Cari Blog Ini

Senin, 27 Februari 2017

Trias Politika : Memahami Al-Maidah 51 Secara Kontekstual



Sejak awal sejarah peradaban Islam hingga sekarang, penafsiran yang dilakukan oleh para penafsir Al-Qur’an beraneka ragam sesuai dengan kapasitas intelektual dan kecenderungan penafsir. Keanekaragaman penafsiran tidak hanya membuktikan fleksibelitas dan elastisitas kandungan Al-Qur’an terhadap perkembangan kehidupan manusia, tetapi juga membuktikan adanya legitimasi keabsahan untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keinginan masing-masing.

Salah satu dari ragam penafsiran ini adalah penafsiran kontekstual, penafsiran ini belakangan seringkali didiskusikan, apalagi berkaitan erat dengan gegap gempita Pilkada yang terjadi di sejumlah daerah, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat dalam memilih pemimpin. Tafsir kontekstual merupakan sebuah usaha dari para cendikiawan-cendikiawan muslim agar setiap ayat dalam Al-Qur’an dapat dipahami sesuai dengan tuntutan zaman, atau kekinian.

Dalam Islam, ada 2 sumber hukum utama yang menjadi rujukan dalam memahami ajaran-ajarannya, yaitu Al-Hadits, dan Al-Qur’an. Dalam memahami keduanya diperlukan penafsiran yang mendalam serta komprehensif. Banyak hal yang perlu diperhatikan ketika memahami ayat-ayat yang menjadi sumber hukum dan rujukan dalam Al-Qur’an, salah satunya Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), ini menjadi penting karena berkaitan erat dengan konteks yang dimaksud dari ayat yang menjadi rujukan.

Tafsir kontekstual dalam pengertian yang sederhana, yaitu penafsiran yang senantiasa mengacu pada setting sosial pada saat wahyu turun dan saat penafsir menafsirkannya sudah ada sejak masa awal Islam. Bahkan Rasulullah SAW adalah sebagai penafsir pertama yang menerapkan penafsiran ini. Itu pun kalau disepakati bahwa semua perilaku beliau, baik perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan Al-Qur’an termasuk sebuah tafsir. Sebagai manusia terbaik yang dituntun wahyu, beliau sangat peka dan mengetahui karakter individu dan gejala-gejala sosial disekitarnya. Oleh sebab itu, beliau kadang memberi dua solusi berbeda untuk satu pertanyaan atau satu peristiwa tergantung kondisi penanya dan konteksnya.

Salah satu permasalahan yang menarik belakangan ini untuk dipahami secara kontekstual adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kepemimpinan, secara khusus berkaitan dengan larangan memilih pemimpin non muslim. Benarkah ayat-ayat ini harus dipahami secara tekstual di negara kita, Indonesia?, yang notabene merupakan Negara yang menganut sistem Trias Politica dalam sistem bernegara. Dimana kedudukan Kepala Pemerintahan Eksekutif, sejajar dengan kedudukan lembaga Legislatif dan Yudikatif secara Nasional, begitu juga kepemimpinan di daerah.

Dalam sejarah peradaban Islam, tercatat Pemimpin (Khalifah) memiliki kekuasaan penuh dalam sistem pemerintahan, tidak dikenal adanya pembagian kekuasaan, tidak dikenal adanya sistem Trias Politica yang berlaku di negara modern. Sehingga pemimpin pada masa itu, memiliki kekuasaan yang absolut layaknya raja-raja pada masa kerajaan di Indonesia. Sehingga wajar jika pemimpin pada masa itu jika di pimpin oleh seorang (non muslim) yang berbeda dari mayoritas masyarakat (muslim) pada saat itu, maka akan sulit sekali mengontrol kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya, karena tidak ada lembaga yang akan mengoreksi dan meninjau kebijakan-kebijakan yang dijalankannya.

Hal ini kemudian menjadi berbeda jika ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih pemimpin non muslim, dibawa dalam konteks negara demokrasi modern seperti Indonesia. Di Indonesia, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politica, kekuasaan terbagi menjadi tiga (Pemerintahan/Eksekutif, Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif). Jadi tidak ada lagi pemimpin berkuasa mutlak seperti pada masa Nabi dan Sahabat, karena sekarang dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan kehakiman (MA dan Kejaksaan Agung).

Jadi tidak perlu khawatir, jika kemudian ada pemimpin (Gubernur Non Muslim) karena selain tetap dikontrol oleh Presiden di atasnya, ada Mendagri yang secara hierarki juga berada di atasnya, ada DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK yang semuanya adalah bagian dari pemimpin kolektif, yang siap mengontrol segala kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang. Jadi, jika kita ingin membawa Al-Maidah 51 dalam konteks bernegara di Indonesia, maka bukan pemimpin dalam sistem bernegara di Indonesia yang dimaksud, melainkan pemimpin yang memegang kekuasaan penuh (absolut), termasuk pemimpin yang menguasai lembaga-lembaga legislatif maupun yudikatif, sehingga tidak ada kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Jadi jelas, ayat ini tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan di negara demokrasi modern. Bijak lah dalam beragama, jangan hanya karena pilkada sesaat, lalu jadi provokator umat.

0 komentar:

Posting Komentar