Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang baru berjalan tujuh bulan sudah menorehkan sejumlah catatan keberhasilan. Di antara keberhasilan yang menjadi buah bibir, yakni pemberantasan praktik pencurian ikan atau illegal fishing oleh nelayan asing dan pembubaran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha Pertamina (Persero) yang dituding menjadi sarang mafia migas.
Aksi illegal fishing di perairan Indonesia ini terjadi setiap hari dan nilai kerugiannya mencapai Rp 300 triliun per tahun. Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan penenggelaman kapal illegal fishing. Sudah puluhan kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Terakhir, sebanyak 40 kapal asing ditenggelamkan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei lalu.
Penenggelaman kapal-kapal asing pencuri ikan ini menjadi bukti keseriusan pemerintahan Jokowi-JK memberantas illegal fishing. Sedangkan pembubaran Petral menjadi titik masuk bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk membenahi tata kelola migas yang sudah puluhan tahun “dikuasai” para pemburu rente dan mafia.
Pembubaran Petral juga memberi dampak positif bagi keuangan Pertamina. Selama tiga bulan Petral dibekukan dan perannya digantikan oleh integrated supply chain (ISC), Pertamina bisa menghemat US$ 22 juta dalam pengadaan impor minyak/BBM.
Di bidang pangan, pemerintahan Jokowi-JK juga berusaha melepaskan jerat para mafia dalam tata niaga beras dan gula. Untuk mendukung iklim investasi, Jokowi-JK menyederhanakan perizinan lewat pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di BKPM. Sedangkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan memenuhi janjinya saat kampanye pilpres, Jokowi-JK mengalihkan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan anggaran infrastruktur tahun ini menjadi sebesar Rp 290 triliun.
Pengalihan dana subsidi BBM ini berdampak positif. Lembaga pemeringkat Standard & Poor’s Ratings Services (S&P) menjadikan pengalihan dana subsidi BBM sebagai salah satu alasan untuk menaikkan outlook peringkat utang Indonesia dari stabil menjadi positif (BB+). Indonesia dinilai memiliki kepercayaan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Lembaga pemeringkat itu juga menilai Indonesia bisa masuk dalam kategori layak investasi (investment grade) dalam 12 bulan ke depan, jika pemerintah mampu meningkatkan kualitas penyerapan anggarannya.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK mampu menekan impor minyak dan BBM hingga 40 persen dalam tiga bulan terakhir. Faktor kuncinya ada pada tiga kebijakan, yakni pengurangan subsidi yang memaksa konsumen untuk berhemat, tidak diberikannya lagi izin operasi kapal ikan asing besar, serta makin kecilnya disparitas harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi.
Sukses Jokowi-JK juga ditandai dengan angka surplus neraca perdagangan Indonesia yang membesar. Selama periode Januari-April 2015, surplus perdagangan tercatat US$ 2,77 miliar atau meningkat 404,40 persen dibandingkan defisit US$ 0,19 miliar pada periode sama tahun lalu. Sedangkan pada periode November 2014 sampai April 2015--atau enam bulan pemerintahan Jokowi-JK--mencatatkan surplus perdagangan US$ 2,54 miliar. Angka ini lebih tinggi 82,73 persen dibandingkan periode November 2013-April 2014 yang mencatatkan surplus sebesar US$ 1,39 miliar.
Meski telah menorehkan sejumlah keberhasilan, Jokowi-JK jangan berpuas diri. Masih banyak tantangan dan persoalan yang harus diselesaikan, terutama mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Perekonomian yang melesu juga menjadi tantangan yang segera diselesaikan menteri ekonomi Kabinet Kerja yang kinerjanya belum memuaskan. Kondisi ini tercermin dari sejumlah indikator makroekonomi di kuartal I-2015.
Seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 hanya mencapai 4,71 persen, lebih rendah dari kuartal I 2014 sebesar 5,21 persen dan kuartal sebelumnya 5,01 persen. Indikator makroekonomi yang lain juga suram. Data BPS menyebutkan, per Februari 2015, pengangguran terbuka justru bertambah 300.000 orang menjadi 7,45 juta atau 5,81 persen dari total angkatan kerja. Sebelumnya, pengangguran masih 5,7 persen atau 7,15 juta orang. Padahal, APBNP 2015 menargetkan tingkat pengangguran sebesar 5,6 persen. Kondisi indikator makroekonomi ini menjadi alarm bagi tim ekonomi Jokowi-JK.
Pelambatan ekonomi kuartal I tidak bisa dilepaskan dari rendahnya penyerapan anggaran pemerintah. Hingga 31 Maret 2015, realisasi belanja pemerintah dari APBNP 2015 baru terserap 18,5 persen dari angka ideal 25 persen. Belanja modal pemerintah yang dalam lima tahun terakhir hanya terserap rata-rata 85 persen tidak boleh terjadi tahun ini. Penyerapan belanja modal harus segera dipacu hingga mencapai 100 persen pada akhir tahun agar target pertumbuhan ekonomi 5,7 persen bisa tercapai. Tahun ini total alokasi belanja negara dalam APBNP 2015 ditetapkan sebesar Rp 1.984,1 triliun, sedangkan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 664,6 triliun.
Selain percepatan pencairan belanja pemerintah, para menteri dalam Kabinet Kerja harus berani melakukan terobosan kebijakan untuk menangani masalah yang menjadi tanggung jawabnya. Terobosan kebijakan dilakukan tentunya tanpa melanggar aturan. Terobosan diperlukan agar pembangunan bisa lebih cepat dan hasilnya bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar