Sejak awal sejarah peradaban Islam hingga
sekarang, penafsiran yang dilakukan oleh para penafsir Al-Qur’an
beraneka ragam sesuai dengan kapasitas intelektual dan kecenderungan
penafsir. Keanekaragaman penafsiran tidak hanya membuktikan
fleksibelitas dan elastisitas kandungan Al-Qur’an terhadap perkembangan
kehidupan manusia, tetapi juga membuktikan adanya legitimasi keabsahan
untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan keinginan masing-masing.
Salah satu dari ragam penafsiran ini
adalah penafsiran kontekstual, penafsiran ini belakangan seringkali
didiskusikan, apalagi berkaitan erat dengan gegap gempita Pilkada yang
terjadi di sejumlah daerah, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat
dalam memilih pemimpin. Tafsir kontekstual merupakan sebuah usaha dari
para cendikiawan-cendikiawan muslim agar setiap ayat dalam Al-Qur’an
dapat dipahami sesuai dengan tuntutan zaman, atau kekinian.
Dalam Islam, ada 2 sumber hukum utama yang
menjadi rujukan dalam memahami ajaran-ajarannya, yaitu Al-Hadits, dan
Al-Qur’an. Dalam memahami keduanya diperlukan penafsiran yang mendalam
serta komprehensif. Banyak hal yang perlu diperhatikan ketika memahami
ayat-ayat yang menjadi sumber hukum dan rujukan dalam Al-Qur’an, salah
satunya Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat), ini menjadi penting karena berkaitan erat dengan konteks yang dimaksud dari ayat yang menjadi rujukan.
Tafsir kontekstual dalam pengertian yang
sederhana, yaitu penafsiran yang senantiasa mengacu pada setting sosial
pada saat wahyu turun dan saat penafsir menafsirkannya sudah ada sejak
masa awal Islam. Bahkan Rasulullah SAW adalah sebagai penafsir pertama
yang menerapkan penafsiran ini. Itu pun kalau disepakati bahwa semua
perilaku beliau, baik perbuatan atau perkataan yang berkaitan dengan
Al-Qur’an termasuk sebuah tafsir. Sebagai manusia terbaik yang dituntun
wahyu, beliau sangat peka dan mengetahui karakter individu dan
gejala-gejala sosial disekitarnya. Oleh sebab itu, beliau kadang memberi
dua solusi berbeda untuk satu pertanyaan atau satu peristiwa tergantung
kondisi penanya dan konteksnya.
Salah satu permasalahan yang menarik
belakangan ini untuk dipahami secara kontekstual adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang kepemimpinan, secara khusus berkaitan
dengan larangan memilih pemimpin non muslim. Benarkah ayat-ayat ini
harus dipahami secara tekstual di negara kita, Indonesia?, yang notabene
merupakan Negara yang menganut sistem Trias Politica dalam
sistem bernegara. Dimana kedudukan Kepala Pemerintahan Eksekutif,
sejajar dengan kedudukan lembaga Legislatif dan Yudikatif secara
Nasional, begitu juga kepemimpinan di daerah.
Dalam sejarah peradaban Islam, tercatat Pemimpin (Khalifah) memiliki kekuasaan penuh dalam sistem pemerintahan, tidak dikenal adanya pembagian kekuasaan, tidak dikenal adanya sistem Trias Politica yang
berlaku di negara modern. Sehingga pemimpin pada masa itu, memiliki
kekuasaan yang absolut layaknya raja-raja pada masa kerajaan di
Indonesia. Sehingga wajar jika pemimpin pada masa itu jika di pimpin
oleh seorang (non muslim) yang berbeda dari mayoritas masyarakat
(muslim) pada saat itu, maka akan sulit sekali mengontrol
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya, karena tidak ada lembaga yang
akan mengoreksi dan meninjau kebijakan-kebijakan yang dijalankannya.
Hal ini kemudian menjadi berbeda jika
ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih pemimpin non muslim,
dibawa dalam konteks negara demokrasi modern seperti Indonesia. Di
Indonesia, pemimpin sudah bersifat kolektif, berdasarkan teori Trias Politica,
kekuasaan terbagi menjadi tiga (Pemerintahan/Eksekutif,
Parlemen/Legislatif, Kehakiman/Yudikatif). Jadi tidak ada lagi pemimpin
berkuasa mutlak seperti pada masa Nabi dan Sahabat, karena sekarang
dikontrol oleh kekuasaan lain, yakni MPR/DPR dan kehakiman (MA dan
Kejaksaan Agung).
Jadi tidak perlu khawatir, jika kemudian
ada pemimpin (Gubernur Non Muslim) karena selain tetap dikontrol oleh
Presiden di atasnya, ada Mendagri yang secara hierarki juga berada di
atasnya, ada DPRD, Pengadilan, Kejaksaan dan KPK yang semuanya adalah
bagian dari pemimpin kolektif, yang siap mengontrol segala kebijakan
yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang. Jadi, jika kita ingin
membawa Al-Maidah 51 dalam konteks bernegara di Indonesia, maka bukan
pemimpin dalam sistem bernegara di Indonesia yang dimaksud, melainkan
pemimpin yang memegang kekuasaan penuh (absolut), termasuk pemimpin yang
menguasai lembaga-lembaga legislatif maupun yudikatif, sehingga tidak
ada kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Jadi jelas,
ayat ini tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan di negara demokrasi
modern. Bijak lah dalam beragama, jangan hanya karena pilkada sesaat,
lalu jadi provokator umat.
0 komentar:
Posting Komentar