Cari Blog Ini

Selasa, 25 April 2017

ANTI NKRI, STIGMA TERHADAP GERAKAN ISLAM

Source: http://hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=news&id=710
(Tanggapan atas tulisan yang dimuat di http://portal.bantenprov.go.id, 14 Agustus 2006)
Oleh Muhammad Al-FakkarKetua Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Tangerang
Website pemerintah Provinsi Banten (bantenprov.go.id) pada tanggal 14 Agustus 2006 mengangkat tulisan dengan judul Perdebatan Islamopobia dikaitkan dengan Peraturan Daerah yang mengutip beberapa komentar aktivis, seperti aktivis liberal Luthfi Assyaukanie yang menyatakan bahwa terdapat semangat keagamaan yang berlebihan yang akan mengancam keutuhan Indonesia. Lebih lanjut dikutip bahwa Hizbut Tahrir adalah contoh gerakan yang anti negara kesatuan RI.
Pengutipan pernyataan-pernyataan Assyaukanie sebagaimana pernyataan lain yang sering dia tulis dalam berbagai tulisannya adalah sebagai stigma/stempel terhadap umat Islam dan gerakan Islam yang bermaksud memperjuangkan kehidupan mereka sesuai dengan akidah mereka yakni akidah Islam yang diwujudkan dalam kehidupan dengan Syariat Islam.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi terhadap tulisan yang dimuat pada website http://portal.bantenprov.go.id tanggal 14 Agustus 2006. Pertama, dari pengutipan pernyataan tidak menyebutkan kapan dan di mana pernyataan tersebut disampaikan, karena dari sisi opini tampak bahwa beberapa opini yang dikutip adalah opini yang sudah kedaluwarsa tetapi diungkap kembali sehingga kehilangan ke-aktual-annya. Misalnya, pernyataan-pernyataan yang menggiring opini bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sebagai semangat berlebihan dan mengancam keutuhan Indonesia adalah opini pada momen lama ketika kelompok liberal berupaya menggiring opini bahwa kelompok pejuang Syariah sebagai kelompok berbahaya, mengancam keutuhan Indonesia dan oleh karenanya harus dibubarkan. Opini tersebut sudah tidak aktual lagi karena justru opini yang sekarang berkembang adalah semangat pembelaan terhadap umat Islam, nilai-nilai kemanusian dan keadilan yang sedang dikoyak-koyak akibat kerakusan sistem Kapitalisme yang dipraktekkan oleh negara penopang utama sistem ini, yakni Amerika Serikat dan Israel, termasuk Eropa yang membiarkan kebrutalan ini terus berlanjut.
Kedua, terkait dengan beberapa isu yang diangkat, misalnya isu tentang perda bernuansa syariah dan mempertentangkan antara NKRI dengan Syariat Islam adalah upaya untuk menjauhkan umat Islam terhadap Islam (syariat Islam) sebagai umat mayoritas negeri ini yang telah berjuang cukup lama mengusir penjajah sampai akhirnya berhasil membangun NKRI. Kita tentu mengetahui perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatra Barat, Teuku Umar di Aceh, Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan banyak tokoh dan ulama lain. Mereka berjuang dengan gigih sampai membangkrutkan penjajah Belanda. Mereka berjuang semata-mata sebagai wujud dorongan akidah Islam dan ketaatan mereka terhadap Syariat Islam. Maka mereka pun berjuang mengusir penjajah untuk meraih kemulian atau mendapatkan syahid. Para ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia adalah penegak NKRI. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan Syariat Islam bukan sekedar bernuansa Syariat Islam. Karena itu mengaitkan perjuangan penegakan Syariat Islam dengan ancaman NKRI adalah pernyataan ahistoris, tidak ditemukan landasan dalam akar sejarah tegaknya NKRI, bahkan melawan arus keingininan mayoritas penduduk negeri ini. Sangat baik membaca kembali tulisan KH Ma’ruf Amin (Ketua MUI) yang dimuat pada harian Republika, Rabu 14 Juni 2006 yang membahas bahwa upaya untuk memisahkan NKRI, UUD 1945 dan Pancasila dengan Syariat Islam adalah sebuah upaya sekularisasi Pancasila yang tentu harus dicegah.
Ketiga, isu-isu tersebut diangkat dan nampaknya akan selalu diangkat sebagai upaya untuk mengeliminir kelompok dan para pejuang penegak Syariah, yang tentu bagi kelompok liberal dan sekuler sangat mengganggu eksistensi mereka. Kita masih ingat kasus Gus Dur di Purwakarta pada hari Selasa 23 Mei 2006, di mana tidak terjadi peristiwa pengusiran Gus Dur sebagaimana Gus Dur sendiri membantahnya, tetapi opini selalu diarahkan agar muncul stigma negatif terhadap kelompok yang terbukti telah sukses menggelar aksi sejuta umat di HI-Gedung DPR/MPR 21 Mei 2006. Ujung-ujungnya opini tersebut diarahkan untuk menjastifikasi upaya pembubaran ormas-ormas Islam.
Keempat, kutipan pernyataan bahwa Hizbut Tahrir sebagai contoh gerakan anti NKRI adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta perjuangan yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir. Siapapun yang mengamati kiprah perjuangan Hizbut Tahrir akan menemukan bagaimana konsistensi dan kegigihan Hizbut Tahrir dalam melakukan perjuangan untuk : (1) Menyerukan kesatuan umat, waspada terhadap upaya pemecah-belahan NKRI dari penjajah terutama AS. Kita bisa membaca brosur-brosur, booklet, buletin, majalah, website dan tulisan-tulisan yang banyak tersebar di tengah masyarakat dalam kasus Timor-timur, Aceh, Papua dan Maluku. Kita dapat membaca bagaimana analisis Hizbut Tahrir dalam kasus selat Malaka yang ingin dijadikan AS sebagai pangkalan militernya, Peran Asing di Papua, Timor-timur maupun Aceh. (2) Membongkar rencana-rencana penjajah untuk menguasai Indonesia, memecah belah dan membuat negeri ini selalu tergantung dengan AS. Kasus Freeport, tambang minyak Blok Cepu, Ambalat dan beberapa kasus lain tentu menyadarkan kita betapa upaya penjajah memecah belah dan menguasai Indonesia adalah sesuatu yang nyata dan karenanya harus disadari dan dihentikan. Hizbut Tahrir juga membongkar LSM/kelompok komprador yang menjadi kepanjangan tangan penjajah, untuk mengobok-obok Indonesia. (3) Membina masyarakat menjadi masyarakat yang memiliki taraf berfikir yang tingi, memiliki kesadaran politik yang benar, tunduk kepada Allah, taat kepada pemimpin secara kritis dan berani meluruskan kedhaliman.
Kelima, harus diakui bahwa opini membenturkan perjuangan Syariat Islam dengan NKRI merupakan agenda penjajah dan LSM-LSM kompradornya karena kepentingan mereka akan terganggu. Jika umat sadar bahwa privatisasi milik umum semacam SDA (tambang, air, gas) adalah keinginan penjajah, pastilah umat akan menuntut penguasa dan anggota legislatif yang telah dipilihnya untuk mengembalikan kepada pemiliknya (yakni umat). Jika umat sadar bahwa ideologi kapitalisme adalah ideologi yang dibawa penjajah unuk melanggengkan kekuasaannya, pastilah mereka akan menuntut untuk hidup sesuai dengan ideologi yang menjadi keyakinannya (ideologi Islam).
Keenam, dalam sejarah terbukti kelompok yang ingin membubarkan NKRI adalah kelompok non muslim. Kita ingat kasus Piagam Jakarta sebagai sebuah produk kesepakatan antara kelompok Islam dan Nasionalis, kemudian dirubah secara sepihak, alasannya ada kelompok non muslim yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Kita masih ingat penyusunan UU Sisdiknas, kelompok non muslim mau melepaskan diri dari NKRI jika RUU Sisdiknas disahkan. Kita juga masih ingat kasus RUU APP, lagi-lagi kelompok non muslim mengancam akan keluar dari NKRI jika RUU tersebut disahkan. Lalu siapa sebenarnya kelompok yang anti NKRI?
Ketujuh, ada alasan bahwa masuknya agama (Islam) ke dalam perundang-undangan akan memecah belah karena ada diskriminasi agama. Alasan ini perlu dipertanyakan karena bukankah selama ini beberapa produk Syariat Islam sudah diakui dan dilaksanakan, tetapi tidak menimbulkan perpecahan. Bukankah hukum nikah, cerai, waris, kematian, zakat, bank syariah, dll adalah mengacu pada syariah? Bukankah Islam sebagai salah satu sumber hukum selama ini di Indonesia. Kita harusnya heran mengapa produk perundangan yang menjadi keyakinan mayoritas yang akan terlibat dalam perundangan tersebut harus dihilangkan, sementara perundangan penjajah yang sudah kita usir justru dipegang kuat dan dibanggakan?

0 komentar:

Posting Komentar