Kejadian
pembantaian yang terjadi di Rakhine, Myanmar, cukup menarik perhatian
masyarakat kita. Dan entahlah otak siapa yang punya ide kreatif hingga
kemudian isu di negara tetangga tetap saja dipakai untuk menggepuk
pemerintahan Joko Widodo. Ada yang menilai Pemerintah tidak berbuat
apa-apa terhadap masalah ini. Kemudian jika pendukung Joko Widodo
berkomentar di luar yang mereka inginkan akan dicap sinis terhadap
perjuangan kemanusiaan. Benarkah seperti itu?
Saya rasa pemerintah tidak mungkin tidak
berbuat apa-apa sebab Myanmar merupakan bagian dari Asean. Jika salah
satu negara mengalami masalah tentu bukan tidak mungkin akan mengganggu
stabilitas keamanan di wilayah Asean itu sendiri. Jadi rasanya mustahil
Pemerintah tidak akan mengambil langkah.
Kedua, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri
kita, juga sudah melakukan pembicaraan dengan Sekjen PBB terkait masalah
ini. Artinya Presiden Joko Widodo pun juga sudah menelaah dan mengambil
inisiatif terhadap masalah yang dialami oleh saudara-saudara kita di
Rakhine. Tidak mungkin Bu Retno bergerak mengambil keputusan besar tanpa
persetujuan dari Presiden Jokowi.
Pada 31 Agustus kemarin pun sudah diluncurkan Humanitarian Assistance for Sustainable Community
(HASCO) untuk Myanmar. Program HASCO bertujuan untuk memberikan bantuan
bagi rakyat Myanmar, khususnya di Rakhine State, dalam bidang
peningkatan kapasitas, pengiriman tenaga ahli, livelihood, dan
pemulihan. Program yang merupakan komitmen dari sebelas organisasi
sosial kemasyarakatan ini akan dilaksanakan selama dua tahun. Bantuan
senilai 2 juta USD tersebut didapat dari donasi masyarakat indonesia
yang telah terkumpul melalui lembaga anggota AKIM.Dari sini saja setidaknya sudah gugur tudingan bahwa Pemerintah tidak segera mengambil langkah cepat. Mereka yang masih keukeuh mengatakan seperti itu anggap saja sok mau jadi pahlawan kesiangan atau bahkan provokator.
Ngerinya lagi ada yang mau menggiring isu ini sebagai masalah Buddha vs Islam. Bahkan sampai ada isu yang beredar lewat broadcast message
dan sosial media jika itu tidak dihentikan maka akan ada aksi turun ke
jalan dan menjadikan Buddhis sebagai sasaran. Lah buat apa? Umat Buddha
di Indonesia ini salah apa? Mereka selama ini kalem-kalem, tidak pernah
mengusik. Jangan syahwat suka bertengkar kalian lampiaskan dengan
menunggangi peristiwa seperti ini. Walubi bersama Mer-C, PMI, dan PKPU pun sudah bersinergi membangun layanan kesehatan di Rakhine.
Dan kalaupun ada komentar bernada sumbang
tolong kalian tahu dulu kenapa itu sampai keluar. Bukan karena sinis
dengan kemanusiaan. Salah satu pemantik konflik di Rakhine selain soal
cadangan minyak dan terorisme adalah soal posisi sebagai minoritas.
Etnis Rohingya dikenal sebagai minoritas. Dan seperti yang terjadi di
Indonesia, pameo “minoritas harus tahu diri” juga berlaku di
sana. Harusnya kejadian seperti ini membuat banyak orang sadar diri. Di
suatu tempat kita mayoritas, di tempat lain bisa jadi kita minoritas.
Maka jika sedang jadi mayoritas jangan belagu.
Di sinilah kemudian seringkali terjadi hal
konyol karena adanya sekelompok orang-orang yang bicara menuntut agar
tidak ada lagi isu minoritas baik karena agama maupun etnis terhadap
Rohingya namun di sini, Indonesia, negerinya sendiri, mereka sombong
ketika menjadi mayoritas dan seringkali menekan minoritas baik agama
maupun suku bangsa. Untuk yang konsisten sih tidak masalah, yang jadi
masalah adalah mereka yang mulut dan pikirannya tidak konsisten ini lho.
Lebih konyol lagi menuntut pemerintah
bertindak atas nasib sekelompok orang di negara lain, tapi kelompok
penuntut ini sering abai dengan nasib saudara sebangsa setanah airnya
sendiri. Ke mana mereka saat terjadi pembantaian terhadap Ahmadiyah,
pengrusakan tempat ibadah, dll? Talk to my hand lah dengan
segala pemikiran standar ganda ini. Inilah sumber kenapa ada yang
berkomentar negatif. Tidak bisa sepenuhnya disalahkan menurut saya.
Saya setuju apa yang terjadi di
Rakhine-Arakan adalah kejahatan kemanusiaan dan apapun alasannya tidak
bisa dibenarkan. Banyak warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan
menjadi korban. Ada isu menyebut ini ada hubungannya dengan banyak
sumber minyak yang terdapat di sekitar Rakhine-Arakan yang kebetulan
menjadi tempat bermukim etnis Rohingya. Nilainya sangat besar. Dan
daripada membuat prosesnya ruwet maka kemudian terjadilah tragedi ini.
Jadi agak jauh beda dengan isu agama dan etnis yang selama ini kita
dengar. It’s all about the money. Isu soal minyak dan
kesengajaan Pemerintah Myanmar membiarkan dengan tujuan mempermudah
eksplorasi agar warga di sekitar wilayah itu segera menyingkir inilah
yang menjadikan tuntutan agar nobel Aung San Suu Kyi dicabut merebak.
Di satu sisi, di daerah Rakhine dan Arakan
juga terdapat Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang sudah berbaiat
kepada Daesh ISIS dan menyerang orang-orang tak bersalah di Rakhine
tanpa pandang bulu. Ini seperti benang ruwet di dalam benang ruwet. Suu
Kyi sendiri juga menjadikan ini sebagai alasan militer Myanmar menyerang
mereka karena diduga ingin mendirikan negara Islam di
. Silahkan Anda googling foto-foto pembantaian yang dilakukan ARSA.
Inilah salah satu tantangan bagi negara
yang ingin membantu, termasuk Indonesia. Bagaimana caranya agar bantuan
kemanusiaan itu tepat sasaran. Yakni penduduk Rakhine-Arakan yang memang
tidak bersalah dan bukan pengikut ARSA juga. Karena juga sama
berbahayanya kalau jutaan bantuan yang masuk malah dinikmati oleh
gerilyawan ARSA dan secara tidak langsung turut membantu kelangsungan
hidup mereka.
Semoga masalah di Rakhine-Arakan ini
segera berlalu. Dan segala kejahatan kemanusiaan segera berakhir. Dan
untuk provokator di negara ini, berhentilah nyinyir. Kalau ngotot ingin
Indonesia membantu secara konkret sesuai versi mereka coba pergilah
sendiri berjihad ke Rakhine.
“satu-satunya syarat untuk kejahatan menang adalah orang baik tidak melakukan apa-apa” (Edmund Burke).
0 komentar:
Posting Komentar