Cari Blog Ini

Minggu, 26 Februari 2017

Menebar Toleransi Mencegah Krisis

MENJAGA dan merawat Indonesia adalah tugas luhur seluruh warga, khususnya para elite kepemimpinan politik dan keagamaan. Para elite mestinya tidak kenal lelah untuk menjaga negeri ini agar dijauhkan dari berbagai risiko disintegratif.

Kekhawatiran disintegrasi yang mengemuka belakangan ini terutama terkait dengan kontestasi politik, kesenjangan ekonomi, dan isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Faktor-faktor disintegrasi itu, jika salah dikelola, dapat mengganggu perekonomian nasional, bahkan memecah belah negara.

Kontestasi politik, khususnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta, telah memorak-porandakan fondasi bangunan kesatuan bangsa. Syahwat kekuasaan merasuki sebagian orang untuk menghalalkan segala cara, termasuk mengembangbiakkan isu kesenjangan sosial dan SARA. Nafsu kekuasaan telah membutakan mata atas upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan sosial.

Harus jujur dikatakan bahwa ada kesenjangan sosial dan pemerintah sudah bekerja keras untuk mengatasinya. Pemerintah sudah bekerja setengah mati untuk menurunkan Gini ratio dari 0,402 pada 2015 menjadi 0,397 pada Maret 2016. Tentu saja pemerintah harus bekerja mati-matian lagi untuk terus menekan kesenjangan ekonomi.

Pemerintah sudah menyiapkan strategi mengatasi kemiskinan, pengangguran, serta kesenjangan sosial dan ekonomi. Inti dari strategi itu ialah ekonomi yang berkeadilan. Percuma pertumbuhan ekonomi tinggi kalau hanya dinikmati segelintir orang. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil ialah membangun dari pinggiran, dari pulau-pulau terdepan, dan dari desa.

Pembangunan ekonomi berkeadilan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sumber pendanaannya antara lain dari pajak. Karena itulah, Presiden Joko Widodo terlibat aktif dalam sosialisasi amnesti pajak pada tahap pertama. Sayangnya, belakangan ini, konsentrasi Presiden Jokowi melakukan sosialisasi amnesti pajak malah tersedot untuk mengatasi masalah intoleransi. Hampir setiap hari Presiden menerima tamu untuk membicarakan intoleransi.

Sebagai gambaran, saat Presiden Jokowi aktif memberi sosialisasi, program amnesti pajak periode pertama (Juli-September 2016) menghasilkan deklarasi sebesar Rp3.604 triliun dengan nilai repatriasi Rp137 triliun dan tebusan Rp97 triliun.

Dalam amnesti pajak gelombang kedua (Oktober-Desember 2016), Presiden sudah sibuk dengan persoalan intoleransi. Nilai deklarasi pun cuma mencapai Rp692 triliun dengan repatriasi sebesar Rp4 triliun dan tebusan Rp9,5 triliun.

Jangan sekali-kali membiarkan isu SARA mengganggu ekonomi. Karena itu, publik berharap, sangat berharap, elite kepemimpinan politik dan keagamaan menghentikan kebiasaan busuk menggiring isu SARA untuk kepentingan kontestasi pilkada. Bahkan, diduga ada yang membonceng isu pilkada dengan menebarkan SARA dan kesenjangan sosial dengan tujuan mengganti ideologi negara.

Negara ini membutuhkan pemimpin yang mempersatukan dan tidak membuat keresahan. Bangsa ini juga membutuhkan elite kepemimpinan politik dan keagamaan yang nasihatnya meneduhkan untuk merenda toleransi.

Bila menebar toleransi, para elite niscaya menjala keutuhan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, bila benih-benih disintegratif yang ditebar, tentu bangsa ini akan menuai krisis ekonomi.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar