Salah seorang dosen Universitas Islam
Negeri, Syarif Hidayatullah mengatakan penggantian ideologi negara
dengan ideologi islam itu salah. Seharusnya pimpinan islam itu
mengajarkan bahwa negara ini didirikan oleh pahlawan yang berideologi
Pancasila yang digali dari sumber-sumber agama itu sendiri.
Awalnya gerakan islam garis keras muncul
pada masa kemerdekaan (tepatnya 1949). Dua gerakan tersebut adalah
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia
(NII). Visi misi mereka untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara.
Setelah berakhir tahun 1960an karena terbunuhnya pimpinan DI, tahun 1980
muncul kembali gerakan serupa. Mereka adalah Komando, Jihad, Ali Imron,
Kasus Talangsari oleh Warsidi dan teror Warman di Lampung.
Saat ini organisasi yang membawa misi serupa bisa dibagi 2 golongan. Penganut gerakan moral ideology
seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Sedang yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad,
Front Pembela Islam (FPI), dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Sayangnya banyak masyarakat kita yang
tidak tahu pergerakan gerakan radikal ini beserta sejarahnya. Kita tidak
bisa mentah-mentah menerima ajaran agama islam tanpa mengetahui seluk
beluk alirannya. Karena bisa saja aliran tersebut adalah warisan gerakan
radikal yang telah lama ada untuk merongrong NKRI sejak jaman dahulu
kala.
Mereka selalu menggembar gemborkan isu PKI
dan sejenisnya yang selalu dikaitkan dengan sejarah kelam masa lalu.
Namun mereka lupa kalau aliran islam yang mereka anut saat ini serupa
dengan pemberontak masa kemerdekaan yaitu DI/TII dan NII. Bisa saja isu
PKI mereka hembuskan untuk menutupi borok mereka sesungguhnya. Mereka
yang sebenarnya hendak merongrong NKRI dengan nama islam atau kita sebut
kelompok islam radikal.
Ini jelas sangat berbahaya bagi keutuhan
Indonesia. Apapun motifnya jenis pemaksaan kehendak untuk merubah
landasan dasar negara sangat tidak diperkenankan. Saya yakin pemerintah
sudah sangat menyadari akan hal ini. Tapi selama kelompok radikal
tersebut masih belum menunjukkan gejala pemberontakannya maka lebih baik
mendiamkan.
Yang sangat dirugikan tentunya masyarakat
kita sendiri. Apakah kita mau memberikan hak didik tentang agama islam
pada anak dan sanak saudara kita pada kelompok radikal tersebut? Apakah
kita mau melihat anak muda penerus generasi bangsa ternyata menjadi
perongrong NKRI itu sendiri karena belajar ilmu islam pada kelompok yang
salah? Tidak bukan?.
Di Indonesia sendiri ada 2 organisasi
islam besar yang mengikuti pancasila dan UUD yakni Muhammadiyah dan NU.
Mereka membawa ajaran islam nusantara yang tetap berlandaskan ideologi
bangsa. Karena sejatinya hukum yang diterapkan di Indonesia sendiri juga
telah dimusyawarakan dengan para alim ulama islam. Mereka menerapkan
syariat islam yang memang cocok untuk diterapkan dan sebenarnya
undang-undang kita juga diadopsi oleh syariat islam tanpa diketahui oleh
kelompok penganut khilafah.
Saya pribadi awalnya masih memberikan
toleransi bagi keberadaan kelompok radikal tersebut untuk menjaga
persatuan kita. Tapi lambat laun saya menyadari kalau justru persatuan
kita sangat terancam oleh kelompok-kelompok terebut. Mereka hanya
mengakui islam versi kelompoknya saja dan menutup diri dari ulama
sesepuh yang turut membesarkan bangsa.
Seharusnya mereka belajar dari NU dan
Muhammadiyah yang lebih dahulu ada sebelum kemerdekaan. Tapi nyatanya
mereka yang datang belakangan tanpa ikut berkorban untuk kemerdekaan
malah menganggap kelompoknya paling benar.
Bahayanya mereka sering mengutip ayat-ayat
kitab suci tanpa mempelajari tafsir lengkapnya. Mereka sangat mudah
mengistimewakan golongannya dengan dalih “sebarkan walau hanya satu
ayat”. Dengan itu orang yang baru mengaji setahun atau berbulan-bulan
bisa menjadi da’i atau ustadz. Sungguh kengawuran yang luar biasa.
Makanya jangan heran kalau ada organisasi islam yang banyak menjadikan
muallaf sebagai ustadz. Bukan lantaran ilmunya, tapi niatan lain seperti
menjelekkan agama awal yang dianut muallaf tersebut. Ini sungguh
menyedihkan.
Hal lain yang juga memprihatinkan adalah
punyusupan organisasi-organisasi islam radikal tersebut di tempat
pendidikan. Kita harus mewaspadai pergerakan mereka di kampus-kampus dan
sekolahan. Kalau perlu dibuatkan aturan khusus dari kepala sekolah atau
rektor tentang pengajaran islam yang benar.
Saya sendiri memiliki pengalaman pribadi
dengan kelompok ini. Sewaktu baru masuk salah satu perguruan tinggi
negeri di Surabaya, ada namanya pertemuan kajian rutin. Sifatnya
pembelajaran agama islam dari senior ke junior yang barusan masuk
kampus. Ngawurnya, senior tersebut ternyata orang yang tidak memahami
ajaran islam dengan baik dan benar.
Pertama kalinya saya disodori buku tipis
yang isinya kurang lebih mengenai jihad di Palestina. Saya iseng
bertanya hukum bom bunuh diri dalam islam. Dan sungguh tak terbayangkan
betapa kurang ajarnya jawaban mbak senior.
Dia bilang kalau bom bunuh diri tersebut merupakan jihad yang
dibenarkan. Sudah saya kapok kalau belajar ilmu islam model ngawur
seperti ini. Keesokannya saya putuskan tak mau lagi mengikut kajian
dengan mereka.
Mirisnya kegiatan dakwah ngawur tersebut
dilaksanakan di masjid kampus yang sesungguhnya harus dinetralkan dari
ajaran sesat. Saya memutar otak untuk menghindari radikaler-radikaler
tersebut hingga lulus kuliah. Sampai sekarangpun saya masih
bertanya-tanya ke mana dosen dan rektor kampus. Kenapa tidak ada
pengawasan sama sekali untuk mengontrol kelompok naif tersebut.
Bagaimana kalau suatu ketika ada bom bunuh
diri di tempat ibadah agama lain yang ditengarai dilakukan oleh
mahasiswa kampus tersebut. Yang kalau diselidiki lebih dalam ternyata
berasal dari ajaran islam ngawur senior-seniornya. Mau ditaruh mana muka
mereka sebagai pendidik.
Akhirnya saya hanya ingin berpesan dan
mengingatkan agar kita semua tidak salah dalam melangkahkan kaki. Ayah
saya sendiri merupakan kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan memiliki
TPQ sendiri di sebelah rumah. Selain dari ajaran ayah, dari SMP saya
mengaji dengan dua orang ustadz yang berada di 2 kampung yang berbeda.
Saya tidak lelah untuk mengayuh sepeda setiap hari untuk belajar islam
dari majelis ta’lim yang terpercaya. Sebenarnya semua saudara perempuan
saya masuk pondok pesantren kecuali saya sehingga saya putuskan untuk
belajar ilmu agama dari ustadz-ustadz yang tak terlalu jauh dari rumah.
Sehingga sambil belajar agama islam saya juga bisa fokus belajar di
sekolah negeri hingga masuk universitas ternama.
Yakinlah teman, perjuangan dalam
mempelajari agama saya tempuh dengan tidak mudah. Tidak instan setahun
apalagi sebulan mengaji bisa jadi mentor apalagi da’i. Hal ini sangat
berkebalikan dengan sistem mengaji pada kelompok dan organisasi radikal.
Maka jangan heran kalau banyak ucapan kotor hingga caci makian keluar
dari pendakwah mereka. Salah satunya karena mereka tidak memahami ajaran
islam secara baik dan benar.
Begitulah kura-kura.
0 komentar:
Posting Komentar