Cari Blog Ini

Minggu, 03 September 2017

Rohingya, ISIS, Minyak Myanmar, dan Provokator Indonesia


Kejadian pembantaian yang terjadi di Rakhine, Myanmar, cukup menarik perhatian masyarakat kita. Dan entahlah otak siapa yang punya ide kreatif hingga kemudian isu di negara tetangga tetap saja dipakai untuk menggepuk pemerintahan Joko Widodo. Ada yang menilai Pemerintah tidak berbuat apa-apa terhadap masalah ini. Kemudian jika pendukung Joko Widodo berkomentar di luar yang mereka inginkan akan dicap sinis terhadap perjuangan kemanusiaan. Benarkah seperti itu?
Saya rasa pemerintah tidak mungkin tidak berbuat apa-apa sebab Myanmar merupakan bagian dari Asean. Jika salah satu negara mengalami masalah tentu bukan tidak mungkin akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah Asean itu sendiri. Jadi rasanya mustahil Pemerintah tidak akan mengambil langkah.
Kedua, Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri kita, juga sudah melakukan pembicaraan dengan Sekjen PBB terkait masalah ini. Artinya Presiden Joko Widodo pun juga sudah menelaah dan mengambil inisiatif terhadap masalah yang dialami oleh saudara-saudara kita di Rakhine. Tidak mungkin Bu Retno bergerak mengambil keputusan besar tanpa persetujuan dari Presiden Jokowi.
Pada 31 Agustus kemarin pun sudah diluncurkan Humanitarian Assistance for Sustainable Community (HASCO) untuk Myanmar. Program HASCO bertujuan untuk memberikan bantuan bagi rakyat Myanmar, khususnya di Rakhine State, dalam bidang peningkatan kapasitas, pengiriman tenaga ahli, livelihood, dan pemulihan.​ Program yang merupakan komitmen dari sebelas organisasi sosial kemasyarakatan ini akan dilaksanakan selama dua tahun. Bantuan senilai 2 juta USD tersebut didapat dari donasi masyarakat indonesia yang telah terkumpul melalui lembaga anggota AKIM.Dari sini saja setidaknya sudah gugur tudingan bahwa Pemerintah tidak segera mengambil langkah cepat. Mereka yang masih keukeuh mengatakan seperti itu anggap saja sok mau jadi pahlawan kesiangan atau bahkan provokator.
Ngerinya lagi ada yang mau menggiring isu ini sebagai masalah Buddha vs Islam. Bahkan sampai ada isu yang beredar lewat broadcast message dan sosial media jika itu tidak dihentikan maka akan ada aksi turun ke jalan dan menjadikan Buddhis sebagai sasaran. Lah buat apa? Umat Buddha di Indonesia ini salah apa? Mereka selama ini kalem-kalem, tidak pernah mengusik. Jangan syahwat suka bertengkar kalian lampiaskan dengan menunggangi peristiwa seperti ini. Walubi bersama Mer-C, PMI, dan PKPU pun sudah bersinergi membangun layanan kesehatan di Rakhine.
Dan kalaupun ada komentar bernada sumbang tolong kalian tahu dulu kenapa itu sampai keluar. Bukan karena sinis dengan kemanusiaan. Salah satu pemantik konflik di Rakhine selain soal cadangan minyak dan terorisme adalah soal posisi sebagai minoritas. Etnis Rohingya dikenal sebagai minoritas. Dan seperti yang terjadi di Indonesia, pameo “minoritas harus tahu diri” juga berlaku di sana. Harusnya kejadian seperti ini membuat banyak orang sadar diri. Di suatu tempat kita mayoritas, di tempat lain bisa jadi kita minoritas. Maka jika sedang jadi mayoritas jangan belagu.
Di sinilah kemudian seringkali terjadi hal konyol karena adanya sekelompok orang-orang yang bicara menuntut agar tidak ada lagi isu minoritas baik karena agama maupun etnis terhadap Rohingya namun di sini, Indonesia, negerinya sendiri, mereka sombong ketika menjadi mayoritas dan seringkali menekan minoritas baik agama maupun suku bangsa. Untuk yang konsisten sih tidak masalah, yang jadi masalah adalah mereka yang mulut dan pikirannya tidak konsisten ini lho.
Lebih konyol lagi menuntut pemerintah bertindak atas nasib sekelompok orang di negara lain, tapi kelompok penuntut ini sering abai dengan nasib saudara sebangsa setanah airnya sendiri. Ke mana mereka saat terjadi pembantaian terhadap Ahmadiyah, pengrusakan tempat ibadah, dll? Talk to my hand lah dengan segala pemikiran standar ganda ini. Inilah sumber kenapa ada yang berkomentar negatif. Tidak bisa sepenuhnya disalahkan menurut saya.
Saya setuju apa yang terjadi di Rakhine-Arakan adalah kejahatan kemanusiaan dan apapun alasannya tidak bisa dibenarkan. Banyak warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan menjadi korban. Ada isu menyebut ini ada hubungannya dengan banyak sumber minyak yang terdapat di sekitar Rakhine-Arakan yang kebetulan menjadi tempat bermukim etnis Rohingya. Nilainya sangat besar. Dan daripada membuat prosesnya ruwet maka kemudian terjadilah tragedi ini. Jadi agak jauh beda dengan isu agama dan etnis yang selama ini kita dengar. It’s all about the money. Isu soal minyak dan kesengajaan Pemerintah Myanmar membiarkan dengan tujuan mempermudah eksplorasi agar warga di sekitar wilayah itu segera menyingkir inilah yang menjadikan tuntutan agar nobel Aung San Suu Kyi dicabut merebak.
Di satu sisi, di daerah Rakhine dan Arakan juga terdapat Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang sudah berbaiat kepada Daesh ISIS dan menyerang orang-orang tak bersalah di Rakhine tanpa pandang bulu. Ini seperti benang ruwet di dalam benang ruwet. Suu Kyi sendiri juga menjadikan ini sebagai alasan militer Myanmar menyerang mereka karena diduga ingin mendirikan negara Islam di Maungdaw. Silahkan Anda googling foto-foto pembantaian yang dilakukan ARSA.
Inilah salah satu tantangan bagi negara yang ingin membantu, termasuk Indonesia. Bagaimana caranya agar bantuan kemanusiaan itu tepat sasaran. Yakni penduduk Rakhine-Arakan yang memang tidak bersalah dan bukan pengikut ARSA juga. Karena juga sama berbahayanya kalau jutaan bantuan yang masuk malah dinikmati oleh gerilyawan ARSA dan secara tidak langsung turut membantu kelangsungan hidup mereka.
Semoga masalah di Rakhine-Arakan ini segera berlalu. Dan segala kejahatan kemanusiaan segera berakhir. Dan untuk provokator di negara ini, berhentilah nyinyir. Kalau ngotot ingin Indonesia membantu secara konkret sesuai versi mereka coba pergilah sendiri berjihad ke Rakhine.

“satu-satunya syarat untuk kejahatan menang adalah orang baik tidak melakukan apa-apa” (Edmund Burke).
 
 
Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar