Cari Blog Ini

Selasa, 14 Februari 2017

Angket ‘Ahok Gate’, Lelucon Oposan Senggol Bacok 14



Melihat muka Fadli Zon ditekuk di TV ketika berbicara soal hak angket Ahok Gate, saya hanya senyum-senyum. Ia terlihat sangat serius, bahkan mungkin sedang marah. Namun malah mirip aktor teater yang baru bisa akting seolah-olah. Saya maklum, dia kan politikus kemarin sore. Wajar segala sesuatu terlalu didramatisir.  Sok yes. Padahal persoalan Ahok Gate ini sebenarnya cukup dengan interpelasi, jika ingin mendapat keterangan dari Pemerintah.

Namun itu tidak masalah. Adanya pengguliran hak angket menunjukkan, oposan pemerintahan Jokowi masih hidup dan bernapas. Dan itu sehat untuk demokrasi. Saya justru mendorong adanya kegiatan semacam ini. Biar tidak ngantuk di ruang sidang dewan. Namun kalau bisa yang dasarnya kuat, bukan dicari-cari.

Apakah ini berbahaya? Sama sekali tidak.

Pada akhirnya, angket akan ditentukan dengan voting. Pihak Koalisi jelas lebih banyak suaranya. Meskipun mereka memang punya peluang untuk beli suara. Demokrat dan Gerindra jelas punya kepentingan besar dan mungkin sekali rela merogoh kocek dalam-dalam.

Yang menarik dalam angket Ahok Gate ini adalah keikutsertaan PAN. Saya tidak terlalu kaget, karena partai satu itu memang plin-plan sejak awal. Koalisi rasa oposisi. Mirip duri dalam daging. Mestinya jika tidak cocok dengan Pemerintah ya angkat kaki. Tarik menteri Asman Abnur. Namun PAN tidak malu main dua kaki. Saya pikir mereka memang mencontoh dengan baik seniornya, Amien Rais.

PAN memang bukan Muhamadiyah, tapi massa PAN adalah orang-orang Muhamadiyah. Kalau ada orang NU masuk ke sana, mungkin sedang mabuk equil. Entah kalau NU GL. Jadi, main politik dua kaki yang ditunjukkan PAN itu sangat menyedihkan. Mengingat orang Muhamadiyah juga ada di dalam kabinet Jokowi, yaitu Muhadjir. Namun begitulah politik. Moral itu nomor sekian. Muka tembok adalah modal utama berpolitik.

Pengguliran hak angket ini bisa jadi alternatif totonan bagi rakyat. Bahwa demi seorang Ahok, segala upaya boleh dilakukan. Jika membikin namanya begitu nista dengan isu penistaan agama tidak mempan, ada seribu satu jalan lain. Demi kepentingan Pilkada Jakarta semua cara dilakukan. Ahok harus tumbang. Minoritas mau berlagak jagoan di Jakarta, kota tempat para preman berpakaian rapi yang gemar ngomong undang-undang dan ayat suci.

Ahok menjadi begitu penting karena dianggap berbahaya bagi tikus-tikus DKI Jakarta. Ingat Sanusi dari Gerindra, dia adalah contoh tikus busuk yang pura-pura teriak atas nama hukum dan rakyat. Nyatanya korup, padahal oposisi. Jadi kalau lihat hari ini oposisi terlihat ngotot dan mengatasnamakan rakyat, ingat baik-baik nama Sanusi, SANtun tapi korUpSI.

Ikut koalisi bukan jaminan ingin mensukseskan jalannya pemerintahan. Nyatanya PAN bermuka dua. Masuk oposisi juga bukan gambaran penyeimbang. Nyatanya anggota mereka juga terjaring KPK.

Permainan politik menjelang detik-detik terakhir Pilkada Jakarta memang semakin tak sehat, bahkan cenderung gila. Angket Ahok Gate ini lebih terlihat sebagai lelucon oposan senggol bacok. Yang penting beda. Ada celah sedikit sikat. Logis atau tidak itu nomor sekian. Menang atau tidak bukan persoalan. Bikin rusuh dulu, pusing-pusing belakangan.

Menyeret Jokowi dalam pusaran Pilkada Jakarta adalah persoalan serius. Padahal ia sudah bersikap netral dan menjauh. Lawan politiknya masih terus mencari celah. Setelah demo berjilid-jilid tak mempan menggoyang pemerintahan, bahkan berakhir blunder, mereka masih tak lelah bersiasat busuk.

Saya pribadi sebenarnya ingin melihat Jokowi sekali-kali bertindak galak. Hajar saja Prabowo dan SBY itu. Apalagi Fadli Zon, tendang saja bokongnya. Keluarkan saja PAN dari koalisi. Usir Muhadjir. Oposan itu sebenarnya tak punya kekuatan berarti. Langgar saja kebiasaan memberi kekebalan hukum pada mantan Presiden dan Wapres. Toh mereka secara tidak langsung adalah aktor yang terus membikin gaduh dan memasang jebakan. Mereka bukan negarawan.

Namun saya sadar, yang rugi adalah Pemerintah sendiri. Itu akan merusak fokus pembangunan. Energi akan terkuras habis untuk adegan saling menumbangkan. Pada akhirnya rakyat juga yang jadi korban. Situasi akan memanas dan tidak kondusif bagi perekonomian. Atas nama rakyat inilah saya kira, Jokowi terus mengalah. Orang-orang baik memang selalu serba salah. Mereka boleh diserang dengan segala cara kotor, tapi tak boleh membalas dengan cara serupa.

Namun biasanya, di akhir pertunjukan, mereka ini yang jadi pemenangnya. Persis seperti falsafah Jawa kuno, Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti (Semua bentuk angkara murka yang bertahta dalam diri manusia akan dapat dikalahkan dengan sifat lemah-lembut)

Oleh : Kajitow Elkayeni

0 komentar:

Posting Komentar