak terjang mereka. Muncul juga kesan FPI seolah dibiarkan melecehkan hukum secara terbuka. 

Penyebutan kompeni kepada aparat kepolisian, seperti yang ditulis di medsos saat Munarman dan Riziek dipanggil sebagi saksi kasus Ahmad Dhani kemarin tapi tidak datang itu, hanyalah contoh kecil saja. Banyak pelecehan lain, termasuk kepada dasar negara Pancasila juga proklamator yang kini perkaranya dilimpahkan ke Polda Jabar itu. 

Kasus-kasus yang melibatkan FPI sudah cukup banyak. Wajar saja jika masyarakat sempat menilai pastilah ada orang besar atau kelompok berpengaruh yang melindungi FPI sehingga ormas ini aman-aman saja. Yang bisa menjawab penilaian ini tentu saja aparat pemerintah sendiri, mengapa ada pembiaran seperti itu. Demikian pula terhadap HTI yang secara terbuka ingin mendirikan kekhalifahan di Indonesia dan menolak dasar negara Pancasila. 

Mendagri Tjahjo Kumolo Juni lalu sempat mengungkapkan ada ormas besar yang anti-Pancasila yang segeta dibubarkan pemerintah. Tjahjo tidak menyebut nama ormas itu, karena masih dirapatkan dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Untuk membubarkan sebuah ormas memang bukan hanya urusan Kemendagri saja, harus ada pertimbangan secara hukum dari Kejaksaan Agung, Polri, juga masukan dari BIN. 

Tetapi, ternyata hingga kini pernyataan pembubaran yang diutarakan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo itu belum terwujud. Apakah ini menunjukkan tidak adanya satu pendapat di antara Kemendagri, Polri, Kejaksaan Agung, dan BIN dalam persoalan ini, tidak jelas benar. Hingga saat ini belum terdengar penjelasan lanjutan terkait rencana pembubaran ormas anti-Pancasila itu. 

Dan kini, dalam demo-demo yang mengusung semboyan Bela Islam atas kasus dugaan penistaan agama oleh cagub Basuki Tjahaja Purnama itu, terbukti ormas itu jadi aktor utama. Tujuan merongrong pemerintahan Jokowi, tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Jadi, permintaan PBNU kepada pemerintah agar ormas yang menentang empat pilar kebangsaan itu dibubarkan, sangat berdasar. 

Ini persoalan prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penerimaan atas dasar negara Pancasila,UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harus diakui ada upaya sistematis untuk membelokkan sejarah dengan menyebut bahwa Pancasila dan UUD '45 saat ini tidak sesuai lagi dengan rumusan awal, yaitu Piagam Jakarta. Bahkan ada upaya merendahkan martabat Soekarno sebagai pencetus Pancasila. 

Tindakan dan aksi yang nyata-nyata merusak kebhinekaan juga bisa terlihat. Meski aksi kekerasaan yang memakai alasan penerapan hukum syari itu relatif jauh berkurang tetapi pemaksaan kehendak dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama ini jelas menunjukkan tidak adanya penghargaan atas kebhinekaan dan hukum yang berlaku. 

Kini setelah nyata-nyata ada pembangkangan dari FPI dan kelompoknya, seperti yang disuarakan Riziek yang menyatakan akan tetap menggelar shalat Jumat di jalan protokol ibu kota, pada aksi demo 212 nanti, apakah masih ada keraguan. Ini sudah jelas menunjukkan FPI dan kelompoknya telah mengabaikan dan melecehkan wibawa pemerintah. 

Kegiatan demo 212 dengan model seperti itu, tentu wajib dibubarkan karena mengganggu hak warga negara lain, berpotensi mudharat lebih besar, dan patut diduga punya agenda khusus. Apakah jika massa sudah menguasai jalan protokol ibu kota terlebih masuk area ring satu, mengepung Istana, gedung DPR/MPR, bisa disebut keadaan yang biasa dan mudah diatasi aparat keamanan. 

Walaupun aparat sudah menyatakan siap berjihad untuk melawan setiap tindakan pendemo yang inkonstitusional, berupaya makar, saya khawatir justru tindakan keras itu yang mereka harapkan sehingga mereka bisa menggelorakan seruan jihadnya. Jika ini yang terjadi, ibaratnya para pendemo itu memang disiapkan sebagai martir untuk melawan petugas dengan tujuan akhir kerusuhan yang berkesenimbungan. 

Inilah pentingnya mempertimbangkan permintaan PBNU agar ormas yang menentang empat pilar kebangsaan yang bersikap dan bertindak radikal semacam itu segera dibubarkan. Jika pemerintah masih juga ragu, bisa dipastikan keberadaan mereka seperti duri dalam daging NKRI, yang merongrong NKRI secara terus menerus. 

Bola kini sepenuhnya berada di tangan Presiden Jokowi untuk menolak atau menenuhi permintaan PBNU itu. Tetapi, mengingat komitmen presiden pada peneguhan dan penegakan empat pilar kebangsaan itu, yaitu dasar negara Pancasila, UUD '45, NKRI, dan Bhineka Tungal Ika, rasanya presiden pastilah sepakat dengan permintaan itu. 

Ketegasan presiden dalam persoalan ini menjadi penting. Masyarakat yang sebelumnya meragukan komitmen dan keberanian pemerintah untuk membubarkan ormas semacam itu, bisa berubah sikap dan memberikan dukungan penuh. Demikian pula organisasi semacam NU atau Muhammdyah tentu akan memberikan dukungan penuh. 

Ketegasan dan keberanian pemerintah untuk membubarkan organisasi radikal yang menentang empat pilar kebangsaan itu, juga akan menunjukkan bahwa pemerintah satu kata dalam persoalan ini. Dengan begitu, kasak-kusuk bahwa ormas semacam itu tetap bisa eksis selama ini karena adanya perlindungan dari oknum pejabat pemerintah atau institusi negara, bisa terbantahkan. 

Kita tunggu saja, apakah ada kejutan dari pemerintah terkait persoalan ini. Seyogyanya, kasus ini jangan lagi mengendap seperti pernyatan Mendagri Tjahjo Kumolo Juni lalu, yang menyatakan ada ormas anti-Pancasila segera dibubarkan, tetapi tak ada realisasinya hingga kini. 

Salam, damai.

0 komentar:

Posting Komentar