Kita sudah dengar, baca dan ketahui bahwa akan ada rencana aksi di Candi Borobudur sebagai aksi solidaritas terhadap krisis kemanusiaan di Myanmar. Kita juga sudah mengetahui siapa motor penggerak aksi ini, yaitu ormas keagamaan Islam.
Tapi sejujurnya saya tidak ingin membahas tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, karena jauh dari pemahaman saya. Artinya, saya tidak tahu dengan pasti apa yang sedang terjadi di sana, mengapa tragedi itu terjadi, siapa dalangnya, dan siapa saja yang terkena dampak tragedi kemanusiaan itu. Saya hanya bergantung pada berita di berbagai media jalur utama, seperti Kompas, Detik, JawaPos, MetroTv, TVOne, dan media lokal lainnya yang kredibel dan media luar negeri seperti The Guardian, New York Times, CNN, The Telegraph, BBC News, dan lain sebagainya. Dan dari sekian berita yang saya peroleh, tidak ada kesimpulan tunggal. Jadi sumber beritanya bukan hanya media sosial dan website abal-abal ala kaum bumim datar loh….
Aksi Borobudur adalah kebodohan
Saya sangat menghargai solidaritas dan simpati saudara seiman. Saya sangat setuju ada aksi simpati demi perdamaian di Myanmar. Jangankan yang seiman, saya justru lebih senang lagi bila kita semua, baik Islam, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu dan aliran kepercayaan lainnya melakukan aksi perdamaian. Tetapi aksi damai atau simpati bukan berarti asal aksi, nanti akan jadi terlihat bodoh.
Ya, kebodohan paling parah sepanjang sejarah simpati Muslim Indonesia terhadap sesamanya. Kenapa? Karena pada tragedi kemanusiaan di Suriah sudah terbukti bahwa kebaikan saudara Muslim Indonesia yang merelakan sebagian dari penghasilan mereka untuk membantu rakyat Suriah, justru disalurkan ke kamp-kamp ISIS. Ini sangat menyakiti hati mereka yang tulus bersedekah dan berempati terhadap saudaranya.
Lalu, ketika sekarang ada tragedi kemanusiaan Rohingnya, bukan mengumpulkan dana lagi seperti Suriah, melainkan mau membuat kegaduhan dengan melakukan aksi di Borobudur. Bukankah suatu kebodohan kalau kita membawa konflik di Myanmar ke negara kita sendiri? Bukankah suatu kebodohan bila kita bereaksi buta terhadap krisis kemanusiaan di Rohingya seperti dulu kita bereaksi terhadap krisis kemanusiaan di Suriah? Bukankah suatu kebodohan jika keledai jatuh ke dalam jurang yang sama untuk kedua, ketiga dan kesekian kalinya? Kalau bukan, lalu apa?
Ada tiga hal yang saya soroti soal kebodohan ini. Pertama, apa hubungan Borobudur dengan Rohingya? Tidak ada hubungan sama sekali. Jika seandainya saudara-saudara Muslim mau melakukan aksi simpati terhadap etnis Muslim Rohingya, kan bisa mendesak pemerintah agar lebih aktif lagi melakukan aksi perdamaian di Myanmar, melampaui yang sudah dilakukan sekarang. Bisa dengan melakukan aksi doa agar pertikaian di Myanmar cepat dapat diselesaikan. Atau yang lebih mulia lagi, bisa mengumpulkan dana untuk membantu pengungsi etnis Rohingya melalui lembaga yang dapat dipercaya.
Borobudur sendiri bukan lagi hanya milik agama Budha. Borobudur, selain tujuan finansial, juga menjadi simbol kejayaan bangsa ini. Borobudur adalah salah satu identitas keindonesiaan. Maka sangat tidak tepat jika krisis kemanusiaan di Rohingya justru ditujukan ke Borobudur. Maaf, hanya ISIS yang akan menghubungkan konflik Rohingya dengan Borobudur, karena mereka benci peninggalan-peninggalan sejarah juga benci tempat beribadah umat beragama lain.
Kedua, apa hubungan Budha Indonesia dengan tragedi Rohingya? Setahu saya, antara umat Budha Indonesia dengan Myanmar tidak memiliki satu kesatuan terstruktur sebagai suatu lembaga religius. Struktur kepemimpinan religius agama Budha tidak seperti struktur kepemimpinan religius agama Katolik yang tersentralisasi di Vatikan. Pun tindakan umat Budha Myanmar pasti bukan karena keputusan dan dorongan dari Budha Indonesia. Sangat berlebihan kalau kita mengaitkan Budha Indonesia dengan di Myanmar. Apakah mereka mengalami diskriminasi karena minoritas di sana? Memangnya umat Budha tidak mengalami diskriminasi di Indonesia. Maka tragedi Rohingya tidak bersangkut paut secara langsung dengan Budha di Indonesia.
Ketiga, jangan bawa konflik Myanmar ke Indonesia. Apakah perencana dan pendukung aksi Borobudur merasa paling berempati terhadap tragedi kemanusiaan di Myanmar? Tidak. Bukan hanya Anda. Kita Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradap sangat berempati. Bahkan pemerintah sudah melakukan tindakan-tindakan yang sangat aktif baik melalui jalur diplomasi pun melalui bantuan kemanusiaan. Kalau dirasa tindakan pemerintah belum cukup, itu karena Anda tidak paham soal hubungan Internasional. Tidak bisa seenak udel pemerintah Indonesia mencampuri urusan negara orang lain. Ada prosedurnya.
Melakukan aksi di Borobudur hanya akan menyulut konflik antar agama di Indonesia. Sebab melakukan aksi di Borobudur sudah menghakimi umat Budha Indonesia sebagai pelaku tragedi kemanusiaan Rohingya. Dan itu tuduhan keji.
Apakah kalau ISIS menyerang dan membantai umat Kristiani di Timur Tengah, lalu Kristiani meminta pertanggung jawaban umat Islam Indonesia dan melakukan aksi di Mesjid Istiqlal? Kalau ada, saya akan menyebut orang itu orang terbodoh yang pernah ada. Karena jelas tidak ada hubungannya sama sekali.
Aksi Borobudur adalah agenda busuk pihak tertentu
Siapa pun motor penggerak aksi, entah niatnya tulus atau tidak, sangat rentan disusupi agenda busuk pihak tertentu. Agenda busuk seperti apa? Agenda yang menginginkan terjadinya konflik agama di Indonesia. Dengan adanya konflik agama, Indonesia rentan untuk diaduk-aduk dan digoreng-goreng.
Siapa yang punya agenda? Pertama, politisi. Dampak konflik agama akan menciptakan ketidakpercayaan kepada pemerintah karena tidak mau menciptakan situasi kondusif di negara ini. Apalagi mendekati Pemilu, konflik agama sangat mujarab untuk meraup dukungan. Anda mau, pemimpin negara ini nantinya adalah orang yang menggunakan konflik untuk meraih kekuasaan?
Kedua, teroris. Sudah sangat jelas kita dengar dari mantan teroris bahwa konflik agama merupakan kesempatan paling sempurna bagi teroris untuk melakukan aksinya. Tidak ada konflik saja, mereka berusaha menciptakan konflik, apalagi ada konflik, maka akan menjadi santapan empuk para teroris. Anda mau, jadi sasaran empuk teroris.
Ketiga, pihak yang nama baiknya sedang bobrok. Jujur, saya tidak bisa melepaskan FPI, HTI dan GNPF dari hal ini. Sebab kelompok-kelompok ini sedang berada di titik nadir. Maka aksi Borobudur adalah kesempatan sempurna mereka untuk menaikkan pamor mereka sebagai pembela sesama.
Anda mungkin mau membantah, silakan. Tetapi bukti tidak dapat berbohong. Terutama di media sosial, sebagai media paling murah para penyebar hoax, sudah beredar berita-berita yang memicu kemarahan saudara umat Muslim Indonesia. Dan orang yang menggerakkan itu ya itu itu aja kan.
Kesimpulan saya
Saudara-saudara Muslim yang saya cintai. Kami, rakyat Indonesia baik non atau pun Muslim, yang menjunjung tinggi Pancasila, tidak akan mungkin tidak berempati terhadap etnis Rohingya. Kami mendukung pemerintah untuk ikut ambil bagian dalam penyelesaian konflik di Myanmar, baik berupa diplomasi dan bantuan kemanusiaan. Bahkan kalau memungkinkan, pemerintah melakukan lebih dari pada yang bisa mereka lakukan selama itu tidak melanggar hukum yang berlaku. Karena kami sadar bahwa tindakan diskriminasi maupun kekerasan terhadap agama atau pun etnis tertentu tidak dapat dibenarkan.
Hentikan aksi Borobudur. Melanjutkan aksi itu, kali ini saya sependapat dengan ketua Pemuda Muhammadiyah, akan menyudutkan dan mengerdilkan Islam itu sendiri baik di Indonesia maupun di mata dunia. Yang terpenting, jangan biarkan pembohong berjubah rasa empati merusak ketenteraman negeri ini.
Rakyat Indonesia tidak mau dan tidak rela bila konflik di negara orang lain diimpor ke negara ini. Tapi sangat setuju jika konflik apa pun di negeri orang semakin memperkuat persaudaraan kita dan kita ikut mendukung pemerintah agar melakukan usaha apa pun yang sesuai prosedur yang berlaku demi perdamaian di mana pun.
Tulisan ini mungkin terasa menyakitkan bagi mereka yang berniat tulus, tetapi harus saya sampaikan demi pemahaman yang lebih baik. Semoga.
Salam dari rakyat jelata
0 komentar:
Posting Komentar