Cari Blog Ini

Rabu, 25 Oktober 2017

Mengapa Radikalisme dan Terorisme Tumbuh Subur

KH Muhammad Cholil Nafis Phd
“Hilang satu tumbuh seratus” demikian ibarat dalam pemberantasan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sejak dunia dikagetkan dengan pemboman WTC tahun 2001 dan Indonesia digemparkan dengan bom Bali 2002, maka Indonesia tak pernah lepas dari kejadian dan berita radikalisme dan terorisme. Makin banyak program anti radikalisme dan terorisme tapi makin tumbuh dan subur pengikut dan gerakannya.
Ada beberapa hal penyebab mengapa hal tersebut terus marak di Indonesia. Pertama, sebagian umat marah terhadap kondisi dunia dan Indonesia yang merasa ideologinya dan keadilannya diinjak dan didzhalimi. Kedua, mereka merasa mendapat legitimasi dari ajaran agama untuk melakukan kekerasan. Ketiga, memahami ajaran agama yang salah dengan semangat yang berlebihan.
Oleh karenanya, pemberantasan radikalisme dan terorisme perlu dilakukan secara konprehensif, mulai dari pemahaman, prilaku dan tindakan. Secara pemahaman perlu diluruskan bahwa radikalisme itu berbeda dengan terorisme. Radik adalah paham yang mendasar dan ini baik, tetapi ketika disandingkan dengan isme menjadi paham tersendiri yang memiliki konotasi yang berbeda. Karenanya, radikalisme secara individu dan tidak mengajak orang lain maka tidak memberi dampak membahayakan sehingga tidak perlu dihukum. Radikalisme menjadi bahaya jika dikaitkan dengan tindakan teror yang membahayakan orang lain.
Sedangkan terorisme adalah dua kata yang dijadikan satu, yaitu teror kepada orang lain dengan isme atau atas nama paham atau ajaran agama. Maka pemberantasan teror dapat dilakukan dengan pendekatan keamanan oleh aparat sedangkan isme hanya dapat diberantas melalui pendekatan dialog dan penyadaran oleh agamawan. Biasanya, terorisme yang didekati oleh kekuatan keamanan saja dapat menumbuhsuburkan pengikut-pengikut baru disamping yang sudah berjiwa teroris makin teguh.
Ada beberapa istilah yang menimbulkan salah tafsir, diantaranya adalah Jihad, Kafir dan Negara Islam. Jihad diartikan hanya perang senjata. Padahal arti ini hanya sebagian maknanya saja, arti lainya yang dominan adalah berjuang untuk kemaslahatan umum, baik itu memberantas kemiskinan, kebodohan atau ketidakadilan. Kafir diartikan sebagai orang non-muslim yang harus diperangi. Padahal kafir memang orang yang tidak seakidah, namu cara memperlalukannya dan memeranginya dengan cara yang baik, damai dan kemanusiaan. Berjihad itu artinya bersungguh-sungguh untuk menegakkan kemaslahatan dengan cara baik (ma’ruf). Anehnya, ada yang ingin memberantas terorisme dengan menafikan kata jihad dan kafir, yang sebenarnya itu ada dalam lintasan sejarah dan dalam ajaran Islam.
Persepsi tentang mendirikan negara Islam bagian dari yang memicu ketegangan bahkan tindakan terorisme. Sebagian dari mereka masih menganggap Indonesia negaran Thaghut yang harus diperangi melalui senjata (darul harb). Sehingga mereka merencanakan untuk mendirikan agama dan negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebenarnya Islam tak mewajibkan mendirikan negara namun Islam memerintahkan menegakkan keadilan dan kemaslahatan.
Islam sesuai dengan namanya menganjurkan kedamaian sekaligus keadilan. Maka radikalisme yang dikombinasi dengan terorisme tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka tidak paham, salah paham, dan tak mau paham dengan ajaran Islam yang benar sehingga melakukan teror dan kekerasan atas nama agama.
Para tokoh muslim, baik agamawan ataupun intelektual mempunyai tanggung jawab untuk menyapa umat guna meluruskan pemahaman keagamaan agar agama yang menjadi penyelamat tidak berubah menjadi laknat. Masalah radikalisme yang berujung pada terorisme tak cukup hanya ditangani oleh aparat kemanan saja tetapi juga harus ada andil yang intesif dari tokoh agama dan tokoh masyarakat serta kaum intelektual.

0 komentar:

Posting Komentar