Cari Blog Ini

Jumat, 14 April 2017

Sampai Kapan Menjadi Budak Radikalisme?

Sumber gambar: http://julianawacheed.blogspot.co.id

Indonesia dari sejak awal masuknya pengaruh Hindu dan Buddha merupakan negara kesatuan yang begitu majemuk dan sangat toleran. Hal ini dipraktekkan oleh jaman kerajaan Mataram Kuno dimana wangsa Sanjaya dan Syailendra bisa hidup berdampingan dengan damai.
Sampai masuknya penjajahan bangsa asing melalui aliansi dagang VOC membuat Indonesia mulai terkotak-kotak dengan politik devide et impera. Mulailah luntur rasa persaudaraan, karena devide et impera merupakan alat pemecah yang paling ampuh dalam agenda VOC. Demi kepentingan dan keuntungan mereka, kita diperbudak dan diadu-domba. Tanpa sadar kita mulai terbiasa mengadopsi mental adu-domba tersebut dari generasi ke generasi.
Dengan sabarnya mereka membentuk sistem yang tahan lama untuk mereka nikmati hasilnya. Mereka masuk dengan halus, terjadi kerja sama yang menguntungkan, sembari menanamkan paham mereka yang mulai merusak “persaudaraan” sebangsa dan setanah air. Beberapa golongan masyarakat sadar akan virus perusak ini dan melakukan perlawanan namun akhirnya tumbang seperti bermain catur, para penjajah hanya tinggal “memanen” kerja kerasnya dengan memainkan bidak yang sudah dibentuknya sepanjang waktu.
Mental budak tersebut masih hidup ditengah-tengah masyarakat kita yang sudah merdeka dan mulai berkembang selama 71 tahun. Dapat kita lihat berkurangnya rasa persaudaraan sebangsa karena praktek korupsi dan berkembangnya paham radikal yang mendorong kepada tindakan perpecahan, intoleran, kriminal dan teror. Belum selesai kasus korupsi, kita malah disuguhkan paham radikal yang gamblang melalui berita-berita mainstream yang provokatif dan penuh fitnah.
Para penggiat paham radikal tidak akan merasa tenang sampai agendanya terlaksana. Seperti para penjajah, mereka membangunnya secara perlahan. Mulai dari pendekatan religi, sosial dan politik semakin jauh mulai menampakkan taring mereka yang merasa tidak nyaman bila masih ada perbedaan disekitar mereka. Sehingga mulai membenturkan banyak isu-isu kecil menjadi krusial.
Mereka mulai menebar orasi-orasi radikal untuk menyuburkan potensi konflik dan teror secara perlahan. Mereka sadar itu akan menjadi bom waktu, karena mereka paham betul bahwa masyarakat awam sangat mudah digerakkan dengan fanatisme buta tanpa kemauaan menelaah lebih dalam, karena tujuan mereka memang menciptakan kekacauan. Dengan demikian apapun yang menjadi kepentingan politik mereka dapat tercapai sesuai agenda.
Kita harusnya sadar bahwa pendekatan mereka yang awalnya “halus” adalah mematikan dan akan merusak kembali rasa “persaudaraan” sebangsa dan setanah air. Sehingga masyarakat awam tidak lagi mudah terpengaruh dengan produk-produk paham yang intoleran, kriminal, teror dan perpecahan. Menjaga supaya jangan sampai terjadi ketegangan diantara masyarakat bila bersinggungan dengan isu-isu sensitif yang kerap diprovokasi dan diekspos melalui media mainstream dan media sosial. Dengan demikian perasaan untuk saling curiga dan merasa terancam dapat dilenyapkan, sehingga agenda terselubung para penggiat radikalis tersebut tidak tercapai.

Selamatkan Generasi Muda
Objek yang paling menggiurkan untuk melaksanakan propaganda radikal adalah anak-anak muda. Usia muda indentik dengan proses pencarian jati diri, masih sangat labil dan sensitif. Orang-orang muda haus akan pengakuan identitas dan aktualisasi diri, sehingga kelabilan mereka sangat cocok diperalat untuk tujuan tertentu oleh para penggiat radikalisme.
Mereka giat masuk kedalam dunia orang-orang muda melalui perkembangan lifestyle dan media sosial. Melalui gaya hidup, mereka mulai membungkus keindahan homogenitas dengan pemahaman yang halus. Sehingga melalui proses waktu akan menolak adanya kekayaan keberagaman individual atau kelompok. Melalui media sosial mereka mulai membungkus hal-hal yang berunsur religi “tanpa” benar-benar hidup dan memahami dengan benar esensinya.
Itulah mengapa sering kita lihat berita-berita finah dan lama-laman hoax yang ada di media elektronik sangat mudah dan gencar dibagikan. Mereka paham akibatnya, begitu juga dengan potensi kekacauan yang justru mereka harapkan. Perlahan memupuk kebencian untuk membentuk kecurigaan dan ketegangan, sewaktu-waktu akan membenturkannya menjadi konflik.
Anak-anak muda yang labil ini butuh pengertian yang lebih baik mengenai kemanusiaan. Pemahaman kemanusiaan yang beradab yang tak pernah ditunjukkan oleh para penggiat radikalisme karena mereka sibuk memainkan play the victim. Generasi muda ini rentan untuk digiring ke dalam situasi yang mereka tidak pahami.
Oleh sebab itu kita sebagai manusia yang sadar pentingnya menjaga tali persaudaraan harus senantiasa mengingatkan mereka untuk tidak terperdaya paham radikal yang hanya membuat mereka menjadi alat propaganda dan korban terorisme.
Indikasi radikalisme ini sudah sangat kontras dan kita wajib saling mengingatkan. Indonesia sudah lama kaya dengan kemajemukan, seperti kumpulan batu mulia yang berwarna-warni sehingga membuat bangsa lain terpukau bahkan iri dengan kerukunan masyarakat kita sejak dulu kala. Saat ini mereka yang iri mulai melancarkan aksinya dengan membuat gesekan-gesekan dan potensi konflik diantara kita.
Melalui para penggiat radikalisme, mereka ingin menjadikan bangsa ini kacau dan menciptakan konflik seperti yang terjadi luar sana. Seketika saat konflik meledak, mereka merampas segalanya sehingga kita tak punya apa-apa lagi selain ratapan dan penyesalan.
Oleh sebab itu berhentilah mempropagandakan radikalisme karena kita Indonesia, kita bersaudara. Mau sampai kapan menebar kebencian dan tindakan radikal atas nama agama? Bukankah kita semua saudara dalam kemanusiaan? Menempatkan sisi kemanusiaan tidak lantas menjadikan semuanya bersalahan. Karena justru disitulah letak keberadaban kita.

Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar