Cari Blog Ini

Minggu, 29 Oktober 2017

Terorisme dan Radikalisme: Remahaman Membawa Bencana

Terorisme, ketika kita mendengar kata terorisme, pasti muncul dibenak kita mengenai aksi kekerasan, bom, organisasi radikal, dan yang tidak lepas dari islam. Ini merupakan pemikiran orang-orang awam yang tidak tahhu apa yang dimaksud sebenarnya dengan aksi teroris tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian teroris ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang.
[1] Terorisme berarti suatu kegiatan yang menimbulkan tekanan dan ketakutan. Secara etimologi terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify).Kata ini berasal dari bahasa latin terrere, “menimbulkan rasa gemetar dan cemas”.Kata ini secara umum digunakan dalam pengertianpolitik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasapemerintahan teror revolusi Perancis akhir abad ke-18[2]. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefinisikan terorisme sebagai segala aksi yang sesuai dengan tindak kriminal yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 mengenai Aksi Terorisme Kriminal. Terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara, dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum atau fasilitas internasional (UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I, pasal 1).
Dalam sejarahnya, terorisme telah muncul sejak berabad-abad yang lalu,yaitu diperkirakan sejak abad ke-19, hal ini menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982). Sejarah mencatat, pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melakukan perlawanan terhadap pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II. Yaitu dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair pada tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Tindakan itu dilakukan untuk melawan terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan.
Sementara di Indonesia, aksi terorisme sudah mulai muncul sejak tahun 1981 yang berawal dari aksi pembajakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan 206 dengan tujuan kota medan. Aksi pembajakan tersebut dilakukan oleh orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad. Dalam aksi tersebut satu kru pesawat tewas 1 tentara komando tewas dan tiga orang dari anggota teroris tersebut tewas. Pengamat teroris Al-chaidar mengatakan bahwa “awal munculnya terorisme di Indonesia bermula dari didirikannya organisasi Komando Jihad. Yaitu di wilayah Jawa Timur dan di Medan pada tahun 1976. Pimpinan Komando Jihad Jawa Timur Ismail Pranoto lantas merekrut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir”.[3] JI (Jamaah Islamiyah) di tuding merupakan sumber dari segala aksi terror yang ada di Indonesia, karena salah satu anggota dari JI yakni Noerdin M Top merupakan dalang dari segala aksi terror yang terjadi di indonesia sejak tahun 2000.[4] Dan hampir setiap tahunnya aksi terorisme selalu terjadi di Indonesia.
Semua aksi terror di Indonessia cenderung berkaitan dengan adanya DI (darul islam) yang dipimpin oleh Kartosuriwiyo. Kesamaan ideologis diyakini menjadi akar dari dari para pelaku terror tersebut. Meski secara organisatoris, DI telah ditumpas namun pemahaman dibwah DI masih dianut oleh sebagian besar pengikutya dan diajarkan secara turun temurun.
[5] Semua aksi ini disebabkan oleh paham radikalisme dimana radikalisme ini merupakan embrio dari lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Kemudian menjadi pernyataan selanjutnya adalah apa sikap Indonesia terhadap aksi radikalisme dan terorisme yang  terjadi ? NKRI dengan pancasila sebagai ideology negara adalahn wujud dari idealism dalam menyetukan negara Indonesia yang beragam terdiri atas berbagai macam suku, ras dan budaya. Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi coordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. BNPT aktif menetralisir ideologi dan pemikiran radikal agar menjadi moderat. Bukan hal mudah mengubah mindset mereka. Disamping itu, juga pendekatan lainnya seperti kontra ideologi, kontra radikalisasi dan kontra narasi, hingga tindakan keras untuk penindakan.
Pendekatan kontra ideologi dan kontra radikalisasi ditujukan kepada masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal yang cenderung berkembang dan merongrong negara. Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat terhadap terorisme. Hal ini dilakukan untuk menangkal berbagai macam propaganda yang dapat tersiar dimasyarakat, mulai dari media cetak, online hingga jaringan social. Indonesia juga sudah mengambil sikap dengan bekerjasama dengan PBB dalam menangani terorisme dan Indonesia juga telah menggarisbawahi tentang pentngnya hukum internasional dalam penanggulangan terorisme internasional dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi delapan konvensi internasional terkait penaggulangan terorisme yang memperkuat kerangka hukum nasional.[6]
Keterkaitan antara paham radikal dan terorisme memang tidak dapat terpisahkan, paham radikial telah memanifiestasikan pemikiran seseorang untuk bertindak menyimpang dalam menjalankan suatu hal yang mengatasnamakan agama. Terorisme merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat ditanggulangi hanya dengan sebuah kebijakan, namun harus ada juga dukungan dari masyrakat untuk dapat lebih memahami menganai paham-paham yang dibawa oleh suatu komunitas. Terutama pada kalangan mahasiswa, karena pada kalangan ini pemahaman yang bersifat radikal sangat mudah untuk disebar luaskan, maka dari itu pemerintah juga harus melakukan peninjauan terhadap kurikulum dan penggunaan ruang pendidikan yang ada.

0 komentar:

Posting Komentar