Strategis, cepat dan tanggap adalah ciri khas yang dimiliki oleh Presiden kita yang tercinta, yang terpilih secara sah konstitusional melalui mekanisme pesta demokrasi. Kehadirannya meskipun masih banyak catatan dan kekurangan, sudah dapat menjadi tolak ukur bagaimana rakyat mengubah mentalnya sebagai bangsa yang besar dan sebagai bangsa yang merdeka bukan bangsa terjajah.
Sebab jika suatu negara, dengan kondisi rakyat yang salah dalam berfikir dan salah dalam mengambil jalur narasi kehidupannya, siapapun dan bagaimanapun sosok pemimpinnya, suatu bangsa atau negara tidak akan kunjung menemui kemajuannya. Kita tentunya masih ingat dengan cerita nabi Nuh, sampai-sampai tuhanpun mengirimkan bencana yang dahsyat, padahal pemimpin negeri itu adalah seorang nabi.
Pun demikian dengan Indonesia hari ini, selama yang terpatri dalam otak-otak bangsanya adalah mindset-mindset 212, selama itupulah jangan pernah berharap Indonesia akan menjadi negara yang maju. Dunia sudah menoleh kita, sejak dunia Arab tidak kunjung damai padahal di sana Islam yang menjadi pegangan hidupnya. Dunia belajar kepada kita bagaimana mengelola kemajemukan, dan belajar pada Islam Indonesia yang toleransinya luar biasa.
Jika sudah demikian, masihkah kita tidak bisa bersyukur kepada tuhan yang meneteskan surganya, yang membentuk kepulauan nusantara ini. Masihkah kita atas nama identitas kesukuan, keagamaan, teritorial, golongan, selalu merasa benar dan selalu merasa bahwa kita wakil tuhan yang kemudian mewujudkan diri sebagai tuhan, dengan menghakimi dan mengadili sesama umat manusia.
Bangsa kita masih banyak persoalan, kesenjangan, ketidakmerataan, ketidaksetaraan dan ketidak-ketidak lainnya. Marilah kita dukung bersama pemerintahan yang ada ini, mumpung keberpihakan Presiden kita kali ini berada pada kepentingan nasional, jangan bikin gaduh, jangan bikin hoaks dan jangan saling menghasut atas nama apapun.
Masihkah Kita Termakan Hasutan Atas Nama Agama
Indonesia sebagai negara yang berkomitmen untuk perdamaian dunia, sebagaimana yang tertera dalam preambule UUD 45, memang tidak cukup hanya berucap “saya prihatin” dan “saya mengutuk” tanpa tindakan jelas kongkrit strategis. Harus ada tindakan yang cerdas, tepat dan strategis untuk bersumbangsih terhadap perdamaian dunia.
Apa yang sebenarnya terjadi sekarang di Rohingya, pastilah menusuk hati umat Islam, dan juga umat-umat yang lainnya atas nama kemanusiaan. Akan tetapi tidak ada yang tahu persoalan yang sebenarnya, jangankan kita yang berada beda negara dengan mereka. Sampai sekarang, di antara kita masih ada yang tidak bisa melihat bahwa deretan aksi 212 pyur persoalan politik, bukan persoalan bela agama. Ingat itu!
Maka kecerdasan analisa-analisa tingkat dewa, harus kita lakukan sebelum menyikapi persoalan krisis kemanusiaan di Rohingya. Sangat tidak bijak jika, persoalan yang ada disana itu, menjadi bahan perundungan terhadap pemerintah. Pahamilah masih banyak kasus di negeri ini yang tidak kunjung selesai, salah satunya adalah seorang tersangka tidak kunjung pulang dari tempat pelariannya.
Menyikapi persoalan luar negeri, tidak cukup hanya dengan menyamakan iman mereka dengan kita, setidaknya kita juga harus memahami hukum luar negeri yang ada. Tidak serta-merta ketika saudara seiman kita di sana mengalami penindasan kemudian kita bersorak membabi buta kepada pemerintah kita sendiri. Semua butuh jalan yang elegen, terlebih bagi negara, jangan grusa-grusu.
Simpati saya kepada saudara-saudara seiman yang ada di Rohingya, bukan Karena persoalan kesamaan iman belaka, tapi kemanusiaan. Iman adalah hubungan manusia dengan tuhan, toh semangat-semangat membela umat muslim di Rohingya yang ada di antara yang menggebu-gebu itu, seakan melupakan bahwa mereka pernah menolak mensholatkan jenazah muslim, hanya karena beda pilihan gubernur.
Belum lagi persoalan lembaga-lembaga infaq dan shodaqoh yang terlalu ngawur dalam menggugah solidaritas sesama muslim, untuk menyumbangkan sebagian hartanya kepada muslim di Rohingya. Mereka mengunggah gambar-gambar palsu, hanya demi persoalan agar dapat mendapatkan donasi dana yang lebih banyak.
Lebih kucluk lagi kalau persoalan yang ada di Rohingya, dianggap sebagai akibat ulah pemerintah Indonesia sekarang -dan ternyata hal yang semacam itu ada-. Apakah persoalan di Indonesia masih kurang banyak, sampai-sampai hanya untuk mengubah pandangan rakyat kepada Presidennya sendiri harus “mengimpor” konflik. Ayo kita sudahi mindset-mindset kagetan seperti itu semua.
Selanjutnya adalah tugas dan peran serta kewajiban kita, untuk tetap membangun dan memelihara lingkungan yang harmonis di tengah kehidupan sosial yang majemuk luar biasa seperti ini. Jika ada yang terjadi terhadap saudara-saudara kita di luar negeri sana, kita titipkan pada pemerintah, apa-apa yang menjadi harapan kita atas kondisi saudara-saudara kita di sana.
Cukuplah kita disini, sholat ghoib dan membacakan tahlil untuk para korban, juga istighotsah untuk perdamaian saudara-saudara kita di Rohingya. Adanya pemerintah disini adalah kepanjangan tangan kita sebagai rakyat. Jangan diperkeruh dengan tebar-tebar pesona sok peduli Rohingya.
0 komentar:
Posting Komentar