Diakui atau tidak Aksi 212 yang (katanya) berhasil mengumpulkan 7
juta orang di Monas, telah meresahkan pemerintahan Presiden Jokowi
karena menyebabkan polarisasi di masyarakat yang bisa merobek
kebhinekaan Indonesia. Arsitek aksi ini, yakni Gerakan Nasional Pembela
Fatwa (GNPF), berhasil memanfaatkan momentum kasus dugaan penistaan
agama dan membetot perasaan bawah sadar sebagian umat Islam yang
tersinggung, bahwa saatnya untuk berkata bahwa Islam sama sekali tidak
boleh dinistakan.
GNPF ingin terus mempertahankan momentum ini melalui kampanye “Spirit
212 Bela Islam” yang memunculkan wajah mereka sebenarnya yang makin
politis. Karena unsur ini, GNPF tidak mampu mengarahkan biduknya dengan
sistematis dan taktis untuk menjadi kelompok penekan yang permanen.
Perkembangan GNPF ke depan sebagai gerakan sosial keagamaan dapat
diprediksi melalui anatomi gerakan sosial yang dikemukakan sosiolog
Herbert Blummer. Menurut Blummer, ada empat tahapan proses gerakan
sosial yakni emerge (kemunculan), coalescene (bergabung), bureaucratization (formalisasi), dan decline
(penurunan). GNPF sudah melalui dua tahapan pertama dan memasuki
tahapan formalisasi. Di sinilah GNPF terseok-seok, utamanya karena
gerakan itu bentuknya informal.
GNPF dan Frustrasi Kelompok
GNPF hanyalah sekadar pengorganisir massa yang berhasil mengompori dan memobilisasi sebagian Muslim di Indonesia untuk merasa bahwa “mereka tersakiti karena ucapan Ahok.” Selebihnya, mengutip penjual tahu bulat yang pakai mobil pick up, Aksi Bela Islam 411 dan 212 digoreng dadakan tanpa persiapan, apalagi susunan organisasi yang solid.
Para pionirnya gagal melembagakan gerakan itu dalam struktur
organisasi formal sesudah aksi 212. Seperti yang dikemukakan Blummer,
proses kooptasi di GNPF bisa menjadikan gerakan ini lumpuh karena hanya
mengandalkan tokoh-tokoh agama yang hadir dalam Aksi 411 dan 212. Tidak
ada tokoh lapis kedua yang bisa menggantikan tokoh-tokoh yang sudah
terkenal.
Selain itu, tersirat ada friksi di GNPF tentang tujuan akhir yang
ingin dicapai. Arifin Ilham, misalnya, cenderung menarik diri dari GNPF
dan nampaknya hanya bersedia memberikan “dukungan moral” saja. Demikian
juga Abdullah Gymnastiar yang ogah ikut-ikutan berpolitik. Sementara
Bachtiar Nasir, sang empunya gagasan, tidak punya massa solid seperti
dua tokoh itu atau Habib Rizieq. Bachtiar Nasir sekadar dalang
ideologis, bukannya eksekutor atau pelaksana lapangan.
Tidak heran jika gagasan membentuk Indonesia yang bersyariah dengan
tujuan jangka pendek memenjarakan Ahok seperti patung es yang perlahan
lumer. Bachtiar Nasir, sang jenderal lapangan, berusaha menghidupkan
gerakan ini. Namun seperti halnya sifat organisasi informal, GNPF
“menyuntik paksa” norma-norma yang ingin dicapai, hingga massa
pendukungnya merasa tertekan.
Gerakan salat subuh berjemaah, misalnya, makin sepi karena pemaksaan
norma-norma anti-Ahok yang terus diulang-ulang hingga simpatisan merasa
bosan. Ini menyebabkan banyak dari mereka yang tadinya bersimpati justru
merasa dikekang dan “diperintah seenaknya” oleh para koordinator GNPF.
Kuda Tunggangan yang Makin Lemah
“Master Plan” GNPF juga bisa berujung gagal karena faktor Front Pembela Islam (FPI). Ormas ini adalah kuda tunggangan utama GNPF yang mampu menghentak perhatian masyarakat lewat manuver Rizieq Shihab. Dialah yang mampu menghimpun massa besar dan berani tampil di hadapan, bertarung dengan aparat keamanan, dan rela berperih mata ketika terjadi kerusuhan. Di luar Rizieq, tokoh-tokoh GNPF lainnya cuma bisa mampu “meramaikan” aksi 411 dan 212 dengan mengerahkan jemaahnya dan hanya mengambil tugas ringan, seperti bersih-bersih sampah kemudian pulang dengan bis mewah.
Tapi kuda tunggangan itu kini lemah karena terlampau percaya diri.
Rizieq Shihab setelah 212 makin agresif menyuarakan intoleransi hingga
akhirnya dia tersandung diberondiong enam laporan yang semuanya
memungkinkan dia menjadi tersangka. Bahkan kini Rizieq dinyatakan
sebagai tersangka pelecehan Pancasila.
Pelaporan demi pelaporan juga mendera elite FPI lainya. Munarman
menjadi tersangka pelecehan agama Hindu. Novel Chaidir Bamukmin dan
Muchsin Alatas dilaporkan oleh tim pengacara Basuki Tjahaja Purnama atas
tuduhan saksi palsu. Tidak hanya itu, Bachtiar Nasir juga harus
berurusan dengan kepolisian terkait tindak pidana pencucian uang dan
kasus makar. Semua perkara hukum itu membuat FPI dan GNPF terkuras
energinya dan tidak bisa berkonsentrasi mewujudkan niatnya.
Sialnya, media sosial yang mendukung mereka, termasuk Twitter Rizieq
Shihab, diberangus. Ini kerugian sangat besar karena jangankan mereka
menyebarkan propaganda, menangkis tuduhan saja mereka terseok-seok.
Mereka sekarang bergerak di grup-grup Whatsapp yang tentu saja efek
propagandanya terbatas.
Politik Belah Bambu
Lemahnya GNPF sebagai organisasi tersebut memudahkan pihak keamanan dan negara untuk mengendalikan gerakan ini dengan menyekat berbagai kelompok yang terlibat dalam aksi 212 agar tidak bisa bergabung satu sama lain dalam satu gerakan. Ellen Lust-Okar, peneliti dari Universitas New York, dalam disertasi doktoralnya berjudul Divided They Rule: The Management and Manipulation of Political Opposition, mengatakan otoritas negara dalam menghadapi gerakan oposisi berusaha memisahkan mereka dalam tiga kategori: moderat, loyalis ideologis, dan radikal.
Perlakuan negara terhadap tiga kelompok ini berbeda-beda, mulai dari
yang akomodatif (moderat), akomodatif terbatas (loyalis) dan represif (
radikal).
Setidaknya ada dua kelompok moderat di GNPF, yakni Arifin Ilham dan
Abdullah Gymnastiar. Dua tokoh ini diberi “keistimewaan” untuk
berdekatan dengan pemangku keamanan, seperti Panglma TNI dan Kapolri.
Beberapa acara dua tokoh ini dihadiri Jenderal Gatot dan Jenderal Tito.
Sementara MUI sudah “disterilkan” sebelum 212 dengan pernyataan ketuanya
agar GNPF jangan memakai nama MUI.
Adapun kelompok loyalis ideologis, yakni yang sejak lama
memperjuangkan simbol-simbol perjuangan, pihak keamanan memberikan
konsesi terbatas pada FPI setelah “membiarkan” ormas ini bertindak dan
berbicara “seenaknya” kemudian terperangkap lewat hujan laporan
pelecahan. Kita tidak tahu apakah terjadi deal tertentu antara
pihak keamanan hingga FPI melempem belakangan ini. Rizieq Shihab juga
tidak mengeluarkan pernyataan apa pun menjelang pencoblosan. Melihat
kiprahnya ke belakang adalah keanehan tersendiri mengapa Rizieq bungkam.
Namun, sudah pasti, jika FPI tetap ngotot turun ke jalan pada 11, 13,
dan 15 Februari 2017, polisi akan mengambil tindakan represif. Karena
itu, FPI sejak awal menyatakan berada dalam barisan komando Forum Umat
Islam (FUI) dalam melaksanakan aksinya di masa tenang itu. Dua perlakuan
berbeda ini jelas menyekat Bachtiar Nasir yang bisa dianggap sebagai
kelompok radikal mengingat dia adalah jenderal lapangan yang mengatur
semua kegiatan, baik di 212 dan sesudahnya.
Sekatan ini jika berhasil akan menyudahi perjuangan GNPF menjadi
kelompok penekan yang permanen karena dijauhkan dari kelompok yang
mempunyai massa. Tolok ukur keberhasilan cara-cara belah bambu ini
mungkin bisa kita lihat di 11, 13 dan 15 Februari 2017.
Penulis: Budi Setiawan
0 komentar:
Posting Komentar