Cari Blog Ini

Rabu, 04 Oktober 2017

Partai PDIP dan Pembasmian PKI Melalui Supersemar.

Menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Krtistiyanto, ada upaya untuk memisahkan Presiden RI Joko Widodo dari partainya. Hal itu karena Jokowi masih merupakan anggota PDI Perjuangan.
Isu komunis adalah salah satu cara untuk melemahkan Partai PDIP. Kelompok masyarakat bersemangat menyuarakan bahaya kebangkitan komunisme, hal ini datang dari militer yang memprotes dengan keras.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali diterpa tuduhan terkait komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kali ini, tuduhan datang dari Presidium 212.
Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma’arif akan mengerahkan massa ke Gedung DPR. Sebab, rumah rakyat itu dianggap sudah disusupi politisi yang memiliki hubungan dengan ideologi komunisme. Slamet berasumsi kebangkitan PKI ditunjukkan oleh anggota DPR.
Mereka menyinggung anggota DPR Ribka Tjiptaning yang terang-terangan menunjukkan identitasnya sebagai anak seorang komunis. “Parlemen pun nyata mulai menampakkan dirinya. Dia menulis buku ‘Aku Bangga jadi Anggota PKI’, dan ‘Anak PKI Masuk Parlemen’.
Di sela-sela kesibukannya Ning menulis buku: “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”. Menurut Ning, buku itu semacam otobiografi dirinya yang merasakan getirnya hidup keluarga korban G30S. “Saat kejadian aku umur 6 tahun, masih terekam peristiwa masa lalu itu,” kata Ning.
Salah satu pengalaman buruk yang masih ia ingat sampai sekarang adalah, bagaimana ia dan kakaknya dipaksa melihat langsung sang bapak disiksa.
Saat itu bapak Ning diinterogasi tentara di sebuah rumah di Gang Buntu, Kebayoran Lama. Rumah tersebut saat itu memang dikenal sebagai rumah penyiksaan anggota PKI.
“Aku lihat bapak digantung terbalik, badan penuh luka, dari hidung dan telinga keluar darah,” kata Ning sambil bergidik.
Banyak ormas saat ini berasumsi bahwa masyarat mulai banyak yang menolak penayangan film G30 S /PKI. Masyarakat yang menolak penayangan film G30 S /PKI sama dengan pro PKI.
Tidak hanya Ribka Tjiptaning, beberapa nama politisi PDIP juga dituding telah dipengaruhi paham komunisme. Para politisi partai berlambang banteng moncong putih ini dianggap memfasilitasi lahirnya kembali PKI.
Hal ini terkait dengan sejarah Soekarno yang pro dengan PKI. Setahun setelah Gerakan 30 September 1965, Presiden Sukarno berpidato di hadapan Delegasi Angkatan ‘45 yang datang ke Istana Merdeka pada 6 September 1966.
Seperti dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai, Proklamator ini menerangkan asal-muasal komunisme hingga penolakannya terhadap pemberantasan para komunis.
Bahkan Presiden Sukarno memastikan, walau tanpa ada tokoh-tokoh komunis seperti Muso, Alimin, D.N. Aidit, serta Nyoto, aliran-aliran itu tetap akan muncul. “Pasti, pasti, pasti, pasti timbul!” Sebab, ideologi muncul karena kondisi atau hubungan sosial-ekonomi masyarakat, bukan lantaran ada tokoh tertentu.
Hal ini ditentang Soeharto dan CIA. Menurut CIA, Sukarno sudah berencana mencopot Suharto. Sukarno berencana menggantinya dengan orang pro-Komunis.
Golongan anti-komunis mengikuti langkah TNI dan melanjutkan ‘pembersihan berdarah’ di seluruh negeri, diperkirakan menewaskan setengah juta orang, dan menghancurkan PKI, yang secara resmi telah dipersalahkan oleh Soeharto.
Dalam melaksanakan tugas itu, diperlukan mandat dari Presiden yang sering disebut sebagai Supersemar.
Sekilas tentang Supersemar:
Ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.
Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui.
Kontroversi mengenai proses memperoleh surat tersebut:
Perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan.
Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, mengungkap bahwa sang Presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar.
Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.
Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor,” ungkap Asvi.
Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.
Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.
CIA menulis kronologi transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada tahun 1966. Laporan itu menuliskan bahwa pemicu perpindahan kekuasaan adalah demonstrasi mahasiswa.
Mahasiswa menduduki kantor Kementerian Luar Negeri dan melakukan penjarahan. Situasi politik Indonesia digambarkan memanas terutama setelah peristiwa G-30-S atau Gestok pada 1965.
Laporan CIA itu juga menuliskan bagaimana Sukarno sebetulnya tidak bermaksud menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Namun Soeharto tetap merasa dirinya mendapat mandat dan langsung membentuk kabinet.
Namun laporan CIA tak menuliskan secara detail bagaimana ‘penyerahan kekuasaan’ dari Sukarno ke Soeharto itu terjadi. CIA hanya menulis Sukarno tiba-tiba meninggalkan rapat pada tanggal 11 Maret 1966.
Soeharto mengambil alih kekuasaan dan membubarkan PKI. Kini setelah sekian lama, ada upaya menuduh PDIP adalah Partai Komunis.

0 komentar:

Posting Komentar