Cari Blog Ini

Kamis, 02 Februari 2017

NU dan Muhammadiyah terdesak Gerakan Islam Transnasional

Dua organisasi Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang bermuktamar dalam waktu hampir bersamaan, tak lagi tampak sebagai pemain utama dan malah cenderung "terdesak" oleh berbagai organisasi lain dalam percaturan dan pertarungan wacana keislaman, kata pengamat.

Muhammadiyah mulai melangsungkan Muktamar hari Senin (3/8) hingga 7 Agustus mendatang di Makassar, Sulawesi Selatan, sementara Nahdlatul Ulama sudah lebih dahulu memulai Muktamar mereka di Jombang, Jawa Timur, sejak Sabtu (1/8) hingga 5 Agustus mendatang.

Akhmad Sahal, intelektual Islam kader Nahdlatul Ulama yang sedang menyelesaikan program doktoralnya di Amerika Serikat mengatakan, "memang benar, dalam soal wacana, bukan saja di media sosial namun dalam berbagai perbincangan keseharian, NU dan Muhammadiyah kurang sigap, kurang agresif, kurang proaktif dalam bersuara."

Menurut Akhmad Sahal, suara NU dan Muhammadiyah sering terasa kurang terdengar gaungnya dibanding organisasi berhaluan radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

Bahkan dalam berbagai persoalan, NU dan Muhammadiyah juga "kalah" suaranya dibanding Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebagian anggotanya berasal dari NU dan Muhammadiyah, namun dalam kebijakan - fatwa, sikap, dll- sering berbeda. Seperti misalnya dalam kontroversi sikap MUI tentang BPJS baru-baru ini, atau sikap MUI tentang Syiah.

Dua agenda

Padahal NU dan Muhammadiyah mengusung agenda besar yang sangat penting dan akan amat berarti bagi dunia Islam, yakni NU dengan Islam Nusantara, dan Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.

Dua agenda besar itu, khususnya agenda Islam Nusantara yang diamalkan dan dikampanyekan NU, mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi Islam berhaluan radikal.

"Ini harus menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Bahwa NU dan Muhammadiyah harus menunjukkan bahwa mereka adalah dua organisasi terbesar, bukan hanya dalam klaim dan (jumlah anggota), namun juga buktinya dalam sikap dan pertarungan dan percaturan wacana. Itu kalau mereka serius dengan agenda Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan," tegas Sahal pula.

Di sisi lain, kedua organisasi memang tidak selalu tampak sejalan --NU didirikan tahun 1926 sebagai reaksi atas didirikannya Muhammadiyah (1912) yang dinilai mengancam tradisi-tradisi keislaman di Jawa waktu itu, karena dianggap bid'ah.

NU ditaksir beranggotakan lebih dari 30-an juta orang, kebanyakan di Pulau Jawa, merupakan organisasi massa Islam terbesar. Sementara Muhammadyah, ditaksir anggotanya hampir mencapai 30 juta orang, lebih tersebar di berbagai wilayah.

Kedua organisasi itu pernah sangat berpengaruh dalam berbagai kebijakan. Namun sejak gelombang Reformasi 1998 yang ditandai jatuhnya Soeharto, berbagai kelompok radikal mendapat pula peluang untuk mengorganisasikan diri, menyuarakan gagasan-gagasan radikal, bahkan melakukan tindakan kekerasan dengan dalih agama.

Jumlah anggota mereka jauh lebih kecil, namun mereka sangat lantang dan sering turun ke jalan.

Majelis Ulama Indonesia pun memperkuat posisinya sehingga, menurut seorang tokoh muda Islam, Syafiq Hasyim, dalam sebuah wawancara dengan BBC, mereka cenderung berupaya mendikte negara dan kebijakannya.

Betapapun, NU dan Muhammadiyah tetap merupakan organisasi yang penting, kata Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI yang juga kader Muhammadiyah.

Menurutnya, tanpa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Indonesia bisa jadi jatuh dalam ekstremisme seperti negeri-negeri Timur Tengah.

"Kita bandingkan dengan misalnya Tunisia, Mesir dan sebagainya, mereka hanya memiliki masyarakat politik yang berafiliasi dengan Islam," papar Najib Burhani.

Peran sentral

"Ketika terjadi Musim Semi Arab (gelombang demokrasi yang meruntuhkan sejumlah diktator), mudah sekali kelompok-kelompok itu bertempir satu sama lain."

Berbeda dengan di Indonesia, tambah Najib pula. Karena NU dan Muhammadiyah "memiliki kekuatan penyeimbangan. Bahkan lebih dari itu, NU dan Muhammadiyah bagai dua sayap yang bukan saja memberi keseimbangan tapi juga memberi kontribusi di berbagai keseharian umat.

Masalahnya sekarang, kata Najib Burhani, hingga saat ini umat Islam Indonesia "belum memiliki daya saing, bukan saja dibanding umat lain tapi juga dibanding umat Islam di Malaysia, di Pakistan, di Timur Tengah. Sehingga kadang kala umat Islam memiliki inferiority complex terhadap umat lain. Kita tak memiliki peran sentral di dunia Islam."

Lalu apa yang perlu dilakukan dalam kegiatan global sehingga kita tidak selalu dalam posisi rendah, itulah tantangan umat Islam Indonesia, tambah Najib Burhani.

Itulah pula tantangan yang diharapkan diikhtiarkan jawabannya dari muktamar dua organisasi Islam Indonesia terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Di sisi lain, Akhmad Sahal menganggap, NU dan Muhammadiyah akan selalu relevan jika mampu menjadi alternatif wajah Islam terhadap kecenderungan radikalisme Islam transnasional penuh kekerasan yang secara vulgar diwakili ISIS, AL Qaeda, dan kelompok-kelompok sejenisnya.

Sahal maupun Najib tak menampik, bahwa di sisi lain, umat Islam Indonesia pun mulai menunjukkan gejala intoleransi, sebagaimana belakangan diperlihatkan oleh kekerasan terhadap Syiah dan Ahmadiyah, dan dalam berbagai konflik menyangkut pembangunan gereja.

Di situlah justru, peran Muhammadyah dan NU sangat diperlukan untuk mengajak umat untuk kembali pada tradisi Islam selama ini, yang moderat dan toleran.

Oleh:




0 komentar:

Posting Komentar