Cari Blog Ini

Minggu, 15 Oktober 2017

Indonesia dan Kerukunan Antar Umat Beragama

Indonesia dan Kerukunan Antar Umat Beragama
SUATU hari, wartawan majalah Panji Masyarakat mewawancarai mantan Menteri Agama, KH. Saifuddin Zuhri, ihwal kerukunan antar umat beragama. Dalam wawancara itu, tokoh NU ini menerangkan, kerukunan bisa terwujud apabila adanya toleransi. Toleransi, menurutnya, menenggang orang lain tanpa mengorbankan prinsip.
“Saya orang Islam, ber-Tuhan kepada Allah SWT, dan Muhammad adalah Utusan Tuhan. Bila saya korbankan prinsip ini, karena kebutuhan penghormatan kepada orang lain, maka itu bukan lagi namanya toleransi, tapi kapitulasi, menyerah bulat-bulat,” tutur ayah dari Menteri Agama Lukman H. Saifuddin ini.
Lebih lanjut beliau memandang, kerukunan jangan hanya seremonial. Contohnya, kata beliau, orang Kristen datang saat hari raya Idul Fitri. Atau saat hari raya Natal, umat Islam ramai-ramai berkunjung ke rumah-rumah orang Kristen. Begitu juga, tambahnya, ada panitia orang Kristen dalam pembangunan  masjidatau sebaliknya.
“Ini bukan bentuk manifestasi dari kerukunan yang sebenarnya, sebab yang menonjol aspek show-nya. Ini kan show saja. Saya berpendapat bahwa yang penting dalam kerukunan itu adalah sikap mental karena melakukan toleransi. Bagi Indonesia sendiri, jauh hari sebelum digembor-gemborkan mengenai kerukunan ini, sudah lama kita rukun kok. Di Indonesia tidak pernah terjadi perang saudara yang bermotif keagamaan,” ungkapnya.
Karenanya, beliau memandang perlu diadakan forum diskusi terbuka, agar kerukunan berjalan intens dan saling mengenal.
“Karena forumnya harus ilmiyah, maka pesertanya hendaklah dari kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Misalnya dari Fak. Ushuluddin IAIN mengundang mahasiswa Theologi Kristen Protestan (STTh) dan sebaliknya,” sarannya.
Ditanya soal tudingan umat Islam melawan Pancasila, beliau menepisnya.  Menurutnya, tuduhan itu tidak beralasan.
“Sebab coba koreksi dari segala prilaku umat Islam apakah ada yang bertentangan dengan Pancasila? Saya mau tanya. Kita coba melihat sisi kehidupan keseharian dari para Kiai di pesantren misalnya. Pancasila, sebagai istilah mungkin baru bagi mereka. Tapi esensi, isi tingkah laku mereka adalah cukup “Pancasilais”. Ke-Tuhanan? Jelas mereka beragama. Tingkat penghayatan mereka terhadap agama jauh lebih dalam daripada kita. Di mana-mana ingat pada Tuhan. Dalam keadaan duduk, berdiri, hendak istirahat, berbicara, makan, jalan, Tuhan selalu diingat. Tidak menyakiti orang. Jadi semuanya mencerminkan rasa dan kadar keberagamaannya. Nasionalisme? Apakah ada mereka yang mau menjadi warga negara Arab Saudi atau Mesir? Tidak! Ketika perang dahulu, mereka keluar dari sarangnya (pesantren) untuk berperang, membuat bambu runcing sebagai senjatanya. Seusai perang, mereka kembali lagi mengerjakan apa yang menjadi pekerjaannya sebelumnya. Tukang gunting rambut, kembali menjadi tukang gunting rambut, yang membuka warung kembali setia membuka warung, yang menjadi pendidik kembali ke pesantren memberikan ilmu seperti sedia kala.”
“ Mereka bertempur itu, tanpa disuruh. Sesudah itu, mereka tidak lantas menuntut uang jasa atau pensiun atau bintang kehormatan. Dengan bukti-bukti itu apakah nasionalisme mereka perlu diragukan? Prikemanusiaan? Pak Kiai tempat mengeluh dari masarakat setempat. Pak Kiai anak saya lagi sakit. Perlu do’a dari pak. Adakah Kiai yang tutup pintu bila ada tamu yang datang ke rumahnya? Si santri yang tidak memiliki uang pun diberi. Keadilan sosial? Apakah ada Kiai yang meluncur dengan mobil mewah? Kalau Kiai bersarung, maka pengikutnya pun demikian. Jadi melihat kehidupan mereka, sama sekali tidak memberikan gambaran adanya gap (jarak –red) dengan masyarakat atau rakyat sekelilingnya.”
“Melihat kenyataan-kenyataan (realitas) seperti di atas, apa perlu menyangsikan Pancasila-nya umat Islam? Atau anti Pancasila? Dengan demikian menjadi alasan bahwa ternyata umat Islam sudah mempraktekkan Pancasila. Maka tepat sekali apa yang diucapkan oleh Pak Alamsyah (Menteri Agama saat itu –red) , bahwa ‘umat Islam telah berpancasila’. Yang Pancasilais itu kan bukan yang senang ngomong Pancasila melulu. Kalau ini menjadi kriteria, maka ingin saya bertanya lagi, bagaimana dengan penampilan tokoh-tokoh seperti Diponegoro, Tengku Umar, R.A. Kartini, atau yang lebih dekat lagi H.O.S. Tjokroaminoto, mana mereka bicara tentang Pancasila?  Bung Karno malah mengatakan, bahwa Pancasila sudah ribuan tahun di bumi nusantara ini. Saya hanya sekedar menggali dan merumuskannya.”
“Jadi menurut pendapat saya, bahwa yang perlu diratakan adalah pengertian. Bahwa esensi Pancasila tidak ada ngomongnya, tapi perbuatan.” (Panji Masyarakat, Kerukunan adalah Prinsip Semua Ummat Beragama,  15 Oktober 1978).
***
Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) datang memperkenalkan diri kepada DPR pada tahun 1975, seorang anggota parlemen, saudara Manuaba, menanyakan kepada Hamka yang kala itu jadi Ketua Umum MUI, mengapa di Indonesia ini tercipta kerukunan antar umat beragama? Tidak terjadi kekacauan karena agamanya beda-beda seperti Protestan dan Katolik di Ireland, atau Kristen dan Islam di Filipina?
Dengan tegas, Hamka menjawab, “Sebabnya maka terjadi kerukunan umat beragama di sini, ialah karena mayoritas dalam negara ini ialah pemeluk agama Islam.”
Hamka menguraikan, kerukunan hidup umat beragama itu adalah perintah agama Islam sendiri. Beliau mengutip surat Al-Mumtahanah yang menjelaskan Allah tidak menghalangi umat Islam bergaul dengan pemeluk agama lain.
“Allah tidak melarang kamu bergaul secara baik dan adil dengan orang-orang yang tidak memerangi agama kamu dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman. Sesungguhnya Allah amat suka kepada orang-orang yang berlaku adil.”
Kita sebagai muslim, kata Hamka, tidak hendak mengganggu orang lain memeluk agamanya dan keyakinannya, meskipun agama dan keyakinannya itu sangat berlawanan dan bertentangan dengan paham dan keyakinan kita. Karena kita, terangnya, telah diberi pedoman oleh Allah: “Bagi kamu agama kamu, bagi kami agama kami.” (Panji MasyarakatPerjuangan Islam di Mana-mana, 1 Januari 1978).
Jadi kalau belakangan ini tampak antar umat beragama tidak rukun, itu berarti ada yang intoleran.
Lantas siapa gerangan yang intoleran? Apakah kita umat Islam yang demo membela agamanya? Atau orang yang masuk ke ranah agama orang lain, dengan menyampaikan ayat suci dari kitab yang tak diimaninya, dengan memberikan pemahaman yang menghina?
Kita umat Islam tetap dan teruslah memegang erat–erat pedoman kita, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Demi lestarinya kerukunan antar umat beragama di negeri yang kita cintai ini.*

0 komentar:

Posting Komentar