Cari Blog Ini

Sabtu, 15 April 2017

Peran Agama Melahirkan Perdamaian

Peranan agama dalam menciptakan tata dunia baru yang berkeadilan sangat penting. Konflik di Gaza mengajak kita semua merenungkan kembali makna hakiki yang mendasar mengenai sejauh mana sumbangan agama dalam menciptakan perdamaian. Sejak konflik Gaza meletus, berbagai tokoh agama di Indonesia bergandengan tangan mengusahakan perdamaian dan berupaya mencari solusi menghentikan konflik. Mereka tidak hanya datang ke perwakilan PBB di Jakarta, bahkan menulis surat kepada Presiden Obama agar politik Amerika segera mengubah haluan. Berubah untuk lebih aktif dalam memelihara perdamaian dunia. Khususnya, mengusahakan perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Dalam konteks politik Amerika, Thomas F Farr dalam World of Faith and Freedom menggarisbawahi, pemahaman agama yang kurang mendalam dalam kebijakan politik mereka. Pengalaman selama 21 tahun dalam pengabdian sebagai Direktur Kebebasan Beragama Komunitas Internasional, Farr menyoroti kebijakan luar negeri Amerika yang sering kali tidak tepat, misalnya dalam masalah Afghanistan dan Irak yang tidak peka terhadap kultur keberagamaan.
Ini merupakan bentuk pelanggaran yang paling mendasar, yakni kebebasan beragama. Amerika memaksakan demokrasi menjadi model konstitusi dengan mengabaikan aspek paling asasi manusia, yakni agama. Agama kerap kali dijadikan alat pembenaran untuk menciptakan konflik, terutama dalam melegalkan kekerasan atas nama agama. Padahal jelas bahwa agama merupakan sarana yang teramat penting dalam menciptakan perdamaian dunia.
Tentu saja, kebebasan agama tidaklah hanya sekadar kebebasan dari penyiksaan atau hukuman penjara yang tak adil. Kebebasan agama meliputi hak untuk berbagai tindakan publik dan dalam rangka berperan untuk pembentukan kebijakan publik. Kebebasan agama mengarahkan klaim bahwa agama dan status bisa secara terus-menerus didamaikan dan seimbang. Perang tidak akan menyelesaikan masalah melainkan hanya akan menciptakan lingkaran kekerasan baru.
Kehancuran Nilai Kemanusiaan
Cukup menarik memerhatikan seruan Paus Benediktus XVI dalam doa kepada dunia mengharapkan agar gencatan senjata segera diwujudkan untuk menghentikan kekerasan. Apa pun alasannya, kekerasan itu telah menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan universal. 
Desakan lebih kuat juga datang dari Konferensi Uskup Amerika yang meminta agar Amerika segera menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Namun, seruan para tokoh dunia ini belum membuat Israel berhenti melakukan pengeboman terhadap warga sipil tidak berdosa.
Perang merupakan bibit kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Perang tidak akan membawa perubahan terciptanya perdamaian. Perang tidak akan menyelesaikan masalah. Perang hanya akan melahirkan masalah baru yang jauh lebih rumit dibandingkan sebelum perang.
Apa yang dilakukan Israel atas rakyat Palestina jelas melanggar moralitas kemanusiaan, HAM, dan melukai demokrasi yang telah susah payah dibangun di Palestina. Israel seperti monster yang menakutkan. Demikian juga para militansinya yang kerap menjadikan penduduk sipil tak bersalah sebagai tameng peperangan. Permasalahan Israel dan Palestina sudah bergeser dari masalah-masalah ideologis menjadi masalah kemanusiaan universal. Dengan alasan itulah maka setiap umat beragama apa pun dan dari kelompok mana pun yang mencintai perdamaian sudah seharusnya menggerakkan spirit perdamaian yang lebih luas.
Salah satu tantangan yang sangat besar dalam menciptakan kerukunan agama adalah fundamentalisme dalam diri setiap ajaran agama. Fundamentalisme ini sering mewujud dalam berbagai bentuk kekerasan. Semua agama memiliki potensi untuk menciptakan kekerasan kapan pun dan dimana pun. Hakikat agama adalah untuk kedamaian. Agama telah menunjukkan jalan terbaik sehingga sekarang tinggal bagaimana berbagai kepentingan tersebut bertemu satu meja, dan terimplementasikan dalam kehidupan nyata masyarakat. Perlunya penyadaran bahwa sebenarnya agama bukanlah kekuatan yang destruktif, tapi sebaliknya, transformatif.
Kesalehan Sosial
Dialog antaragama tidak boleh berhenti sebatas formalitas belaka. Pembumian makna dialog ini berarti menepis hal-hal yang berbau ritual dan formal, tapi lebih menjunjung tinggi aspek semangat dan rohnya. Lebih jauh lagi, pembumian makna dialog juga berarti bagaimana masyarakat bawah menerima cahaya kedamaian ini guna menjalankan kehidupan dalam suasana yang tenang tanpa ketakutan dan kecemasan. 
Yang perlu mendapat prioritas adalah bagaimana membangun kesadaran dalam beragama. Keberagamaan kita mestinya tidak sekadar berwajah kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Kesalehan sosial, selain bermakna kepedulian di bidang ekonomi, juga kepedulian untuk tidak menghardik umat dari agama lain.
Jika agama kita berwajah seperti itu, wajah agama kita amat manusiawi, sebab orientasinya tidak egoistik, tetapi mengandung relasi dengan sesama, bahkan altruistik. Jika demikian, tiap ibadat pun lebih dilandasi sikap hati yang tulus untuk memberi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan.
Mempersembahkan korban bukan hal utama dalam agama, tetapi pemihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan. 
Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaannya bukan untuk kepentingan diri sendiri yang egostik, tetapi sebaliknya altruistik. Romo Mangun (Alm) mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri, justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya, beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri.
Upaya menciptakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama sering kali terhalang karena yang ditonjolkan dalam diri setiap agama bukanlah persamaannya, melainkan perbedaannya. Sudah dipahami bahwa agama satu berbeda dengan lainnya, namun jarang dipahami bahwa salah satu cara baik untuk terus-menerus memperbaiki kehidupan beragama dalam bingkai pluralitas adalah memperbesar dan menonjolkan aspek persamaan yang ada. Sikap keberagamaan umat sangat tergantung dari sejauh mana umat dewasa melihat perbedaan sebagai potensi perdamaian, bukan potensi konflik. Perbedaan adalah keniscayaan yang alamiah, dan karena itulah dimengerti sebagai bekal untuk memupuk rasa persaudaraan dan kemanusiaan.
 

0 komentar:

Posting Komentar