![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkzjiENcnxkpB3PqbfFLe6Fi3wmNH_3GDksWf1lCCTNJa0nQF3t71P4qXOtuC4EoeDnX9TGuRHBegzB6NL13u5_a_XcOmSyzoiy154RPHx_II4GMMx_i8GuyoC_Un0FAL8wJf2D1V3JKbT/s320/2213123288_1090577560998844_3995220195454859500_o.jpg)
Sebagai sebuah labeling, istilah
ini –jika hanya sekadar dipahami karena sifatnya yang lintas negara,
dan karena itu bukan “murni” Islam Indonesia— menurut saya masih
memunculkan pertanyaan baru. Benarkah ada Islam “murni Indonesia” itu?
Tidakah Islam ala NU atau Muhammadiyah misalnya, juga muncul karena
persentuhannya dengan dunia luar, terutama dari Timur Tengah? Bukankah
tradisi keilmuan yang dikembangkan di lingkungan NU dan Muhammadiyah
sebagiannya juga diimpor dari Timur Tengah? Pertanyaan yang lebih
mendasar lagi adalah bukankah sifat agama itu sendiri sebetulnya
transnasional dalam pengertian lintas wilayah? Jadi labeling ini
memang masih memerlukan kategori-kategori khusus untuk memperkuat atau
membatasi definisi yang lebih tegas, apa makhluk ideologi transnasional
ini.
Dalam tradisi kesarjanaan dan pers Barat sebelumnya, labeling yang
agak senada dengan makna ideologi transnasional ini memakai istilah
fundamentalisme yang setidaknya digunakan dalam tiga pengertian (John L.
Esposito, 1994; 17-18). Pertama, semua usaha untuk kembali
pada kepercayaan dasar. Dalam konteks masyarakat Islam adalah usaha
kembali kepada al-Quran dan Hadis sebagai model hidup normatif. Kedua,
pengertian yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika.
Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad 20 yang menekankan
penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi
kehidupan dan ajaran Kristen. Bagi kebanyakan orang Kristen, cap ini
bernada penghinaan yang berarti dekat dengan sesuatu yang statis,
kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk untuk menyebut
sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme,
terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Karena dianggap terlalu terbebani dengan praduga Kristen dan
stereotif Barat, John L. Eposito gerakan ini dengan “Kebangkitan Islam”
atau “aktivisme Islam” yang dinggap lebih sesuai dengan nilai-nilai
dalam tradisi Islam seperti konsep tajdid (pembaruan) dan islah (perbaikan). (John L. Eposito, 1994; 18).
Dengan alasan yang hampir mirip pula, sebagian akademisi menyebut
gerakan ini dengan “islamisme”. Itu merujuk pada pandangan yang berusaha
melihat Islam sebagai ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam
wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat
modern (Oliver Roy, 2004; h. 58). Dalam pandangan kelompok ini, Islam
harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat tersebut, dari
cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan
ekonomi. Dari cara pandang ini karena itu kelompok ini melihat
pentingnya kehadiran negara atau sistem Islam. Sementara sebagian besar
muslim justru melihat, menjadi muslim tanpa harus menjadi islamis adalah
sesuatu yang mungkin.
Jika pengertian transnasional ini secara substansial tak beda dengan
pengertian islamisme ini, maka fenomena gerakan ini sebetulnya bisa
ditarik ke belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pebaharuan Islam
yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-18: gerakan Muhammad bin
Abdul wahab (1703-1787) di Arabia tengah; gerakan pada abad ke-19 dan
ke-20 yang dipimpin oleh tiga pemikir: Jamaludin al-Afghani (1839-1897),
Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935). (Greg Fealy
dan Anthony Bubalo, 2007; 30).
Gerakan yang dikembangkan Abdul Wahab untuk kembali pada as-salaf ash-shalih,
tiga generasi pertama sahabat Nabi Muhammad yang kemudian dikenal
dengan gerakan Wahabi ini membayang-bayangi lahirnya Ikhwanul Muslimin
oleh Hassan Al-Banna di Mesir pada 1928. Pendiri gerakan itu
berpandangan, ancaman Barat yang tidak hanya berbentuk fisik tapi juga
intelektual dan spiritual harus dilawan dengan kembali pada dasar-dasar
Islam, dan perlunya al-nizham al-islami, negara atau sistem Islam.
Setelah kematian Al-Banna akhir 50-an gagasan ideologi selanjutnya
dikobarkan oleh sang ideolog handalnya Sayyid Qutb. Tokoh ini sendiri
dieksekusi pemerintah Mesir pada 1966. sebelumnya, setelah kebijakan
represi dilakukan pemerintah Mesir, sebagian aktivis Ikhawanul Muslimin
mengungsi ke Arab Saudi. Salah satunya adalah Said Ramadhan yang
kemudian menjadi salah seorang pendiri Rabithah al-Alam Islami. Menantu
al-Banna ini kemudian pindah ke Jenewa untuk mengembangkan ideologi
Ikhwan di kawasan Eropa. Muhammad Qutb, adik kandung Sayyid Qutb juga
ikut pindah ke Arab Saudi yang kemudian menjadi dosen di King Abdul Aziz
University Jeddah dan mengajar Osama bin Laden, salah seorang
mahasiswanya. (Abdurrahman Wahid [ed]; 2009; 82).
Pada era 50-an pula Taqiudin Al-Nabhani (1909-1997) mendirikan
Hizbuttahrir di Yerussalem timur yang waktu itu dikuasai Yordania.
Gerakan Ikhawanul waktu itu ditudingnya terlalu moderat. Konflik
Israel-Palestina dipandang Taqiudin mencerminkan konflik yang lebih luas
antara dunia Islam dan non-Islam. Untuk memenangkan pertarungan itu, ia
menilai perluanya khilafah Islamiyah internasional, yang diawali dari
teritori kawasan Arab dan kemudian membentang ke wilayah non-Arab.
Konteks Perkembangan Transnasional di Indonesia
Pengaruh Timur Tengah atas Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak
abad ke-17. Kelahiran ormas seperti Muhammadiyah, dan kemudian direspon
dengan kelahiran Nahdlatul Ulama juga tak bisa dilepaskan dari pengaruh
Timur Tengah ini. Kedua tokoh pendiri ormas ini, KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asyari, sama-sama mendalami ilmu agama di Timur Tengah.
Selama beberapa abad sejarah mencatat banyak orang Indonesia pergi ke
Timur Tengah baik sebagai haji, pedagang, pelajar, dan ulama.
Dalam konteks yang paling mutakhir, kalangan pelajar atau mahasiswa
yang belajar di Timur Tengah agaknya merupakan saluran paling penting
pendistribusian ide-ide Islamis ini. Di tengah situasi sosial politik
yang represif yang dikembangkan Orde Baru kala itu rupanya membuat ide
ini bisa berkembang dan diminati sebagian kalangan generasi muda muslim
perkotaan.
Hal yang saya kira menarik dicatat dari studi Greg Fealy dan Anthony
Bubalo mengenai pengaruh Islamisme Timur Tengah di Indonesia adalah
penegasannya untuk tidak melihat gerakan transnasional ini sebagai
gerakan yang monolitik. Dengan melihat islamisme ala Timur Tengah hanya
sekadar gerakan yang radikal, ekstrim, bukan hanya melahirkan sikap
permusuhan baru tapi juga bisa abai pada gradasi islamisme yang lebih
moderat tapi pada dasarnya tetap problematik bagi penguatan negara
Indonesia. Gerakan-gerakan mempromosikan sejumlah perda syariat di
banyak daerah di Indonesia adalah strategi yang jauh lebih moderat
bahkan terkesan demokratis adalah salah satu varian strategi gerakan
transnasional ini.
Studi keduanya berusaha memberi gambaran yang lebih bervariasi baik
ketika menjelaskan jalur pengaruh Timur Tengah atas Indonesia, maupun
ketika mengategorikan kelompok-kelompok islamis ini.
Jalur transmisi ide-ide islamisme itu menurut studi ini setidaknya mengambil tiga jalur (Greg Fealy dan Anthony Bubalo; 84) . Pertama,
gerakan-gerakan sosial. Di jalur ini transmisi ide dibawa oleh pelajar
atau mahasiswa yang belajar di Timur Tengah. Mereka belajar di
Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Islam Madinah, Universitas Umul
Qura Mekah, Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, atau
Universitas King Abdul Aziz. Sementara itu, saluran utama kelompok
jihadis adalah melalui perang Afghanistan pada 1980-an yang kemudian
melahirkan kelompok Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah.
Kedua, jalur pendidikan dan dakwah. Lembaga-lembaga dan beberapa
orang dari negara Timur Tengah termasuk Mesir Kuwait belakangan cukup
aktif berkiprah di bidang pendidikan dan dakwah di Indonesia. Agen-agen
itu meliputi atase kedutaan Arab Saudi di Jakarta, Rabithah Alam Islami,
International Islamic Relief Organization (IIRO) dan Word Assembly
Muslim Youth (WAMY), atau lembaga amal nonpemerintah seperti al-Haramain
–yang cabangnya di Indonesia dituding Amerika sebagai organisai
pendukung terorisme (Greg Fealy; 92).
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Cabang Universitas
al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi juga dianggap salah satu
lembaga yang mentransmisikan ide-ide ikhawanul muslimin dan salafi.
Sebagian alumninya ada yang menjadi petinggi PKS. Penelitian Sidney
Jones menyebut sebagian besar para alumni menjadi figur berpengaruh
dalam gerakan salafi di Indonesia melalui penerbitan, atau dengan
menjadi dai, guru maupun ulama. (Greg Fealy; 96). Tiga organisasi yang
secara khusus mendapat dukungaan signifikan dari Saudi adalah Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jamiat Islam wa al-Irsyad dan Persis.
Ketiga, jalur publikasi dan internet. Melalui sejumlah media baik cetak maupun online,
atau buku-buku dalam versi Arab maupun terjemahan, juga menjadi salah
satu jalur transmisi cukup efektif. Beberapa penerbit buku di Indonesia
bahkan mengkhususkan menerbitkan atau menerjemahakan buku beraliran
salafi dan pemikiran-pemikiran dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
Studi Greg Fealy dan Bubalo ini selanjutnya menyebut tiga arus utama gerakan islamisme yang ada di Tanah Air. Pertama,
ikhawanul muslimin yang diadopsi gerakan tarbiyah dan mulai berkembang
di perguruan tinggi di era 80-an dan awal 90-an. Di masa itu tentu saja
gerakan ini berkembang underground di bawah tekanan rezim
Soeharto. Konsolidasi ini menemukan momentumnya ketika rezim Soeharto
tumbang. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang berdiri pada
April 1998, sebagian pemimpinnya kemduian mendirikan Partai Keadilan
Sejahtera (waktu itu bernama Partai Keadilan).
Kedua, kelompok salafi. Kelompok ini sebagian besar berbasis
lembaga dakwah dan pendidikan. Misalnya Yayasan al-Sofwah, Yayasan Ihsa
at-Turost, dan Al-Haramain al-Khoiriyah. Gerakan salafi yang cukup
fenomenal adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah (FKAWJ) yang
melahirkan Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Tholib. Berdiri 1998, bubar
Oktober 2002.
Ketiga, kelompok jihadi. Kelompok ini adalah kelompok paling
ekstrem dari gerakan islamisme yang mengesahkan kekerasan seperti bom
bunuh diri. Jaringan Islamiyah yang didirikan pada 1 Januari 1993 oleh
Abdullah Sungkar termasuk kelompok. Jejaring inilah yang kemudian
melakukan aksi-aksi bom bunuh diri seperti yang dilakukan Imam Samudera
dan kawan-kawan.
Beberapa Respon Gerakan
Sifat gerakan baru ini yang dinilai tampak “membuldoser” pemahaman
keagamaan yang sudah tumbuh lebih dulu seperti kalangan Nahdliyin atau
Muhammadiyah, tentu saja telah melahirkan respon dalam berbagai
gradasinya, mulai dari lunak hingga keras. Apalagi jika dianggap
kelompok tersebut “mengancam” dalam bentuk mengambil aset mereka seperti
jamaah, masjid, atau lembaga pendidikan.
Karena gerah dengan fenomena yang muncul, Muhammadiyah misalnya
mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) pada Desember 2006
tentang Kebijakan Pimpinan Muhammadiyah mengenai Konsolidasi Organisasi
dan Amal Usaha Muhammadiyah. Disurat itu, SKKP jelas menyebut PKS
sebagai partai politik yang telah memanfaatkan Muhammadiyah berikut
ases-asetnnya seperti masjid, lembaga pendidikan, maupun amal usahanya,
untuk tujuan politik.
Tahun 2007, forum Bahstul Masail di Pesantren Zainul Hasan Genggong menghasilkan keputusan bahwa tak ada satupun nash
dalam al-Quran yang mendasari gagasan negara Islam. Negara Islam atau
khilafah Islamiyah merupakan persoalan ijtihadiyah. (KH. Abdurrahman
Wahid; 254). Isu perebutan masjid oleh kelompok tertentu di kalangaan
NU juga sudah kencang disuarakan setahun sebelumnya.
Namun perlu disadari, respon yang refresif apalagi mengunakan tangan
negara memberangus kelompok ini, kecuali sudah mengarah pada aksi-aksi
teror, agaknya justru akan membuat gerakan ini makin menguat.
Bagaimanapun gerakan ini lahir dari konteks situasi sosial-politik yang
mereka anggap tidak adil dan represif. Jose Casanova dala Public Religions in the Modern World (2004)
mencatat gejala mendesakan agama ke level negara justru dianggap
sebagai dampak dari proses sekularisasi baik dalam pengertiannya sebagai
proses “kemunduran agama” (religious decline) maupun “privatisasi” (privatization) yang jelas hendak meminggirkan agama dalam wacana publik. Sekularisasi itu lalu melahirkan fenomena gerakan “deprivatisasi”(deprivatization)
agama yang berkembang sejak awal tahun 1990-an di banyak negara
termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. (Benyamin Fleming
Intan; 2006; 14 ).
Dalam konteks ini penting untuk melihat konteks lokal Indonesia
dimana kelompok berkembang. Betapapun gagasan yang diimpor itu selalu
akan mengalami dialog dan penyesuaian-penyesuaian. Inilah yang terjadi
dengan gerakan PKS yang tidak semata-mata saklek mengadopsi ideologi
Ikhawanul Muslimin.
Respon atas gerakan tersebut seyogyanya juga dilihat dalam konteks
“perang gagasan” yang dilakukan secara terbuka, dan pada saat yang sama
memperkuat basis jamaah di masing-masing pihak. Perlu ditegaskan pula di
sini, bahwa konsep negara Pancasila adalah hal final dan hasil kompromi
dari berbagai kepenti ngan, termasuk kepentingan kelompok islamis ini.
Sebagai gerakan kultural keagamaan konsep kebangsaan yang jelas yang
ditunjukan kalangan Nahdliyin terhadap Pancasila harus terus dialogkan.
Islam dalam pandangan Kalangan Nahdliyin bukanlah untuk menggantikan
negara, melainkan melangkapi. Menjadi muslim sekaligus menjadi warga
negara Indonesia. Sikap ini sudah ditunjukan jauh sebelum republik ini
berdiri. Melalui Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, kalangan
NU berpandangan jika Indonesia yang saat itu dikuasai negara Hindia
Belanda dinyatakan sebagai “negara Islam” yang sangat berbeda dengan apa
yang dibayangkan gerakan Islamis Indonesia dewasa ini yang hendak
menggantikan fondasi negara (Imam Ghazali Said; 2006).
Dengan merujuk kitab Bughyatul Mustarsyidin (hasrat para pencari petunjuk) bab Hudnah wal Imamah (perdamaian
dan kepemimpinan), Indonesia dinilai sebagai negara Islam karena
pertimbangan bahwa mayoritas penduduknya muslim dan pemerintah yang
berkuasa saat itu tidak juga melarang orang untuk menjalankan agamanya,
termasuk alasan bahwa wilayah Nusantara sejak dulu pernah dikuasai
kerajaan-kerajaan Islam.
Sikap yang tegas atas konsep bernegara-berbangsa inilah yang
sesungguhnya menjadi tugas bersama termasuk komunitas pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia. Selamat Bekerja!
Oleh Alamsyah M. Dja’far
Bahan Bacaan
Esposito, Jhon L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996) Cetakan III (edisi revisi)
Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. terj, (Bandung; Mizan, 2007)
Intan, Benyamin Fleming “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis, (Newyork: PeterLang Publishing, 2006)
Said, Imam Ghazali (ed), Solusi Hukum Islam, Keputusan Muktamar dan
Konbes (1926-2004), (Surabaya; Diantama, 2006)
Wahid, Abdurrahman (ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika-the Wahid Institute-the Maarif Institute, 2009)
0 komentar:
Posting Komentar