Cari Blog Ini

Selasa, 24 Oktober 2017

Peran Serta Pancasila Untuk mencegah Radikalisme

Radikalisme itu adalah suatu perubahan sosial dengan jalan kekerasan, meyakinkan dengan satu tujuan yang dianggap benar tapi dengan menggunakan cara yang salah. Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. 
       Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.


Makna dari Radikalisme


         Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapatdikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti lebih adjektif. Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher memberikan komentarnya tentang radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (peerbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Dari sini, dapat dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram. Namun demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya mereka cari (perbaikan).


B.     Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme



       Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :

            Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra 11 bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak Islam dan Wacana … [Syamsul Bakri] 7 penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

            Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan  sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

            Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.

            Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

         Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.13 Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.


Asal Kemunculan Radikalisme



       Kata radikal itu sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar(pohon) Dan  fundamentalisme bermakna dasar dan inti, fundamentalisme islam dengan demikian adalah dasar dan inti ajaran islam. Gerakan ini dapat berada di wilayah akademik, politis, bahkan ekonomis. Fundamentalis dengan radikal memang saling  berkaitan, keduanya memiliki kesamaan arti yang sama-sama bermakna inti, kelompok radikalisme muncul dengan di landasipaham fundamentalis.
Sesungguhnya, sejarah munculnya fundamentalisme apabila di lacak secara akademis baru tumbuh sekitar abad ke-19 dan terus mengemuka sampai sekarang. Dalam tradisi barat sekuler hal ini di tandai keberhasilan industrialisasi pada hal-hal positive di satu sisi tetapi negative disisi yang lain. Apa yang negative, yaitu munculnya perasaan kekosongan jiwa, kemurungan hati, kehampaan, dan ketidakstabilan perasaan.
 Sesungguhnya, sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:
1.    Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.
     Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam internasional”    sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama.
2.     Faktor eksternal
Faktor eksternal  terdiri dari beberapa sebab di antaranya : pertama, dari aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Rejim-rejim  itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat.  penjajahan Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang sekarang  hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam.
 Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang harus dihilangkan dari bumi.
Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya radikalisme di kalangan umat islam.

C.    Upaya Pemerintah Menghadapi Tindakan Radikalisme Agama



        Munculnya gerakan radikalisme, baik melalui terorisme maupun jaringan Islam radikal misalnya Negara Islam Indonesia (NII) yang marak terjadi akhir-akhir ini, berarti tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut belum cukup. Namun bukan berarti juga pemerintah dapat langsung mematikan pikiran yang berbeda. NII sebagai sebuah pemikiran yang tidak bisa diadili. Mereka bisa diadili jika melakukan penipuan, penculikan, atau jika mendeklarasikan diri sebagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
      Saat ini pemerintah mengalami kesulitan mengatasi penyebaran jaringan NII karena tidak ada undang-undang yang bisa dijadikan landasan untuk mengendalikan gerakan ini sejak dini. Bahkan saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamaan Nasional dan RUU Intelijen untuk meredam gerakan-gerakan radikal seperti jaringan NII. Akan tetapi timbul pro-kontra di kalangan masyarakat karena banyak lembaga swadaya masyarakat yang tidak setuju adanya RUU itu.
       Meski belum ada UU yang menjadi dasar mengatasi gerakan radikal, namun pemerintah saat ini tidak tinggal diam dan terus memantau perkembangan jaringan ini. Bukti cara bangsa Indonesia ataupun pemerintah menghadapi persoalan ini diantaranya yaitu:
  1. Gubernur dan wakil gubernul Jawa Timur sudah bekerjasama dengan polri untuk meniadakan persebaran jaringan ideologi ini. Mengingat bahwa Jatim saat ini menjadi sarang bagi penyebaran jaringan ini.
  2. Gubernur Jawa Barat telah melakukan pendeteksian dini pada penyebaran jaringan NII dan mengingatkan bahwa radikalisme agama seperti jaringan NII ini mengancam keutuhan negara. Meski hanya di dukung pengikut yang sedikit, namun paham itu telah banyak menimbulkan keonaran.
  3. Bahkan menteri agama telah meminta kepada pimpinan Universitas untuk memperketat pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa menyususl maraknya penyusupan paham radikal di kampus. Mahasiswa harus di arahkan untuk mengembangkan organisasi yang jelas akar ideologi dan sejarahnya.
  4. Selain itu upaya pemerintah untuk mengatasi aksi-aksi teroris saat ini yaitu dengan menangkap dan menembak mati kelompok teroris di berbagai tempat di Indonesia. Upaya pemerintah tersebut sudah tepat namun belum mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu pemerintah perlu memegang peran penting untuk mengatasi persoalan ini, yaitu dengan:
  5. Memperhatikan sistem penafsiran kitab suci setiap agama, dan menyosialisasikan penafsiran kitab suci yang lebih kontekstual tanpa harus menurunkan nilai utama agama karena permasalahan radikalisme agama adalah dimulai dengan bagaimana teks ditafsirkan dalam konteks kekinian. Bila teks kitab suci dimaknai secara literal, maka tidak heran radikalisme tidak akan pernah bisa dikurangi.
  6. Mengadakan dialog yang lebih jujur dengan kelompok yang radikal. Selama ini yang terjadi hanya mengadakan dialog antara mereka yang moderat (kristen dan NU misalnya). Dialog dengan kelompok ini akan membuat terjadi pemahaman walaupun jalan ini tidak selancar kalau berdialog dengan kelompok moderat.
  7. Masalah kemiskinan dan ketidakadilan yang harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah. Hal yang mendasar yang menyebabkan suburnya tindakan radikal yaitu kemiskinan dan ketidakadilan. Maka kewajiban pemerintah untuk menjadikan kemiskinan sebagai hal utama dalam strategi pemerintah ke depan. Pemberantasan kemiskinan bukan hanya menjadi tugas pemerintah namun juga menjadi tugas kita bersama.


D.    Membentengi Pemuda dari Radikalisme



       Pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora, melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
       Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral.
     Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
       Untuk membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi.
ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda.

Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar- umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air sertakepedulian antar-warga masyarakat.

Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.

Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting.

Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Berbagai upaya dan pemikiran di atas penting dan mendesak untuk dilakukan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku terorisme semata.


E.    Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi radikalisme



           Radikalisme dapat diartikan sebagai sikap atau paham yang secara ekstrim, revolusioner dan militan untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut masyarakat. Radikalisme tidak harus muncul dalam wujud yang berbau kekerasan fisik. Ideologi pemikiran, kampanye yang masif dan demonstrasi sikap yang berlawanan dan ingin mengubah mainstream dapat digolongkan sebagai sikap radikal.
         Dalam masa orde baru, untuk menanamkan dan memasyarakatkan kesadaran akan nilai-nilai Pancasila dibentuk satu badan yang bernama BP7.  Badan tersebut merupakan penanggung jawab (leading sector) terhadap perumusan, aplikasi, sosialisasi, internalisasi terhadap pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila, dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Saat ini Pancasila adalah ideologi yang terbuka., dan sedang diuji daya tahannya terhadap gempuran, pengaruh dan ancaman ideologi-ideologi besar lainnya, seperti liberalisme (yang menjunjung kebebasan dan persaingan), sosialisme (yang menekankan harmoni), humanisme (yang menekankan kemanusiaan), nihilisme (yang menafikan nilai-nilai luhur yang mapan), maupun ideologi yang berdimensi keagamaan.
      Pancasila, sebagai ideologi terbuka pada dasarnya memiliki nilai-nilai universal yang sama dengan ideologi lainnya, seperti keberadaban, penghormatan akan HAM, kesejahteraan, perdamaian dan keadilan. Dalam era globalisasi, romantisme kesamaan historis jaman lalu tidak lagi merupakan pengikat rasa kebersamaan yang kokoh. Kepentingan akan tujuan yang akan dicapai lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan latar kesejarahan. Karena itu, implementasi nilai-nilai Pancasila, agar tetap aktual menghadapi ancaman radikalisme, terorisme dan separatisme harus lebih ditekankan pada penyampaian tiga message berikut : 
    
  • Negara ini dibentuk berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan, di mana di dalamnya tidak boleh ada yang merasa sebagai pemegang saham utama, atau warga kelas satu.
  • Aturan main dalam bernegara telah disepakati., dan Negara memiliki kedaulatan penuh untuk menertibkan anggota negaranya yang berusaha secara sistematis untuk merubah tatanan, dengan cara-cara yang melawan hokum.
  • Negara memberikan perlindungan, kesempatan, masa depan dan pengayoman seimbang untuk meraih tujuan nasional masyarakat adil dan makmur, sejahtera, aman, berkeadaban dan merdeka.
Nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 yang harus tetap diimplementasikan itu adalah 

  • Kebangsaan dan persatuan
  • Kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
  • Ketuhanan dan toleransi
  • Kejujuran dan ketaatan terhadap hukum dan peraturan
  • Demokrasi dan kekeluargaan

          Ketahanan Nasional merupakan suatu kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan dan dibina secara terus menerus secara sinergis dan dinamis mulai dari pribadi, keluarga, lingkungan dan nasional yang bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan pengembangan kekuatan nasional.
          Salah satu unsur ketahanan nasional adalah Ketahanan Ideologi. Ketahanan Ideologi perlu ditingkatkan dalam bentuk :
  • Pengamalan Pancasila secara objektif dan subjektif
  • Aktualisasi, adaptasi dan relevansi ideologi Pancasila terhadap nilai-nilai baru
  • Pengembangan dan penanaman nilai-nilai bhinneka tunggal ika dalam seluruh kehidupan berbangsa, bermasyarakat.

Kesimpulan

        Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.

0 komentar:

Posting Komentar