Cari Blog Ini

Selasa, 04 April 2017

Hoax dan Diskursus Ruang Publik

Hoax dan Diskursus Ruang Publik 

Gencarnya diskursus ruang publik akhir-akhir ini, baik dalam kalangan filsuf kontemporer seperti Antonio Gramsci, Habermas, dan Hannah Arendt maupun pada kalangan intelektual serta masyarakat Indonesia secara kompherensif, tidak terlepas dari realitas miris yang semakin mengancam eksistensi ruang publik sekarang ini.

Ruang publik bukan lagi menjadi locus kewarganegaraan dan keadaban publik yang dibentuk oleh warga negara yang saling respek melainkan telah menjelma menjadi tempat penyebaran virus kebencian, fitnah, provokatif, dan penipuan atau yang kini tren disebut sebagai hoax.

Sekilas, rupa-rupanya ruang publik menjadi sasaran empuk dari banalitas para bandit bertopeng yang berusaha memberangus prestise ruang publik demi interese terselubung. Identitas ruang publik sebagai basis komunikasi yang menjujung tinggi nilai etis dan sikap respek terhadap sesama serentak lenyap dilahap oleh ganasnya kepentingan pasar, politik, dan pemerintahan birokrasi yang amburadul. Hingga pada titik ekstrem filsuf ternama Habermas menyebut kontaminasi ruang publik ini sebagai "refeodalisasi" ruang publik.

Virus Hoax
Data mutakhir yang dirilis oleh Laman daring Turnbackhoax.id yang digerakkan oleh aktivis teknologi informasi di Indonesia selama 1 Januari 2017 hingga 2 Februari 2017, menerima 1.656 aduan informasi bohong, fitnah, ataupun hasutan dari 47.132 kali oleh 13.915 pengguna internet (Kompas, 7/2/2017).

Maraknya hoax atau berita bohong yang memadati ruang publik belakangan ini berhasil membuat masyarakat gelisah serentak mengancam persatuan bangsa Indonesia. Hoax yang ditunggangi oleh berbagai motif kepentingan dan ambisi tertentu menjadi tantangan serius bangsa ini. Sehingga tidak salah banyak kelompok kontra hoax bermunculan di mana-mana yang berinisiatif memerangi virus hoax ini dengan membentuk berbagai aplikasi berbasis crowdsource seperti Turnbackhoax, gudanghoax.com dan berbagai laman facebook Forum Anti Fitnah dan Hoax Indonesia (FAFHI) serta banyak grup lainnya yang bekerja keras untuk mengatasi masalah hoax yang sudah menggurita ini.

Regresi dan kontaminasi ruang publik ini juga diperparah oleh munculnya para buzzer atau agen politik yang secara sepihak mendukung kandidat fanatiknya dengan menyebarkan berita palsu dan secara terang-terangan menfitnah lawan politiknya. Alhasil konstelasi politik dalam ruang publik semakin memanas dan bukan tidak mungkin akan berujung pada aksi anarkis dan pembunuhan. Apalagi ditambah dengan sedikit isu yang berbau suku, agama, ras, dan golongan (SARA).

Ruang publik tidak lagi dilihat sebagai sebuah diskursus yang bersifat inklusif, egaliter dan bebas dominasi seperti yang diharapkan filsuf asal Jerman Habermas dalam bukunya Moralbewutstein und komunikatives haldenn, malah sebaliknya menjadi arena penuh kebencian, fitnah, caci-maki, intimidasi dan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

Masifnya kontaminasi ruang publik oleh virus hoax ini memberi ekses yang besar bagi kehidupan masyarakat secara umum. Seringkali muncul konflik pembunuhan dan tawuran antar kelompok hanya karena masalah yang sepele, tetapi karena dibesar-besarkan ditambah sedikit bumbu provokatif dalam ruang publik maka bukan tidak mungkin nyawa pun melayang.

Apalagi jika ditanggap oleh kecerdasan intelektual dan emosional yang minim niscaya pertumpahan darah pun tidak bisa dielakkan. Persis pada titik ini filsuf perempuan berdarah Yahudi Hannah Arendt menyebutnya sebagai "krisis ruang publik".

Konsolidasi Ruang Publik
Melihat indeks pencemaran ruang publik yang memprihatinkan ini, paling kurang ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu sebagai solusi jangka pendek kita mesti bisa membangun komitmen untuk sama-sama memerangi virus hoax dengan membentuk kelompok atau grup anti hoax.

Yang kedua, sebagai solusi jangka panjang masyarakat Indonesia harus dibiasakan untuk membaca. Literasi yang rendah ditambah minat baca yang minim akan menjadi sasaran dan ladang hoax yang subur.

Di Indonesia menurut UNESCO (2012) minat baca masyarakat Indonesia baru 0,0001 persen. Artinya di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca dengan serius. Hal yang sama juga dilukiskan oleh data dari World's Most Literate Nations Central Conecticut States University (2003-2014) yang menyebutkan bahwa literasi Indonesia berada di peringkat ke-60, posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti (Kompas, 7/2/2017).

Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet yakni 88,1 juta dari 250 juta penduduk Indonesia yang ada (Hidup, 22/1/2017). Dari data di atas menjadi jelas bahwa maraknya hoax yang mengontaminasi ruang publik bangsa ini disebabkan karena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia itu sendiri, sehingga berujung pada ketidaksinambungan antara derasnya arus informasi dengan kecerdasan intelektual dan emosional dalam mengelola informasi yang ada.*
 
Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar