Cari Blog Ini

Senin, 29 Mei 2017

Indonesia di antara Bayang-Bayang Radikalisme dan Liberisme

Negara Indonesia bukan negara Islam. Bukan pula negara yang anti agama. Indonesia adalah negara berdasar Pancasila yang menghormati keberadaan agama yang hidup dan berkembang di tengah masyarakatnya. Menghormati kebebasan pemeluknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajarannya masing-masing. Karena negara ini didasarkan atas kesepakatan para pendiri bangsa untuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara, yang menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita selaku warga bangsa sejatinya menjadikan rumah besar Indonesia ini sebagai tempat bernaung bersama yang aman, damai dan rukun dalam segala perbedaan suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Dalam konteks menjalankan tata kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, Semua mendasarkan diri pada aturan ketatanegaraan yang dipayungi oleh Pancasila dan UUD 1945 berikut semua pranata hukum positif yang menjadi aturan teknisnya. Tak boleh ada tirani mayoritas atas minoritas, pun sebaliknya. Semua tunduk pada konstitusi dan hukum negara kita. Namun demikian, saat ini kita menyaksikan sebuah perkembangan yang memprihatinkan, yaitu berkembangnya sebuah pertarungan dua kutub pemikiran dan gerakan yang membahayakan eksistensi NKRI. Bayang-bayang faham radikalisme dan fundamentalisme atas nama agama disatu sisi dan pemikiran liberalisme dan sekularisme pada sisi yang lainnya. Kutub radikalisme, fundamentalisme, terorisme muncul dengan konsep-konsep pemikiran bahwa negara ini dijalankan dengan sistem thagut yang harus diganti dengan jalan syari'at Islam, sebagian dari mereka menjalankan aktifitas teror dengan melakukan aksi peledakan bom di tempat-tempat umum yang tak sedikit menimbulkan korban jiwa. Mereka menganggap sah aksi menghilangkan jiwa diluar kelompoknya sebagai bagian dari aktifitas jihad yang balasannya surga. Dalam tulisannya di Siluetmimpi’s blog berjudul “Merajut Benang Kebersamaan Menuju Indonesia Damai” Evi Baiturrohmah mengungkapkan secara lugas seputar Akar sejarah munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme di Indonesia yang tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa terorisme dan radikalisme berkaitan erat dengan gerakan Islam garis keras sudah menjadi common sense di masyarakat. Menurut Evi, terjadinya serangan pada 11 September 2001 terhadap gedung World Trade Center (WTC) di Washington DC, Amerika Serikat yang disebut dilakukan oleh kelompok Al Qaeda, menjadi semacam “pembenaran” akan munculnya paradigma bahwa Islam, khusnya golongan yang dicap radikal dan fanatik, adalah aktor di balik berbagai kasus terorisme. Semenjak serangan tersebut, Amerika mendeklarasikan diri sekaligus mengajak warga dunia untuk ikut berperang melawan terorisme. Tak pelak perisitiwa ini menjadi salah satu momen dimana masyarakat dunia aware terhadap isu terorisme dan juga menjadi titik penting pencintraan agama Islam di seluruh dunia. Teror 11/9 ini kemudian menyebarkan perspektif baru terhadap masyarakat Barat khususnya, tentang citra Islam sebagai agama yang lekat dengan kekerasan dan tindakan terorisme. Berkembangnya isu terorisme yang diserukan oleh Amerika pasca serangan 11/9 ini berdampak luar biasa terhadap konflik beragama di belahan dunia manapun, termasuk di Indonesia. Kekerasan yang mengatasnamakan agama menjadi salah satu konflik yang menyita perhatian pemerintah maupun masyarakat awam di Indonesia. Ada beberapa sebab mengapa radikalisme dan terorisme dapat tumbuh dan berkembang di masyarakat. Beberapa hal tersebut meliputi lemahnya pemahaman individu dalam memaknai toleransi kebebasan beragama, ikatan komunal yang kurang sensitif terhadap aktivitas anggota masyarakat non- mainstream sekaligus lemahnya antisipasi oleh aparat keamanan/ kepolisian terhadap kekuatan- kekuatan yang terhimpun di dalam masyarakat yang kaya akan perbedaan. Salah satu penyebab maraknya tindakan teror dan radikal dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia adalah sikap dan respon sekelompok orang yang merasa mempunyai legitimasi oleh Tuhan untuk memperbaiki tatanan moral di masyarakat dan menghancurkan konsep keagaman yang tidak sama dengan mereka. "Legitimasi" inilah yang kemudian membuat para aktivis radikal menyebut bahwa mereka berjuang atas nama agama. Dalam perspektif yang berbeda, konsep radikalisme agama di Indonesia juga dapat dikatakan berakar pada semakin termarginalkannya nilai- nilai luhur dan konsep toleransi yang ada di masyarakat. Radikalisme muncul sebagai gerakan penolakan terhadap efek dari ekses budaya Barat/ modernisasi yang tengah melanda masyarakat. Modernisasi dianggap menghasilkan produk massa yang bukan hanya modern tetapi juga liberal dalam menginterpretasi nilai dan pokok ajaran agama tertentu. Dari sinilah munculnya gesekan keras dari mereka terhadap kelompok lain yang mereka identifikiasi sebagai kekuatan paham liberalisme Islam dan sekularisme yang berbasis dari perkembangan modernisme yang begitu massif. Mereka kalangan radikal mnenganggap bahwa kelompok Islam liberal dan sekuler ini sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap tatanan kehidupan kebangsaan di Indonesia yang mereka anggap sebagai thagut, boneka Amerika dan sejenisnya. Sementara dari persfektif yang lain, Liberalisme Islam dan sekularisme yang ekstrim juga tidak berarti tidak membahayakan bangunan kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Kita mengidentifikasi bahwa jika Liberalisme Islam dimaknai dengan ciri khas kaum liberal yang bertentangan dengan Islam seperti ideologi relativisme, skeptisisme dan agnostisisme, hal itu akan menimbulkan kegaduhan juga dalam konteks pemahaman keagamaan ummat islam di Indonesia. Relativisme adalah keyakinan yang menganggap semua kebenaran adalah relatif dan subyektif. Tidak ada kebenaran mutlak. Skeptisisme adalah pandangan yang meragukan terhadap kebenaran. Setiap kebenaran agama, diragukan kevalidanya. Dan agnostisisme mengingkari adanya kebenaran. Ideologi yang terakhir ini, sangat radikal karena menggiring kepada ateisme. Sebab kebenaran Tuhan juga diingkari. Ketiga ideologi ini menjadi metodologi memahami agama di kalangan Islam Liberal. Ilmu tafsir, hadits, fikih, akidah dan lain-lain dianalisis dengan tiga metodologi ini. Produk dari metodologi ini adalah paham pluralisme agama, inklusifisme, dan hermenutika. Islam Liberal dalam persfektif seperti itu dapat dimaknai juga sebagai ghulluw (ekstrim) liberal. Yang dalam kehidupan keagamaan di Indonesia tidak mencerminkan Islam mainstream. NU dan Muhammadiyah mungkin bisa dikategorikan sebagai Islam moderat, tapi bukan dimaknai Islam moderat dalam persfektif Islam Liberal. Ada memang sebagian kalangan muda di lingkungan kedua Ormas Islam terbesar di Indonesia itu yang cenderung menunjukan ekstrim Islam Liberal dalam pemikirannya yang cukup meresahkan para orang tuanya di kalangan kiai dan ulamanya. Tapi harus diakui mereka memiliki basis kultural dan intelektual yang memadai dari pemahaman terhadap teks dan nash literatur tradisional (kitab kuning) maupun sumber-sumber literatur barat. Disinilah kita menangkap bahwa Indonesia berada dalam bayang-bayang dua kutub ekstrim. Yaitu kutub ekstrim kanan (Islam radikal) dan ekstrim kiri (Islam liberal). Ekspresi pemikiran dan gerakan dari mereka yang berlebihan dan muncul ke ranah publik secara massif niscaya akan menimbulkan gesekan horizontal dan menjadi ancaman bagi eksistensi NKRI, Pancasila dan Indonesia. Untuk itulah, kita memerlukan sebuah kesadaran komunal dari bangsa ini termasuk dari kekuatan-kekuatan Islam mainstream untuk meluruskan paham-paham ekstrim tersebut. Salah satu solusi yang tepat bagi kita adalah kembali kepada Khittah Indonesia 1945 sebagaimana kalangan alim ulama canangkan di Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Cirebon kemarin. Pancasila dan UUD'1945 akan menjadi energi rekat bagi semua kekuatan bangsa ini. Hal ini sebagaimana diungkapkan Prof. Bernard Adeney yang mengungkapkan bahwa Indonesia, "sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil atau "madani", yaitu Pancasila. Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan semacam visi untuk civil society. Menurut Prof. Bernard Adeney, visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : Pertama, Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa negara yang paling mendasar. "Yang paling dasar" dapat diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. Kedua, Pancasila diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila. Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. Ketiga, Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang "pancasilais" walaupun tujuan ideal itu belum terwujud" Kekuatan apapun, paham pemikiran apapun yang sekiranya akan mengancam eksistensi NKRI, mengancam Pancasila sebagai visi kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa, maka hal itu harus di luruskan oleh semua elemen kekuatan bangsa ini. Termasuk Islam Radikal dan Islam Liberal. Dan kita nikmati kehidupan kita sebagai seorang Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan juga kita sebagai warga bangsa Indonesia secara aman dan damai. Saya muslim, dan saya Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar