Cari Blog Ini

Sabtu, 01 April 2017

Isu SARA dalam Pilkada DKI: Langkah Mundur Berdemokrasi

http://assets-a2.kompasiana.com/statics/crawl/556fe7040423bdd4408b4567.jpeg?t=o&v=760 
Perhelatan Pilkada DKI putara kedua sudah semakin mendekat. Situasi politik dari hari ke hari semakin panas dan sangat menarik untuk diikuti. Panasnya Jakarta semakin luar biasa seiring dengan penetapan KPU DKI Jakarta, yang mengharuskan Ahok-Jarot dan Anies-Sandy bertarung di putaran kedua. Kedua kubu mulai merapatkan barisan untuk menyusun strategi pemenangan untuk paslon yang diusungnya.  Aneka strategi dikeluarkan untuk menarik pemilih DKI untuk  menjatuhkan pilihan politiknya pada paslon yang bertarung. Dari sekian banyak strategi yang dikeluarkan kedua tim, isu SARA menjadi senjata pamungkas dalam meraih simpati dan dukungan warga DKI.  Demi meraih kemenangan isu SARA dimainkan secara terstruktur, sistematis dan masif pada perhelatan Pilkada DKI Jakarta.
Ahok: Korban Isu SARA Pilkada DKI
Isu SARA merupakan satu-satunya cara untuk menurunkan popularitas Ahok.  Dalam hal ini isu penistaan agama Islam dan ulama dianggap sebagai langkah strategis dalam mengalihkan dukungan publik Jakarta dari Ahok ke paslon lain. Demonstrasi berjilid-jilid untuk menggagalkan Ahok dalam Pilkada DKI tersulut dari isu penistaan agama dan ulama ini. Isu penistaan agama dan ulama pada akhirnya mengharuskan Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Tidak berhenti di sini saja derita yang ditanggung Ahok. FPI  dan ormas lainnya menginginkan Ahok dipenjara tanpa melewati pengadilan. Mau dibawa kemana negeri Indonesia yang tercinta ini kalau nafsu dan keinginan ekstrim kaum sumbuh pendek seperti ini tetap dipelihara.
Namun Ahok tetap menunjukan kualitas dirinya yang mumpuni. Meskipun digoyang dengan isu penistaan agama dan ulama, Ahok tidak takut dan siap menanggung resiko apa pun. Saat ini Ahok telah mengikuti sidang ke-16 dalam perkara dugaan penistaan agama Islam dan ulama. Pelan tapi pasti, dalam setiap sidang yang diikutinya, Ahok mulai membeberkan kebenaran dan maksud dari pidatonya di Kepulauan Seribu. Saksi-saksi di tempat kejadian mulai menunjukkan bukti bahwa Ahok tidak menistakan agama Islam dan Ulama. Setelah itu tim kuasa hukum Ahok mulai menghadirkan saksi-saksi ahli yang meringankan Ahok.
Ahok: China Kristen dari Kelompok  Minoritas dan  Haram pemilih pemimpin Nonmuslim
Majunya Ahok dalam pesta demokrasi DKI Jakarta membuat lawan politik ketar-ketir memikirkan srategi pemenangan. Setelah isu penistaan agama dan ulama dianggap gagal meredupkan popularitas Ahok, cara lain yang masih berkaitan dengan SARA tetap dilancarkan. Latar belakang Ahok  dari keturunan China tetap mendapat perhatian penting lawan politik. Ahok dihubung-hubungkan dengan Negara China yang menganut paham komunis. Senjata lain yang diturunkan dalam kampanye tersebut adalah mengharamkan memilih pemimpin nonmuslim. Latar belakang Ahok yang beragama Kristen menjadi daya pikat tersendiri. Isu kristenisasi menjadi santapan empuk kaum politis radikal untuk menggembosi kekuatan Ahok.  Lebih lanjut Kaum muslim diwajibkan untuk memilih sesama pemimpin muslim. Salah satu langkah politis yang paling radikal adalah munculnya spanduk yang mengitimidasi sesama umat muslim. Larangan mensholatkan jenasah pendukung Ahok mencuat ke permukaan. Bayangkan saja demi meraih simpati dan kemenangan sesame umat Muslim tega saling menjatuhkan. Label kafir sudah pasti dikenakan pada Ahok yang non muslim. Bukan hanya Ahok yang dicap kafir, pendukung dan pemilih Ahok dari latar belakang muslim pun dapat dikenakan label kafir. Sadis, bukan??
Isu SARA sinyal kebangkitan Radikalisme dan langkah mundur demokrasi di Indonesia.
Isu sara yang dipakai oleh lawan politik Ahok sudah mencapai titik didih.  Bagaimanapun juga Pilkada DKI Jakarta tetap menjadi barometer iklim demokrasi di seluruh wilayah NKRI. Seluruh lapisan masyarkat yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke tetap menyimak perhelatan Pilkada DKI. Alasannya sederhana, Jakarta adalah pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekecil apa pun persitiwa di Jakarta akan tetap dipantau oleh segenap bangsa Indonesia.
Pada titik inilah fondasi kebangsaan yang sudah dipikirkan oleh pendiri bangsa ini harus tetap dijaga dan dipertahankan. UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai empat pilar kebanggsaan mesti dijunjung tinggi dan menjadi napas dalam Pilkada DKI Jakarta.  Keempat pilar kebangsaan ini tentu menjadi tanggung jawab segenap bangsa Indonesia untuk memelihara dan menjaganya. Merawat dan memelihara empat pilar kebangsaan  ini tentu saja membutuhkan semangat rela berkorban, patriotism, cinta tanah air dan kemampuan menyingkirkan nafsu berkuasa dan egoism pribadi. Pertanyaan sederhana muncul pada bagian ini, siapakah di antara pasangan Anies-Sandy dan Ahok-Jarot yang masih menggenggam erat empat pilar kebangsaan ini?? Menurut pantauan penulis, pasangan Ahok-Jarotlah yang sedang merawat dan menjaga erat pilar kebangsaan ini. Ahok-Jarot dan tim suksesnya lebih mengedepankan pendidikan politik yang baik, jujur dan sportif. Ahok tidak pernah mengintimidasi atau pun menggandeng ormas radikal untuk meraih kemenangan dalam Pilkada DKI Jakarta ini.
Sinyal kebangkitan paham radikal sudah ditunjukkan oleh tim sukses yang menjadi lawan Ahok. Keharusan memilih pemimpin muslim, mengharamkan memilih pemimpin kafir, melarang mensholatkan pendukung dan pemilih Ahok-Jarot, penduduk Jakarta yang mayoritas Muslim wajib hukumnya dipimpin oleh calon yang berlatar belakang Muslim merupakan tandap-tanda nyata kebangkitan paham radikal.2 Pemaksaan kehendak dan intimidasi terhadap warga DKI Jakarta yang berpaham nasionalis dan berpijak pada empat pilar kebangsaan ini bukan saja sekedar praduga melainkan bukti, fakta yang tak terbantahkan. “”Di era demokrasi liberal ini bagus di satu sisi, ada keseimbangan antara pemerintah dan rakyat. Rakyat bisa mengontrol pemerintah. Ada negafitnya, kalau kalau terlalu bebas bisa berbahaya, paham radikal bisa masuk,” ujar Tito.3 Pernyataan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian menjadi bukti bahwa NKRI yang tercinta ini sedang diserang dan disusupi paham radikal.
Mari merawat demokrasi yang sehat
Apapun kondisi Jakarta saat ini jangan sampai mengganggu keutuhan dan kesatuan republik ini. Pilkada DKI Jakarta menjadi cermin bagi bangsa Indonesia untuk mengetahui sejauh mana pasangan calon pemimpin DKI dalam menjaga dan merawat empat pilar kebangsaan yang berujung pada demokrasi yang sehat dan sportif. Terakhir, bagi warga DKI janganlah terprovokasi oleh hasutan radikal yang bisa mencederai kebhinekaan Jakarta. Berkacalah pada Ahok yang tetap tegar dan kokoh meskipun diserang dari berbagai arah lewat senjata yang bernama SARA. Ahok-Jarot sudah memberikan pendidikan politik yang sehat, jujur dan berani mempertahankan demokrasi yang bernafaskan pada empat pilar kebangsaan.
Saya kira begitu!!!
 

0 komentar:

Posting Komentar