Melihat muka Fadli Zon ditekuk di TV
ketika berbicara soal hak angket Ahok Gate, saya hanya senyum-senyum. Ia
terlihat sangat serius, bahkan mungkin sedang marah. Namun malah mirip
aktor teater yang baru bisa akting seolah-olah. Saya maklum, dia kan politikus kemarin sore. Wajar segala sesuatu terlalu didramatisir. Sok yes. Padahal persoalan Ahok Gate ini sebenarnya cukup dengan interpelasi, jika ingin mendapat keterangan dari Pemerintah.
Namun itu tidak masalah. Adanya
pengguliran hak angket menunjukkan, oposan pemerintahan Jokowi masih
hidup dan bernapas. Dan itu sehat untuk demokrasi. Saya justru mendorong
adanya kegiatan semacam ini. Biar tidak ngantuk di ruang sidang dewan.
Namun kalau bisa yang dasarnya kuat, bukan dicari-cari.
Apakah ini berbahaya? Sama sekali tidak.
Pada akhirnya, angket akan ditentukan
dengan voting. Pihak Koalisi jelas lebih banyak suaranya. Meskipun
mereka memang punya peluang untuk beli suara. Demokrat dan Gerindra
jelas punya kepentingan besar dan mungkin sekali rela merogoh kocek
dalam-dalam.
Yang menarik dalam angket Ahok Gate ini
adalah keikutsertaan PAN. Saya tidak terlalu kaget, karena partai satu
itu memang plin-plan sejak awal. Koalisi rasa oposisi. Mirip duri dalam
daging. Mestinya jika tidak cocok dengan Pemerintah ya angkat kaki.
Tarik menteri Asman Abnur. Namun PAN tidak malu main dua kaki. Saya
pikir mereka memang mencontoh dengan baik seniornya, Amien Rais.
PAN memang bukan Muhamadiyah, tapi massa
PAN adalah orang-orang Muhamadiyah. Kalau ada orang NU masuk ke sana,
mungkin sedang mabuk equil. Entah kalau NU GL. Jadi, main politik dua
kaki yang ditunjukkan PAN itu sangat menyedihkan. Mengingat orang
Muhamadiyah juga ada di dalam kabinet Jokowi, yaitu Muhadjir. Namun
begitulah politik. Moral itu nomor sekian. Muka tembok adalah modal
utama berpolitik.
Pengguliran hak angket ini bisa jadi
alternatif totonan bagi rakyat. Bahwa demi seorang Ahok, segala upaya
boleh dilakukan. Jika membikin namanya begitu nista dengan isu penistaan
agama tidak mempan, ada seribu satu jalan lain. Demi kepentingan
Pilkada Jakarta semua cara dilakukan. Ahok harus tumbang. Minoritas mau
berlagak jagoan di Jakarta, kota tempat para preman berpakaian rapi yang
gemar ngomong undang-undang dan ayat suci.
Ahok menjadi begitu penting karena
dianggap berbahaya bagi tikus-tikus DKI Jakarta. Ingat Sanusi dari
Gerindra, dia adalah contoh tikus busuk yang pura-pura teriak atas nama
hukum dan rakyat. Nyatanya korup, padahal oposisi. Jadi kalau lihat hari
ini oposisi terlihat ngotot dan mengatasnamakan rakyat, ingat baik-baik
nama Sanusi, SANtun tapi korUpSI.
Ikut koalisi bukan jaminan ingin
mensukseskan jalannya pemerintahan. Nyatanya PAN bermuka dua. Masuk
oposisi juga bukan gambaran penyeimbang. Nyatanya anggota mereka juga
terjaring KPK.
Permainan politik menjelang detik-detik
terakhir Pilkada Jakarta memang semakin tak sehat, bahkan cenderung
gila. Angket Ahok Gate ini lebih terlihat sebagai lelucon oposan senggol
bacok. Yang penting beda. Ada celah sedikit sikat. Logis atau tidak itu
nomor sekian. Menang atau tidak bukan persoalan. Bikin rusuh dulu,
pusing-pusing belakangan.
Menyeret Jokowi dalam pusaran Pilkada
Jakarta adalah persoalan serius. Padahal ia sudah bersikap netral dan
menjauh. Lawan politiknya masih terus mencari celah. Setelah demo
berjilid-jilid tak mempan menggoyang pemerintahan, bahkan berakhir
blunder, mereka masih tak lelah bersiasat busuk.
Saya pribadi sebenarnya ingin melihat
Jokowi sekali-kali bertindak galak. Hajar saja Prabowo dan SBY itu.
Apalagi Fadli Zon, tendang saja bokongnya. Keluarkan saja PAN dari
koalisi. Usir Muhadjir. Oposan itu sebenarnya tak punya kekuatan
berarti. Langgar saja kebiasaan memberi kekebalan hukum pada mantan
Presiden dan Wapres. Toh mereka secara tidak langsung adalah aktor yang
terus membikin gaduh dan memasang jebakan. Mereka bukan negarawan.
Namun saya sadar, yang rugi adalah
Pemerintah sendiri. Itu akan merusak fokus pembangunan. Energi akan
terkuras habis untuk adegan saling menumbangkan. Pada akhirnya rakyat
juga yang jadi korban. Situasi akan memanas dan tidak kondusif bagi
perekonomian. Atas nama rakyat inilah saya kira, Jokowi terus mengalah.
Orang-orang baik memang selalu serba salah. Mereka boleh diserang dengan
segala cara kotor, tapi tak boleh membalas dengan cara serupa.
Namun biasanya, di akhir pertunjukan, mereka ini yang jadi pemenangnya. Persis seperti falsafah Jawa kuno, Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti (Semua bentuk angkara murka yang bertahta dalam diri manusia akan dapat dikalahkan dengan sifat lemah-lembut)…
Oleh : Kajitow Elkayeni
0 komentar:
Posting Komentar