CERITA fiktif tentang “kebangkitan PKI” yang didramatisasi sedemikian rupa oleh si penutur cerita seolah-olah hantu-hantu PKI bangun dari kuburnya pantas kita apresiasi.
Layak diapresiasi? Ya, sebab cerita fiktif yang didasarkan pada kisah nyata G30S/PKI lebih dari 50 tahun yang lalu itu telah memunculkan gerakan baru G29S/PK ….(silakan isi sendiri sesuai dengan selera, tafsir dan pemahaman Anda dengan aksi yang digelar sekelompok orang di Jakarta hari ini, Jumat 29 September).
Selain itu, gara-gara cerita fiktif PKI versi baru tersebut — saya lebih senang menyebut PKI milenial –, banyak orang, terutama mereka yang lahir sebelum 1960, tersadar dan mengingat-ingat kembali apa yang terjadi pada 1965 saat G30S/PKI meletus.
Saya membayangkan dan menafsir-nafsir, para tokoh dan aktivis PKI yang dulunya gagah-gagah itu, jika mereka masih hidup, usianya tentu sudah 100 tahun lebih. Faktanya, sosok mereka bukan lagi seperti lagunya Ebiet G Ade, “tampak tua dan lelah”, tapi benar-benar sudah “semakin tua dan tidak bisa apa-apa.”
Mereka sambil berbaring di tempat tidur hanya bisa berdoa: “Tuhan, bilakah Engkau memanggilku pulang? Segerakan, ya Tuhan.”
Andai pun para mantan anggota PKI itu berusia 20 tahun saat PKI berjaya di tahun 1965, berarti usia mereka sekarang 72 tahun. Manusia setua ini lazimnya sudah tidak punya nafsu untuk bangkit, berkuasa, apalagi menjadi presiden. Jika pun masih aktif, mereka hanya berpikir bagaimana sisa usianya dimanfaatkan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara melalui aktivitas sosial dengan terus mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Dilatarbelakangi fakta-fakta seperti itu, sungguh sesuatu yang tidak masuk akal dan melawan nalar jika ada fitnah yang menyebutkan (maaf) “Presiden Jokowi PKI” atau “Jokowi antek PKI”. Duh, jahat sekali mereka yang lihai mengarang cerita fiksi seperti ini.
Pada 1965, usia Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih 4 tahun. Jokowi lahir di Solo pada 21 Juni 1961. Ketika G30S/PKI meletus, Jokowi kecil mungkin masih senang berlari-larian di halaman rumah tanpa celana dan ingus bocahnya meleleh ke mana-mana.
Okelah, apa pun cerita fiktif tentang PKI milenial yang memotivasi para “penjaga moral” dan “penjaga pintu sorga” melakukan aksi G29S/PK …. di Jakarta hari ini, ternyata telah mendorong banyak pihak untuk menengok dan menelaah kembali sejarah 52 tahun yang lalu.
Lewat catatan ini, saya layak mengucapkan terima kasih kepada Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang melalui gerakan nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI akhirnya memotivasi anak-anak muda generasi Y (milenial) untuk mencari tahu fakta-fakta tentang PKI dan pemberontakan G30S/PKI secara lebih komprehensif dari berbagai sumber. Ini tentu lebih baik daripada generasi X (lahir tahun 1960-1980) dan generasi sebelumnya yang mendapat pelajaran sejarah Indonesia, termasuk G30S/PKI, hanya dari satu sudut pandang.
Kita layak mengapresiasi Pak Gatot, juga para kaum sumbu pendek yang lewat aksi G29S/PK…, terus menggembar-gemborkan hantu PKI, sehingga anak-anak gaul sekarang (generasi milenial) tidak paranoia karena merasa dikejar-kejar hantu yang mereka bayangkan seperti yang sering mereka lihat di film dan sinetron: kuntilanak, pocong, manusia bertaring dan bertanduk, zombi atau drakula.
Gara-gara Panglima TNI, banyak teman memberikan info tentang apa, siapa dan bagaimana G30S/PKI dari sudut pandang berbeda kepada saya. Mereka juga memberikan buku digital (e-book) tentang G30S/PKI dari perspektif yang menurut saya lebih objektif.
Saya pun mendapat cerita/kesaksian orang-orang jadul yang ketika G30S/PKI merebak masih berusia belasan tahun, yang salah satunya saya tulis di sini sebagai penutup artikel ini:
“SAYA anak seorang pendeta. Pada tahun 1965 saya berumur 8 tahun dan bersekolah di sebuah SD Katolik (Xaverius) di Belitang, Sumatera Selatan. Belitang adalah kota kecamatan (kecil) yang pada tahun 1960-an belum tertera di peta Indonesia.
Kami tinggal di Belitang sejak tahun 1963. Saat kami pindah ke sini, Belitang banyak dihuni oleh orang Jawa (transmigran) dan orang Bali. Orang-orang Bali yang tinggal di Belitang ternyata adalah para transmigran (pengungsi) korban letusan Gunung Agung. Tahun ini (2017), Gunung Agung kembali bergejolak.
Saat kami pindah ke Belitang, sebagai seorang pendeta, ayah saya mendapat rumah dinas lumayan besar. Di sebelah kanan rumah ada empat kamar (semacam paviliun). Satu kamar dihuni oleh seorang bapak (namanya Basar) dengan satu putrinya seusia dengan saya.
Satu kamar lagi dihuni oleh seorang anggota tentara berpangkat kopral bernama Suprapto. Belakangan Suprapto kerap diminta ayah untuk mengemudikan mobil (Land Rover) saat ayah bertugas ke luar kota.
Waktu itu di Belitang belum ada listrik. Jalan beraspal juga masih langka. Saya dan saudara kandung saya terkagum-kagum jika saat bepergian ke luar kota seperti ke Palembang misalnya melihat jalan beraspal.
Informasi atau berita-berita yang terjadi di Jakarta hanya kami peroleh lewat radio (RRI), termasuk peristiwa G30S/PKI yang menghebohkan itu.
Saat pra dan paska-G30S/PKI, desas-desus tersebar ke segala arah meskipun saat itu belum ada media sosial. Boro-boro medsos, telepon pun langka. Telepon saat itu masih seragam berwarna hitam dan harus mengengkol dulu saat kita akan menggunakannya untuk berkabar.
Waktu itu kabar tentang PKI, entah benar entah tidak, sesuai fakta atau fiktif, fitnah atau kabar baik tersebar secara viral dari mulut lewat mulut (MLM). Terpola dalam pikiran saya yang masih bocah saat itu bahwa PKI dan anggotanya adalah penjahat kelas wahid semacam teroris di zaman sekarang yang siap membunuh siapa pun yang berbeda pandangan.
Kami sangat percaya bahwa sesuai dengan kabar yang kami dengar secara MLM, PKI adalah organisasi politik berideologi komunis yang anti-Tuhan, tidak percaya Tuhan dan membenci saudara-saudaranya yang beragama tanpa kecuali agamanya apa.
Kami semakin ketakutan sebab ada kabar PKI akan melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap tokoh ulama Islam, termasuk pendeta dan pastor. Saya membayangkan sebuah kengerian karena ayah saya juga akan dibunuh PKI, termasuk pastor Belanda yang setiap hari melintas berjalan kaki di jalan depan rumah kami. Saat melintas di depan rumah, pastor yang selalu mengenakan jubah putih itu, kami sering teriaki: “Wong Londo lewat!”
Saya membayangkan pastor Belanda itu juga akan dibantai PKI. Tapi, yang mengherankan mengetahui kabar menyeramkan seperti itu, ayah saya tenang-tenang saja. Ia tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai pendeta seperti biasa.
Begitu kabar pemberontakan G30S/PKI semakin membahana, ada perubahan di sekitar rumah kami. Tanggal 1 Oktober 1965, Pak Basar dan anak perempuannya yang bernama Yayuk tiba-tiba menghilang.
Ia dan anaknya pergi tanpa pamit kepada siapa pun. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana keberadaan kedua orang itu. Dari Suprapto (ketika itu), kami memperoleh kabar Pak Basar melarikan diri bersama putrinya. Ia disebut-sebut anggota PKI. Hah? Saya tentu terkejut.
Sebagai bocah yang pastinya masih polos dan bodoh, saya hanya bisa membayangkan dan berkata di dalam hati, jangan-jangan Pak Basar yang disiapkan PKI untuk membunuh ayah saya, tapi kedoknya terlanjur dibongkar karena pemberontakan PKI di Jakarta digagalkan.
Namun, di luar bayangan itu, muncul keraguan, apakah benar Pak Basar anggota atau simpatisan PKI, sebab sehari-hari ia baik dan selalu mengumbar senyum manakala bertemu dengan kami anak-anak.
Beberapa bulan setelah G30S/PKI, situasi dan kondisi di Belitang biasa-biasa saja. Tak ada gejolak. Sekolah juga tidak diliburkan. Suatu hari saat pelajaran kesenian, guru kami (perempuan) meminta anak-anak menyanyi maju di depan kelas satu per satu.
Tiba giliran, saya menyanyi lagu yang saat itu populer, “Nasakom Bersatu”. Ketika saya melantunkan syair “Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu” belum selesai, guru menegur saya: “Jangan nyanyikan lagu itu. Coba yang lain.”
Dengan polos, saya menyanyikan lagu berjudul “Bung Karno Jaya”. Lagi-lagi guru melarang saya menyanyikan lagu tersebut. “Nggak boleh. Yang lain saja,” kata Bu Guru.
Bertambah usia, akhirnya saya mengetahui bahwa PKI dengan embel-embelnya telah dilarang hidup di negeri ini. PKI telah menjadi barang haram jadah.
Belakangan rezim Orba memberlakukan program bersih lingkungan. Yang dimaksud dengan bersih lingkungan adalah jika ada seseorang yang mempunyai unsur atau pertalian persaudaraan dengan orang yang berafiliasi dengan PKI tidak boleh menjadi PNS, apalagi tentara. Bahkan menjadi wartawan pun tak boleh.
Tahun 1966 kami pindah ke Jakarta. Tahun 1970-an, banyak media cetak yang terbit di Jakarta yang masih memberitakan tentang pemburuan anggota PKI dilengkapi dengan foto-foto. Dari majalah Selecta — ayah membeli majalah bekasnya –, saya membaca tentara berhasil menangkap anggota atau tokoh PKI yang bersembunyi di bawah tanah untuk kemudian di-Pulau Buru-kan atau di-Nusakambang-kan tanpa proses pengadilan.
Berita-berita tentang bahaya laten PKI itu oleh pemerintahan Orde Baru rupanya telah di-agendasetting-kan dengan memanfaatkan pers sedemikian rupa secara terstruktur, sistematis dan masif.
Di satu sisi, apa yang dilakukan rezim Orde Baru bahwa ideologi komunis tidak boleh ada di negeri ini, memang telah membawa hasil. Yes, Pancasila adalah ideologi paling ideal buat bangsa Indonesia.
Namun, jika “hantu PKI bangkit lagi” dijadikan sebagai tunggangan untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain, lalu apa bedanya dengan PKI?”
Itulah kesaksian warga negara (seorang bapak) yang pernah mengalami tahun 1965 dan setelahnya.
Ya, jika aksi G29S/PK ….memiliki tujuan jangka pendek atau panjang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, ya mohon maaf, silakan kalian meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara lain yang memiliki ideologi seperti yang ada di batok kepala kalian.
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 adalah upaya preventif negara untuk menangkal ideologi di luar Pancasila, seperti komunis dan ideologi lain masuk dan merasuki anak bangsa di negeri ini.
Lalu, jika kamu menolak Perppu tersebut, sesungguhnya kamu ini siapa sih? Bukankah kamu anti-Pancasila berlabel “PKI Bangkit” kalau tak sudi dicap PKI?