Cari Blog Ini

Selasa, 28 Februari 2017

Paham Khilafah Sekarang Itu Ngawur!



Salah seorang dosen Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah mengatakan penggantian ideologi negara dengan ideologi islam itu salah. Seharusnya pimpinan islam itu mengajarkan bahwa negara ini didirikan oleh pahlawan yang berideologi Pancasila yang digali dari sumber-sumber agama itu sendiri.
Awalnya gerakan islam garis keras muncul pada masa kemerdekaan (tepatnya 1949). Dua gerakan tersebut adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII). Visi misi mereka untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara. Setelah berakhir tahun 1960an karena terbunuhnya pimpinan DI, tahun 1980 muncul kembali gerakan serupa. Mereka adalah Komando, Jihad, Ali Imron, Kasus Talangsari oleh Warsidi dan teror Warman di Lampung.
Saat ini organisasi yang membawa misi serupa bisa dibagi 2 golongan. Penganut gerakan moral ideology seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sedang yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Sayangnya banyak masyarakat kita yang tidak tahu pergerakan gerakan radikal ini beserta sejarahnya. Kita tidak bisa mentah-mentah menerima ajaran agama islam tanpa mengetahui seluk beluk alirannya. Karena bisa saja aliran tersebut adalah warisan gerakan radikal yang telah lama ada untuk merongrong NKRI sejak jaman dahulu kala.
Mereka selalu menggembar gemborkan isu PKI dan sejenisnya yang selalu dikaitkan dengan sejarah kelam masa lalu. Namun mereka lupa kalau aliran islam yang mereka anut saat ini serupa dengan pemberontak masa kemerdekaan yaitu DI/TII dan NII. Bisa saja isu PKI mereka hembuskan untuk menutupi borok mereka sesungguhnya. Mereka yang sebenarnya hendak merongrong NKRI dengan nama islam atau kita sebut kelompok islam radikal.
Ini jelas sangat berbahaya bagi keutuhan Indonesia. Apapun motifnya jenis pemaksaan kehendak untuk merubah landasan dasar negara sangat tidak diperkenankan. Saya yakin pemerintah sudah sangat menyadari akan hal ini. Tapi selama kelompok radikal tersebut masih belum menunjukkan gejala pemberontakannya maka lebih baik mendiamkan.
Yang sangat dirugikan tentunya masyarakat kita sendiri. Apakah kita mau memberikan hak didik tentang agama islam pada anak dan sanak saudara kita pada kelompok radikal tersebut? Apakah kita mau melihat anak muda penerus generasi bangsa ternyata menjadi perongrong NKRI itu sendiri karena belajar ilmu islam pada kelompok yang salah? Tidak bukan?.
Di Indonesia sendiri ada 2 organisasi islam besar yang mengikuti pancasila dan UUD yakni Muhammadiyah dan NU. Mereka membawa ajaran islam nusantara yang tetap berlandaskan ideologi bangsa. Karena sejatinya hukum yang diterapkan di Indonesia sendiri juga telah dimusyawarakan dengan para alim ulama islam. Mereka menerapkan syariat islam yang memang cocok untuk diterapkan dan sebenarnya undang-undang kita juga diadopsi oleh syariat islam tanpa diketahui oleh kelompok penganut khilafah.
Saya pribadi awalnya masih memberikan toleransi bagi keberadaan kelompok radikal tersebut untuk menjaga persatuan kita. Tapi lambat laun saya menyadari kalau justru persatuan kita sangat terancam oleh kelompok-kelompok terebut. Mereka hanya mengakui islam versi kelompoknya saja dan menutup diri dari ulama sesepuh yang turut membesarkan bangsa.
Seharusnya mereka belajar dari NU dan Muhammadiyah yang lebih dahulu ada sebelum kemerdekaan. Tapi nyatanya mereka yang datang belakangan tanpa ikut berkorban untuk kemerdekaan malah menganggap kelompoknya paling benar.
Bahayanya mereka sering mengutip ayat-ayat kitab suci tanpa mempelajari tafsir lengkapnya. Mereka sangat mudah mengistimewakan golongannya dengan dalih “sebarkan walau hanya satu ayat”. Dengan itu orang yang baru mengaji setahun atau berbulan-bulan bisa menjadi da’i atau ustadz. Sungguh kengawuran yang luar biasa. Makanya jangan heran kalau ada organisasi islam yang banyak menjadikan muallaf sebagai ustadz. Bukan lantaran ilmunya, tapi niatan lain seperti menjelekkan agama awal yang dianut muallaf tersebut. Ini sungguh menyedihkan.
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah punyusupan organisasi-organisasi islam radikal tersebut di tempat pendidikan. Kita harus mewaspadai pergerakan mereka di kampus-kampus dan sekolahan. Kalau perlu dibuatkan aturan khusus dari kepala sekolah atau rektor tentang pengajaran islam yang benar.
Saya sendiri memiliki pengalaman pribadi dengan kelompok ini. Sewaktu baru masuk salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, ada namanya pertemuan kajian rutin. Sifatnya pembelajaran agama islam dari senior ke junior yang barusan masuk kampus. Ngawurnya, senior tersebut ternyata orang yang tidak memahami ajaran islam dengan baik dan benar.
Pertama kalinya saya disodori  buku tipis yang isinya kurang lebih mengenai jihad di Palestina. Saya iseng bertanya hukum bom bunuh diri dalam islam. Dan sungguh tak terbayangkan betapa kurang ajarnya jawaban mbak senior. Dia bilang kalau bom bunuh diri tersebut merupakan jihad yang dibenarkan. Sudah saya kapok kalau belajar ilmu islam model ngawur seperti ini. Keesokannya saya putuskan tak mau lagi mengikut kajian dengan mereka.
Mirisnya kegiatan dakwah ngawur tersebut dilaksanakan di masjid kampus yang sesungguhnya harus dinetralkan dari ajaran sesat. Saya memutar otak untuk menghindari radikaler-radikaler tersebut hingga lulus kuliah. Sampai sekarangpun saya masih bertanya-tanya ke mana dosen dan rektor kampus. Kenapa tidak ada pengawasan sama sekali untuk mengontrol kelompok naif tersebut.
Bagaimana kalau suatu ketika ada bom bunuh diri di tempat ibadah agama lain yang ditengarai dilakukan oleh mahasiswa kampus tersebut. Yang kalau diselidiki lebih dalam ternyata berasal dari ajaran islam ngawur senior-seniornya. Mau ditaruh mana muka mereka sebagai pendidik.
Akhirnya saya hanya ingin berpesan dan mengingatkan agar kita semua tidak salah dalam melangkahkan kaki. Ayah saya sendiri merupakan kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan memiliki TPQ sendiri di sebelah rumah. Selain dari ajaran ayah, dari SMP saya mengaji dengan dua orang ustadz yang berada di 2 kampung yang berbeda. Saya tidak lelah untuk mengayuh sepeda setiap hari untuk belajar islam dari majelis ta’lim yang terpercaya. Sebenarnya semua saudara perempuan saya masuk pondok pesantren kecuali saya sehingga saya putuskan untuk belajar ilmu agama dari ustadz-ustadz yang tak terlalu jauh dari rumah. Sehingga sambil belajar agama islam saya juga bisa fokus belajar di sekolah negeri hingga masuk universitas ternama.
Yakinlah teman, perjuangan dalam mempelajari agama saya tempuh dengan tidak mudah. Tidak instan setahun apalagi sebulan mengaji bisa jadi mentor apalagi da’i. Hal ini sangat berkebalikan dengan sistem mengaji pada kelompok dan organisasi radikal. Maka jangan heran kalau banyak ucapan kotor hingga caci makian keluar dari pendakwah mereka. Salah satunya karena mereka tidak memahami ajaran islam secara baik dan benar.
Begitulah kura-kura.

0 komentar:

Posting Komentar