Cari Blog Ini

Kamis, 27 April 2017

MASYKURI: "KHILAFAH BUKAN INTI AJARAN ISLAM"

Perbincangan soal politik Islam tidak pernah menunjukkan wajah surutnya di Indonesia. Pelibatan isu-isu keislaman di dalamnya semisal pendirian khilafah, penerapan perda syariat, dan pembentukan partai Islam, semakin menambah kesemarakan itu. Hal ini karena Islam bukan hanya sekedar norma melainkan juga sebagai prinsip kemasyarakatan. Itulah pernak-pernik demokrasi kita. Dalam konteks khilafah, misalnya, Masykuri Abdillah--Pengurus PBNU dan pengajar Pascasarjana UIN Jakarta ini--menegaskan bahwa konsep itu bukanlah inti dari ajaran Islam melainkan hanya ada dalam sejarah Islam. Sehingga kita tidak bisa memaksakan penerapannya di Indonesia. Kepada PSIK gagasan itu ia kemukakan. Banyak hal lain yang diperbicangkan pada Sabtu sore 16 Februari 2008 di rumahnya di kawasan Ciputat itu, mulai dari sekularisasi hingga masa depan demokrasi di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.

Perbincangan tentang politik Islam sampai kini belum pernah surut, bahkan diskusi semakin hari semakin marak. Menurut Cak Nur mengapa tema politik Islam itu sangat marak. Karena Islam tidak hanya sekedar agama yang berbasiskan normatif tapi juga bisa dianggap sebagai sebuah prinsip-prinsip kemasyarakatan. Menurut bapak bagaimana?

Memang berawal dari situ. Karena Islam tidak hanya sistem kepercayaan dan ibadah tapi juga sistem kemasyarakatan. Sehingga memang jika berbicara masalah kemasyarakatan itu tidak lepas dari persoalan politik. Persoalan politik itu memang ada dua pertimbangan. Yang pertama adalah upaya-upaya atau perjuangan agar Islam yang dianggap sebagai sistem kemasyarakatan itu bisa diakomodir oleh negara. Sebagai konsekuensinya agar ajaran bisa berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diperjuangkan dan diakomodir oleh negara, kalau bisa sebagai undang-undang, aturan atau hukum positif atau juga minimal sebagai input di dalam proses pengambilan kebijakan termasuk penetapan sistem seperti sekarang. Itu satu sisi yang terkait dengan ajaran itu sendiri. Yang kedua adalah berkaitan dengan politik pada umumnya, yaitu untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan di luar sistem tadi. Bisa berkaitan dengan politik kekuasaan, kepemimpinan dalam sebuah negara, kepentingan ekonomi dan kepentingan yang lebih luas lagi.

Bagi partai politik yang sekuler yang ditekankan adalah kepetingan. Memang ada juga yang kaitannya dengan ideologi. Yang pertama tadi bisa dianggap Islam termanifestasi dengan ideologi. Dalam negera-negara tertentu jelas memang ideologinya. Di Barat, antara kiri dan kanan atau konservatif dengan liberal atau sosialis dengan kapitalis itu jelas perbedaannya. Dalam Islam tersendiri seperti itu sehingga yang muncul adalah kepentingan yang bersifat ekonomi dan kekuasaan semata. Jadi memang sampai kapan pun antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Termasuk juga upaya-upaya untuk memisahkan Islam dari percaturan politik atau negara. Karena tadi, Islam juga sebagai sistem sosial yang termanifestasi dalam ideologi.

Buktinya di Turki. Di sana nampak sekali ada pemaksaan pada masa Kemal Attaturk di bawah penjagaan militer yang ketat. Tetapi begitu ada kemungkinan ke arah yang lebih terbuka, terus saja upaya-upaya dilakukan untuk memperjuangkan Islam. Sekarang kita bisa melihat walaupun tidak terlalu kentara, partai AKP yang dipimpin oleh Erdogan dan presidennya adalah Abdullah Gul, memiliki orientasi yang nantinya juga akan mengarah ke sana. Misalnya, persoalan Jilbab yang sedang hangat, yang sebenarnya juga menurut saya tidak demokratis jika melarang pemakaian jilbab. Tapi, karena waktu itu yang berkuasa adalah tentara, ya dipaksakan. Sekarang, sepertinya sudah mulai ada keterbukaan sehingga memungkinkan kalau seandainya dibebaskan saja. Misalnya melalui referendum. Saya kira sebagian besar orang Turki akan setuju untuk tetap memperbolehkan pemakaian jilbab. Itu kaitan antara Islam dan politik.

Barangkali hal itu juga yang membuat mengapa proyek sekularisasi selalu gagal di dunia Islam?

Harus diketahui bahwa sekularisasi itu bukan hanya gagal di dunia Islam, namun juga di Barat. Oleh karena itu (baca juga naskah pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Masykuri Abdillah sebagai pelengkap), saya mengutip Peter Berger dalam karyanya bukunya The Secularization of the World yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Kebangkitan Agama-agama. Intinya itu adalah meng-counter suatu teori tentang sosiologi agama yaitu sekularisasi. Agama dalam proses modernisasi melahirkan sekularisasi dan agama akan terpinggir karena sekularisasi tadi. Nah ternyata dia melihat perkembangan di dunia terutama sejak tahun 80-an terjadi proses deskularisasi yang sangat kuat di mana-mana. Bukan hanya di dunia Islam, tapi juga termasuk di Barat. Apalagi di dunia blok Timur. Uni Soviet, misalnya, yang pada mulanya anti agama, sekarang agama sudah mulai diperbolehkan. Juga di Amerika sejak tahun 90-an, kecenderungan kembali kepada agama itu sangat kuat, bahkan muncul tuntutan untuk menghilangkan sekularisme. Di sana, ada kelompok-kelompok termasuk dari kalangan gereja sendiri, pendeta, yang menolak sekularisme.

Jadi, memang terjadi di dunia Islam, sehingga ada revisi atas itu. Seperti apa yang sering dikutip oleh Cak Nur dari Secular City karya Harvey Cook, sekarang sudah berubah, mereka juga sedang merevisinya. Jadi, analisis bahwa nantinya agama terpinggirkan dan menjadi secular city itu ternyata tidak nampak. Termasuk Donald E. Smith yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Azyumardi Azra menjadi Agama dan Sekularisasi Politik (Religion in Political Development--kalau tidak salah), konteksnya adalah modernisasi melahirkan rasionalisasi, rasionalisasi melahirkan sekularisasi dan akhirnya posisi agama terpinggirkan. Tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Bisa jelaskan, apa yang melatarbelakangi pembentukan khilafah di dunia Islam, lebih spesifik lagi di Indonesia?

Sebenarnya gagasan khilafah itu hanya diusung oleh sekelompok organisasi yang dikenal sebagai Hizbut Tahrir Indonesia, sedang lainnya yang kita kenal dengan Wahabi termasuk Ikhwanul Muslimun (dalam diri mereka pun ada yang moderat dan radikal) tak ada satu pun yang mendukung kembali khilafah. Sebenarnya kalau kita melihat, khilafah itu bukan INTI ajaran Islam tapi hanya sejarah Islam. Ibnu Taimiyah, misalnya, malah tak mau menggunakan istilah khalifah dala berbagai karyanya, tapi sulthan. Karena itu memang bukan ajaran Islam. Dalam Islam yang ada hanya imam.

Termasuk khalifah yang empat itu?

Tidak, khilafah empat sebenarnya hanya by accident, karena kebetulan sejarah saja. Dikatakan khalifah itu adalah pengganti rasul. Umar mengatakan bahwa Abu Bakar adalah pengganti rasul. Dan Umar tidak menggunakan sebutan khalifah, ia lebih sering dipanggil amirul mu̢۪minin. Karena ini kemudian sudah menstigma dan begitu melembaga sehingga dianggap sebagai sistem yang baku bahwa khalifah itu bkan dalam arti pengganti tetapi penguasa. Di dalam sejarah juga kita mengetahui bahwa khalifah itu bukan sesuatu yang ideal karena sebagian besar dianggap tidak adil. Kecuali Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa pasca khulafa al-rasyidin yang bisa berbuat adil.

Secara akademis memang sulit memahami konsep khalifah yang diinginkan HTI itu, kecuali hanya sekedar menegaskan bahwa dalam Islam itu sudah pernah terjadi sejarah yang menggunakan sistem khilafah, dan itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam membangun dunia terutama pada masa lalu, yakni pada asa Abbasiyah degan munculnya peradaban Islam yang leading dari peradaban-peradaban lain.

Yang kedua yang nampaknya bisa dirasionalisasikan, khalifah itu khalifat-u al-rasul fi hirasat-i al-din wa siyasat-i dunya yakni adalah sebagai pengganti rasul dalam menjaga urusan agama dan mengatur persoalan-persoalan keduniaan. Itu memang bisa dipahami kalau Hizbut Tahrir menginginkan khalifah dalam konteks pelaksanaan syariat Islam yang harus dilaksanakan. Dan pelaksanaan Islam itu tidak bisa efektif kecuali kepala negara dan kepala agama itu menjadi satu. Kalau keduanya dipisah tidak akan efektif. Barang kali bisa dimaklumi kalau gagasannya seperti itu, walau pun tidak selamanya seperti itu. Arab Saudi, misalnya, kepala negara dan agama dipisah. Raja hanya sebagai kepala negara dan kepala agamanya tetap imam sebagaimana kesepakatan yang pernah dilakukan antara Ibnu Sa̢۪ud dengan Abdul Wahhab. Tetapi toh syariat Islam tetap dilaksanakan.

Pendirian khilafah selalu merujukan pada ketidakadilan yang terjadi dan dirasakan masyarakat. Bagaimana menurut bapak?

Persoalan itu sebenarnya juga agak sulit untuk dibuktikan karena waktu zaman khilafah ketidakadilan juga terbutki terjadi. Kalau alasannya itu, malah tidak logis. Tetapi kalau alasannya adalah penerapan syariat Islam, itu bisa logis. Lha wong para khalifah itu juga tidak adil. Kecuali Umar bin Abdul Aziz. Disamping kepribadiannya adil, alim dalam agama, tetapi juga dalam mekanisme pengangkatan. Dalam bahasa al-Mawardi proses pengangkatan itu ada dua: dipilih oleh ahlul halli wal 'aqdi dan ditunjuk oleh khalifah sebelumnya. Umumnya pengangkatan itu ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya. Memang, Umar bin Abdul Aziz dia ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, tapi tetap saja dia membuat suatu forum di mana ia dipilih oleh ahlul ahli wal 'aqdi. Sama seperti khalifah yang empat. Setelah itu tidak ada kecuali dia. Ini semata-mata untuk kehati-hatian. Seandainya ada khalifah yang kelima yang paling tepat adalah Umar bin Abdul Aziz ini.

Ada beberapa orientalis seperti, Bernard Lewis yang mengatakan bahwa Islam itu sama sekali tidak kompatibel atau relevan dengan demokrasi. Pandangan bapak seperti apa?

Di kalangan umat Islam saja ada perbedaan pendapat soal itu, apalagi kalau pengamat dari luar. Dan bahkan ada ulama-ulama atau tokoh-tokoh Islam yang mengatakan bahwa demokrasi itu haram. Saya punya buku ada judul buku namaya, al-demokratiyah wa hukm-u al islam-i fih-a (demokrasi dan hhukumnya menurut Islam). Dalam karya itu dijelaskan bahwa demokrasi itu haram dengan alasan demokrasi bahwa dalam demokrasi itu kedaulatan rakyat yang berarti meniadakan kedaulatan Tuhan.

Memang ada pendapat-pendapat yang mengaharamkan juga dan dalam HTI juga juga ada yang secara terang-terangan mengharamkan demokrasi, tapi nampaknya itu tidak menjadi kebijakan Hizbut Tahrir. Sebagian ikhwan sebenarnya ada yang setuju dan tidak menggunakan istilah demokrasi. Orang-orang yang moderat seperti Qordhawi mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Tapi yang pasti ada perbedaan-perbedaan--karena dalam Islam tadi--tidak mungkin memisahkan agama dan negara sepenuhnya. Itu tidak. Sementara demokrasi memang didasarkan atau dibangun atas dasar ideologi sekularisme, sementara di dunia Islam, itu tidak mungkin. Sehingga kalaupun menerima, harus ada penyesuaian-penyesuaian walaupun ada juga pihak yang menginginkan demokrasi seperti di negara Barat, misalnya harus benar-benar sekuler.

Tetapi saya mencoba, demokrasi itu adalah yang dengan tetap memperhatikan atau mempertahankan atau memperhatikan nilai-nilai agama juga. Karena kita hidup kita di dunia ini adalah, seperti istilah Cak Nur, "apa yang paling mungkin diterima dan paling bisa dilaksanakan (acceptable and applicable)". Artinya, adanya kompromi, yakni adanya penafsiran di sisi ajaran Islam dan adanya penyesuaian di sisi demokrasi.

Jadi, kalau ada pengamat yang mengatakan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi, hal itu dilihat dari segi filosofinya yang memang berbeda. Dari segi, misalnya, demokrasi sepenuhnya adalah rakyat sedangkan dalam Islam tidak mungkin karena sudah ada ajaran-ajaran dari Tuhan yang tidak mungkin di kompromikan. Di situ letak ketidaksesuaiannya.

Prasyarat menuju demokrasi salah satunya adalah melalui sekularisasi, seperti yang kita diskusikan di awal. Tapi ternyata sulit untuk diterapkan secara konsekuen dalam dunia Islam. Mungkin itu alasan beberapa orientalis mengatakan bahwa Islam tidak akan bisa menjadi masyarakat yang demokratis?

Ya, benar. Makanya kalau demokrasi diartikan seperti asalnya, prasyaratnya adalah sekularisme. Kalau sekularisasi, masih ada kemungkinan pelibatan agama dalam sebuah negara. Tapi kalau sekularisme, benar-benar ada pemisahan, walau pun kenyataannya juga tidak sama di Barat. Antara Perancis dan Amerika satu sisi yang sangat ketat karena memang mempunyai sejarah yang panjang yang tidak mengenakkan. Perancis pada waktu itu adalah sangat keras, sementara orang yang datang ke Amerika itu adalah para korban perang antaragama sehingga mereka berjanji tidak akan melibatkan agama dalam negara. Tapi kalau di Belanda, Jerman, Inggris itu masih nampak, walaupun sekularisme itu tetap saja ada keterlibatan agama. Bahkan negara-negara Skandinavia ada yang sampai sekarang mengatakan negara berdasarkan Kristen. Jadi itu bukan hanya tipikal dunia Islam. Di dunia Barat masih ada negara yang dasarnya adalah Kristen.

Seperti di Inggris mengakui bahwa Kristen sebagai agama Negara?

Di Inggris tidak. Walaupun kenyataannya ratu Elizabeth adalah kepala gereja Anglikan tapi tidak muncul dalam konstitusi. Kalau yang saya katakan tadi itu ada dalam konstitusinya. September lalu saya adalah salah seorang keynote speaker di Berlin. Ada seseorang yang menunjukkan bahwa di Eropa pun masih ada konstitusi yang berdasarkan agama.

Bagaimana bapak melihat proses demokratisasi di Indonesia. Apakah ke depannya akan berlangsung dengan baik atau apakah nilai-nilai keislaman dapat mengakselerasi demokratisasi yang ada di Indonesia?

Memang ada keinginan-keinginan dari tokoh-tokoh umat Islam di Indonesia, para ulamanya dan intelektual untuk menerima demokrasi. Sebagian besar, memang tidak semuanya. Sehingga memang mencoba juga bahwa di dalam Islam ada nilai-nilai yang sebenarnya kompatibel dengan demokrasi. Itu yang kemudian kita sosialisasikan ke berbagai tingkat umat kita, termasuk saya sendiri terlibat di dalam proses sosialisasi itu karena memiliki kegiatan-kegiatan pendidikan demokrasi untuk para da̢۪i, khotib, guru-guru pondok pesantren. Melalui itu kita mencoba mengenalkan ajaran agama dan demokrasi. Walaupun tetap ada perbedaan-perbedaan, tapi kita mencoba memadukan antara keduanya. Kita sosialisasikan konsep syura, keadilan, persamaan, kebebasan berpendapat walaupun tetap pada batasan-batasannya. Juga konsep pluralisme dalam arti yang sebenarnya. Selain juga konsep kontrol terhadap penguasa.

Sebagian orang melihat bahwa demokrasi yang sudah kita jalani kini tidak melahirkan kesejahteraan. Nah, mana yang lebih didahulukan, apakah demokrasi dulu atau kesejahteraan dulu?

Ini memang menjadi perdebatan antara yang ideal dan faktual. Kita memang mendukung demokrasi dengan harapan nanti bisa adil dan sejahtera. Tapi kenyataannya, dalam berbagai kajian ternyata demokrasi akan bisa berkembang baik apabila tingkat pendidikan dan ekonominya sampai pada level tertentu yang kondusif. Beberapa kajian menunjukkan bahwa suatu demokrasi yang berada di dalam satu masyarakat atau rakyat yang pendidikannya dan ekonominya masih rendah ternyata menunjukkan ketidakberhasilan.

Memang sekarang kita sedang meng-counter fakta itu, karena terus terang, kita khawatir jika harus mengakui bahwa tingkat pendidikan, kesejahteraan dan ekonomi rakyat Indonesia masih rendah. Kita khawatir jika ada anggapan lebih baik sejahtera dalam arti: sejahtera kebutuhan tercukupi daripada ada demokrasi tapi ternyata kebutuhan dasar kita tidak terpenuhi. Ini sudah nampak di masyarakat bawah sekarang. Mereka tidak tahu keadaan ekonomi sekarang itu merupakan kelanjutan atau efek dari kesemrawutan yang ada pada Orde Baru; tidak tahu bahwa karena BLBI negara harus membayar setiap tahun lima puluh milyar. Itu adalah sistem dari Orde Baru. Meraka tahunya bahwa sekarang ada kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok, seperti sembako dan lain sebagainya. Itu masyarakat bawah. Sehingga itu merupakan usaha yang berat bagi kita.

Menurut bapak apa yang menyebabkan kenapa demokrasi kita belum melahirkan kesejahteraan sosial?

Ini saya kira yang menjadi permasalahan kita sampai sekarang. Masih dicari apa sebabnya. Kenyataannya negara-negara yang demokratis itu dulunya memang ketika pendidikan dan ekonominya belum baik. Itu tidak demokratis. Demokrasi itu memang dilaksanakan setelah ekonomi mereka bagus. Sekarang kita bisa melihat bahwa dana yang dipergunakan untuk demokrasi itu banyak sekali. Kalau membelikan subsidi saja itu sudah lebih baik. Sehingga bagi rakyat banyak apa sih artinya kebebasan? Yang lebih baik adalah kalau kebutuhan pokok kita sudah terpenuhi. Seperti itu cara berpikir masyarakat awan. Bisa-bisa mereka akan protes terus: tak penting demokrasi yang penting kami bisa makan cukup. Itu saja. Jadi, sampai sekarang masih menjadi persoalan bersama.

Saya juga kurang sependapat kalau mengatakan bahwa yang penting adalah kesejahteraan bukan demokrasi. Kurang tepat rasanya. Yusuf Kalla, misalnya, mengatakan bahwa yang penting sejahtera. Demokrasi hanyalah sebuah cara. Saya sebenarnya tidak sependapat di situ. Karena pembangunan itu ada yang fisik ada yang non fisik. Ada yang ekonomi dan yang non-ekonomi. Nah, demokrasi itu adalah bagian dari pembangunan politik. Jadi satu sisi cara, satu sisi juga tujuan. Tujuan pembangunan politik adalah: suatu negara yang demokratis dan adil. Jadi bukan hanya cara, tapi juga menjadi tujuan. Hanya persoalannya, mana yang lebih didahulukan: apakah kesejahteraan atau demokrasi? Itu yang sulit. Kita maunya bersama-sama, tapi kenyataannya tidak mudah. Ini tetap menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Di setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia, kita selalu tidak bisa menafikan isu-isu tentang politik aliran. Kira-kira kenapa bisa terjadi berulang-ulang?

Politik aliran dalam bahasa lain kita dapat sejajarkan dengan ideologi. Dulu di Indonesia politik seperti itu ada sejak masa persiapan kemerdekaan. Ada kelompok yang mendukung negara Islam dan kelompok yang menghendaki pemisahan antara agama dengan negara. Itu sudah selesai. Pada masa proklamasi isu itu kemudian mengemukan lagi, dimulai ketika sidang-sidang Konstituante dari tahun 1956 sampai 1959. Itu sebenarnya aliran seperti disebut sebagai aliran ideologi.

Sebenarnya, persaingan ideologi tidak hanya di sini, itu terjadi juga di berbagai negara lain, seperti Amerika juga Eropa, kiri-kanan, sosialis-kapitalis, sekularis-kapitalis dan lain sebagainya. Ini juga persaingan ideologi. Hanya persoalannya adalah yang sebenarnya hasil manusia saja. Sedangkan di Indonesia dan negara-negara Muslim ada kaitannya dengan agama. Ini mungkin bedanya. Di negara-negara Barat ada juga partai-partai Kristen. Misalnya, Partai Demokrat Kristen yang eksis di hampir semua negara Eropa Barat. Tetapi mereka tidak bicara tentang hukum-hukum Kristen, karena tidak ada hukumnya. Kalau dalam Islam kan ada syariat Islam. Misalnya debat tentang apakah pengguguran kandungan atau aborsi itu dibolehkan atau tidak. Itu perdebatan luar biasa di sana. Partai-partai Kristen itu tidak mau itu hanya sebagian kecil saja. Kalau Islam memang karena ajarannya, bukan hanya persoalan ibadah tapi juga kepentingan masyarakat. Maka di sana lebih banyak yang mau diperjuangkan. Ini sebenarnya yang menjadi dilemma. Sampai sekarang bahkan masih terjadi.

Apakah eksistensi partai-partai itu sudah merepresentasikan aspirasi politik Islam. Menurut bapak bagaimana?

Politik Islam itu apa? Inikan menjadi pertanyaan juga. Apakah politik Islam yang di sana itu membawa aspirasi Islam dan umat Islam? Karena di dalam Islam pun ada kelompok-kelompok yang jumlahnya sangat besar. Ada Partai Islam (PKS, PPP, PBB) dan partai bebasiskan ormas Islam (PKB dan PAN). Ternyata yang lima itu belum memenuhi aspirasi masyarakat juga. Tidak ada habisnya. Oleh karena itu saya termasuk orang yang setuju ada pembatasan partai politik secara alamiah. Artinya, threshold itu. Misalkan 3 persen batasannya. Jika ada partai politik yang tidak mencapai batasan 3 persen itu ya tidak masuk parlemen. Sehingga orang berpikir ulang jika mau membuat partai.

Cak Nur pernah mengatakan "Islam yes, partai Islam no". Menurut bapak, Cak Nur berbicara dalam konteks apa?

Saya melihat itu hanya setting politik saja. Jika ia mengatakan itu orientasi politiknya sangat pas sekali. Sehingga untuk merubah itu harus dengan kekuatan slogan yang kuat juga. Saya umpamakan sebuah pohon condong ke kiri. Agar bisa berada di tengah maka harus ditarik sekuat-kuatnya. Saya melihatnya seperti itu. Itu kan fatwa dan dapat berubah kalau 'ilat-nya berubah. Sebenarnya untuk menyelamatkan umat Islam juga dari Orde Baru yang mulai alergi dengan Islam, agar tidak dianggap sebagai oposisi.

Pada masa Orde Baru banyak elit-elit politik yang menghindar dari isu-isu keagamaan tapi kemudian mereka sudah tidak ragu-ragu untuk memakai Islam. Bagaimana bapak melihat itu?

Ada kebebasan yang lebih luas ketimbang masa lalu, dan itu merupakan konsekuensi dari adanya kebebasan. Kebebasan itu memang tidak semuanya positif, ada negatifnya juga. Jadi, ada kebebasan mendirikan negara Islam atau Pancasila hilangkan saja karena selama masih ada Pancasila tidak bisa liberal dan sekuler. Ada yang berpendapat demikian. Saya malah panel dengan orang itu. Ideologi itu bukan pada negara tapi pada partai. Seperti konsekuensi dari kebebasan termasuk juga kebebasan untuk mendirikan negara Islam, kebebasan untuk berbicara, perlunya mendirikan khilafah islamiyah tanpa dituding sebagai suksesi. Sisi lain kebebasan itu juga sampai juga pada Islam liberal dan munculnya beragam aliran kepercayaan. Persoalannya nanti apakah ada pembatasan atau tidak? Itu yang saya bahas dalam Bayang-bayang Fanatisme (sebuah buku yang diterbitkan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina pada 2007 silam-red). Sampai sekarang masih menjadi perdebatan apakah kebebasan itu terbatas atau tanpa batas.
Baik, Pak Masykuri. Terima kasih atas waktu yag diberikan kepada kami sore hari ini.

0 komentar:

Posting Komentar