Dua organisasi Islam terbesar
Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang bermuktamar dalam waktu hampir
bersamaan, tak lagi tampak sebagai pemain utama dan malah cenderung
"terdesak" oleh berbagai organisasi lain dalam percaturan dan
pertarungan wacana keislaman, kata pengamat.
Muhammadiyah mulai
melangsungkan Muktamar hari Senin (3/8) hingga 7 Agustus mendatang di
Makassar, Sulawesi Selatan, sementara Nahdlatul Ulama sudah lebih dahulu
memulai Muktamar mereka di Jombang, Jawa Timur, sejak Sabtu (1/8)
hingga 5 Agustus mendatang.
Akhmad Sahal, intelektual Islam kader
Nahdlatul Ulama yang sedang menyelesaikan program doktoralnya di Amerika
Serikat mengatakan, "memang benar, dalam soal wacana, bukan saja di
media sosial namun dalam berbagai perbincangan keseharian, NU dan
Muhammadiyah kurang sigap, kurang agresif, kurang proaktif dalam
bersuara."
Menurut Akhmad Sahal, suara NU dan Muhammadiyah sering terasa kurang
terdengar gaungnya dibanding organisasi berhaluan radikal seperti Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Bahkan
dalam berbagai persoalan, NU dan Muhammadiyah juga "kalah" suaranya
dibanding Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebagian anggotanya berasal
dari NU dan Muhammadiyah, namun dalam kebijakan - fatwa, sikap, dll-
sering berbeda. Seperti misalnya dalam kontroversi
sikap MUI tentang BPJS baru-baru ini, atau sikap MUI tentang Syiah.
Dua agenda
Padahal
NU dan Muhammadiyah mengusung agenda besar yang sangat penting dan akan
amat berarti bagi dunia Islam, yakni NU dengan Islam Nusantara, dan
Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan.
Dua agenda besar itu, khususnya agenda Islam Nusantara yang diamalkan dan dikampanyekan NU,
mendapat tentangan keras dari berbagai organisasi Islam berhaluan radikal.
"Ini
harus menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Bahwa NU dan Muhammadiyah
harus menunjukkan bahwa mereka adalah dua organisasi terbesar, bukan
hanya dalam klaim dan (jumlah anggota), namun juga buktinya dalam sikap
dan pertarungan dan percaturan wacana. Itu kalau mereka serius dengan
agenda Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan," tegas Sahal pula.
Di sisi lain, kedua organisasi memang tidak selalu tampak sejalan
--NU didirikan tahun 1926 sebagai reaksi atas didirikannya Muhammadiyah
(1912) yang dinilai mengancam tradisi-tradisi keislaman di Jawa waktu
itu, karena dianggap bid'ah.
NU ditaksir beranggotakan lebih dari
30-an juta orang, kebanyakan di Pulau Jawa, merupakan organisasi massa
Islam terbesar. Sementara Muhammadyah, ditaksir anggotanya hampir
mencapai 30 juta orang, lebih tersebar di berbagai wilayah.
Kedua
organisasi itu pernah sangat berpengaruh dalam berbagai kebijakan. Namun
sejak gelombang Reformasi 1998 yang ditandai jatuhnya Soeharto,
berbagai kelompok radikal mendapat pula peluang untuk mengorganisasikan
diri, menyuarakan gagasan-gagasan radikal, bahkan melakukan tindakan
kekerasan dengan dalih agama.
Jumlah anggota mereka jauh lebih kecil, namun mereka sangat lantang dan sering turun ke jalan.
Majelis Ulama Indonesia pun memperkuat posisinya sehingga, menurut
seorang tokoh muda Islam, Syafiq Hasyim, dalam sebuah wawancara dengan
BBC, mereka cenderung berupaya mendikte negara dan kebijakannya.
Betapapun,
NU dan Muhammadiyah tetap merupakan organisasi yang penting, kata Ahmad
Najib Burhani, peneliti LIPI yang juga kader Muhammadiyah.
Menurutnya,
tanpa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Indonesia bisa jadi jatuh dalam
ekstremisme seperti negeri-negeri Timur Tengah.
"Kita bandingkan
dengan misalnya Tunisia, Mesir dan sebagainya, mereka hanya memiliki
masyarakat politik yang berafiliasi dengan Islam," papar Najib Burhani.
Peran sentral
"Ketika
terjadi Musim Semi Arab (gelombang demokrasi yang meruntuhkan sejumlah
diktator), mudah sekali kelompok-kelompok itu bertempir satu sama lain."
Berbeda
dengan di Indonesia, tambah Najib pula. Karena NU dan Muhammadiyah
"memiliki kekuatan penyeimbangan. Bahkan lebih dari itu, NU dan
Muhammadiyah bagai dua sayap yang bukan saja memberi keseimbangan tapi
juga memberi kontribusi di berbagai keseharian umat.
Masalahnya sekarang, kata Najib Burhani, hingga saat ini umat Islam
Indonesia "belum memiliki daya saing, bukan saja dibanding umat lain
tapi juga dibanding umat Islam di Malaysia, di Pakistan, di Timur
Tengah. Sehingga kadang kala umat Islam memiliki inferiority complex terhadap umat lain. Kita tak memiliki peran sentral di dunia Islam."
Lalu
apa yang perlu dilakukan dalam kegiatan global sehingga kita tidak
selalu dalam posisi rendah, itulah tantangan umat Islam Indonesia,
tambah Najib Burhani.
Itulah pula tantangan yang diharapkan
diikhtiarkan jawabannya dari muktamar dua organisasi Islam Indonesia
terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Di sisi lain, Akhmad
Sahal menganggap, NU dan Muhammadiyah akan selalu relevan jika mampu
menjadi alternatif wajah Islam terhadap kecenderungan radikalisme Islam
transnasional penuh kekerasan yang secara vulgar diwakili ISIS, AL
Qaeda, dan kelompok-kelompok sejenisnya.
Sahal maupun Najib tak
menampik, bahwa di sisi lain, umat Islam Indonesia pun mulai menunjukkan
gejala intoleransi, sebagaimana belakangan diperlihatkan oleh kekerasan
terhadap Syiah dan Ahmadiyah, dan dalam berbagai konflik menyangkut
pembangunan gereja.
Di situlah justru, peran Muhammadyah dan NU
sangat diperlukan untuk mengajak umat untuk kembali pada tradisi Islam
selama ini, yang moderat dan toleran.
Oleh:
0 komentar:
Posting Komentar