Semalam saya menyaksikan berita-berita
yang sedih, mulai dari makhluk ISIS yang belum kelar juga sampai seorang
wanita yang sakit dan belum juga sembuh, selain sakit juga kemiskinan
yang sudah lama dilaluinya semenjak era sebelum Jokowi, dan penyakitnya
pun sangat aneh, sehingga dijuluki manusia kayu. Namun syukurlah ada
yang tergugah membantunya, bahkan Menteri Sosial bu Khofifah Indar
Parawansa turun tangan, sempat kemarin beliau diwawancara, dan saya
memperhatikan wajah beliau terpancar cahaya penolong, bahwa dia peduli
dan bekerja demi umat. Ini baru pembela Agama.
Kemudian disusul berita lain, tentu saja
media tv itu tak ketinggalan update tentang sidang Ahok, seperti
sebelumnya sewaktu sidang Jessica lama kelamaan para pemirsa sudah mulai
bosan, demikian juga sidang Ahok saya mencium aroma sudah mulai bosan
pemirsanya, hanya saja yang masih heboh adalah mereka yang merasa
agamanya dinista, atau kata teman, “Yang masih heboh itu adalah mereka
yang punya kepentingan politik meski bersumpah di atas gunung atau
bersumpah berkali-kali dengan sepabrik alquran cetak, tetap saja ngeyel
bahwa dirinya bukan karena politik tapi karena merasa agama islam
dihina, yah gitu deh teman kura-kura”
Dan tahukah anda bahwa yang tidak
mendukung aksi-aksi ini dituduh munafik?, jangankan yang tidak
mendukung, bahkan yang netral saja atau berusaha tidak mau berkonflik
dengan sasama anak bangsa akan dituduh juga munafiqun, jadi
apakah itu bukan pemaksaan?. Lalu terjadi-lah chaos opini, terjadilah
hoax berseliweran dan terjadilah apa yang mesti terjadi karena
kemampuan analisa dikesampingkan.
Lagi-lagi teman berkata begini “Bang, di
dunia ini selalu ada yang aneh, bukan karena ada yang percaya Jin bisa
menampakkan diri tapi aneh karena banyak orang yang memaksa agama ikut
sesuai keinginan orang-orang ini, padahal sejatinya orang-orang ini-lah
yang harus mengikuti agama dengan tulus sehingga terlihat jelas
perangainya dan karakternya serta tingkah lakunya. Tapi yahh.. mau
apalagi, mau muak juga sudah keluar semua ke-muak-an ini, apalagi kalau
sedang menggunakan simbol-simbol agama dengan rasa percaya diri untuk
melakukan justifikasi sifat kebuntuannya, ya benar-benar mem-buntu-kan,
dan tak tanggung-tanggung cara berpikir seperti ini sangat banyak
sekali, coba mau muntah apa lagi wong isi perut sudah dari dulu sering
muntah.. ”
Sudahlah, itu bukan urusan saya, saya
hanya rakyat biasa yang harus berjuang mencari nafkah yang halal,
sehalal-halalnya agar berkah bisa diraih, meski banyak yang kirim pesan
atau japri ke Whatsapp tentang tema-tema politik dan meminta
saya tidak memilih salah satu calon karena alasan yang menurut saya
sudah sangat klasik, saya tetap konsen bagaimana setiap hari bisa
memperbaiki diri dan keluar dari ketidakwarasan menuju yang waras. Sebab
kalau waras kita bisa memilih jalan yang tepat bahkan jalan hidup ini
bisa kita pandang dengan bijak dalam bidang politik dan ekonomi.
Contohnya saya dapat kiriman bahwa
pemerintahan Saudi Arabia memberikan sanksi ke Indonesia terkait masalah
quota pengurangan haji jika salah satu paslon yang tidak disukainya
menang. Apakah ini waras namanya?, black campaign?, belum lagi
sebuah doa dalam tulisan bahasa Arab dan ada nama salah satu paslon yang
dibelakangnya disemakkan kata Laknat. Kejam ngak?, bukankah nabi
pernah berdoa agar orang-orang kafir itu kembali kepada jalan yang
benar?. dan aneh, ada yang bukan nabi doanya sangat kejam. ck…ck…ck
Waras itu bukan karena banyaknya pengikut
atau karena banyaknya duit yang mengalir dari seorang politisi tapi
karena akal sehat yang fitri itu merobek dinding-dinding penghalang
kemanusiaan sehingga jelas bisa kita saksikan apa yang sebenarnya
terjadi dari sebab-akibat di lingkungan sosial ini. Bahkan jika ada
oknum yang memakai jubah agama, jika kita waras kita mampu melihatnya
dengan jelas, karena sifat waras ini mampu menganalisis dengan tajam
setiap gerakan para politikus yang licin, bahkan yang lebih licin dari
belut, gimana?, semoga kita termasuk dalam barisan orang-orang yang
waras.
Namun, yang namanya manusia biasa
senantiasa bisa lemah, tak berdaya, dan bahkan dengan banyaknya masalah
yang bertubi-tubi bisa mempengaruhi psikis, akan tetapi, lagi-lagi kalau
masih ada niat waras mendekati agama, maka kita bisa dapatkan
kebijaksanaan yang luar biasa, minimal sadar diri, dan sadar diri ini
juga namanya waras, sadar bahwa kita-kita ini yang perlu dibela oleh
agama, bukan dengan pedenya menjadi pembela.
Bukankah nabi Yusuf yang begitu tinggi kedudukannya dan banyak kemuliaan yang bersandar padanya pernah berdoa “Ya
Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian
kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya
Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Surat Yusuf , ayat 101)
Lihatlah, seorang nabi saja berdoa agar
akhir hayatnya tetap dalam keadaan Islam dan bergabung dengan
orang-orang saleh, kalau kita amati doa itu sepertinya nabi Yusuf tidak
pede (sepertinya, jangan disalahartikan ya), maka itulah beliau berdoa.
Nah bagaimana dengan orang-orang yang merasa pede dengan agama yang
disandangnya?, sehingga menghabiskan banyak waktunya berkoar-koar di
sana-sini tanpa peduli lagi dengan keadaan sosial yang terjadi di negeri
ini?, berempati pada masyarakat kecil?, seperti pada kasus wanita yang
miskin dan sakit di awal paragraf yang saya tuliskan, padahal dia juga
umat, dan masih banyak keadaan-keadaan yang perlu dibantu dengan
energi-energi yang besar, tapi sayangnya energi itu habis di aksi demo,
lunglai di persidangan, dan terkeok-keok dan terpencar-pencar mencari
“kenikmatan beragama” sendiri-sendiri, padahal agama adalah kebersamaan,
sama-sama makhluk Allah, dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Yang disana masih gontok-gontokkan,
sementara yang disini bisa rileks dulu menjalankan ritual dengan high
class, “Asyik nikmatnye.. masalah sosial?, ahh.. itu takdir, bilang aje
loe kepingin juga naik pesawat dan umroh dengan nyaman kan?”
Pagi-pagi sekali teman curhat tentang
rumah kontrakannya yang masih ngos-ngosan bayarnya, dan dia sangat
kepikiran bahwa “apa benar ada yang jual rumah tanpa DP dan harganya
terjangkau buat orang seperti saya?, yang gajinya sebulan 2 jutaan?”,
tentu saja teman saya ini akan gembira jika bisa dapat sepetak rumah
yang sederhana saja, tapi setelah ia hitung-hitung ia malah jadi makin
stress, apalagi tanah di Jakarta saja sudah wow…seperti menunggu
mukjizat bagi teman saya untuk mendapatkannya. Seandainya teman saya ini
kurang waras mungkin sudah menjual “akidahnya” demi mendapatkan rumah
di dunia yang hanya sementara, namun ia bisa krisis sehingga ia hanya
berpikir bagaimana caranya bisa melaju semakin waras dan waras.
Ketika melintas di sebuah perlintasan
kereta api, saya mendapatkan spanduk jihad, tidak hanya satu, ada
beberapa tempat, seperti ini.
Lalu, saya berpikir bahwa Jihad itu yang
bagaimana sih, apakah hanya seorang ulama sudah mewakili semua orang
Islam?, lantas bagaimana dengan ulama yang pernah dihina di social media
seperti KH Mustofa Bisri?, kenapa ngak ada seruan jihad? atau ulama
sekaliber Prof. Quraish Shihab yang pernah difitnah?, nah, lagi-lagi
akal sehat harus aktif melihat semua ini, mulai spanduk hingga
konten-konten di social media wajib dicermati, jangan-jangan memang
nadanya provokasi agar bangsa ini dipaksa mengikuti keinginan segelintir
orang yang mengaku paling suci. Agama bukan paksaan. agama bukan bahan
gertakan, dan agama bukan menjauhkan manusia dari cerdas menuju
kebodohan tapi agama mengajak menjadi INSAN KAMIL.
Mari kita cek dan renungkan hadist-hadist berikut ini :
"Jihad yang paling utama adalah seseorang
berjihad [berjuang]melawan dirinya dan hawa nafsunya", maka hadits ini
derajatnya shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr
Radhiyallahu anhu. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ad-Dailami.
Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih
Al-Jami’ush-Shaghîr, no 1099, dan beliau menjelaskannya secara rinci
dalam Silsilah Ash-Shâhihah, no. 1496.
Syaikh ‘Abdur-Razaq bin Abdul-Muhsin
Al-Badr –hafizhahullah– berkata,”Jika kaum Muslimin melalaikan jihad
melawan diri sendiri, mereka tidak akan mampu jihad melawan musuh-musuh
mereka, sehingga dengan sebab itu terjadi kemenangan musuh terhadap
mereka”.(Khuthab wa Mawa’izh min Hajjatil-Wada`, Syaikh Abdur-Razaq bin Abdul-Muhsin Al-Badr, hlm. 53)
Kemudian beliau menukil perkataan
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Bilamana orang-orang
kafir menang (atas umat Islam, Red.), maka tidak lain, sesungguhnya hal
itu dikarenakan dosa-dosa kaum Muslimin yang menyebabkan iman mereka
berkurang. Kemudian, jika kaum Muslimin bertaubat dengan menyempurnakan
iman mereka, maka Allah pasti akan menolong mereka”.Majmu’ Fatâwâ (11/197). Lihat pembahasan ini dalam Silsilah Al-Ahâdits Adh-Dhâ’îfah (5/478-481), karya Syaikh Al-Albâni. Lihat juga kitab Laisa min Qa-ulin-Nabi, Dr. Muhammad Fu-ad Syakir, Maktabah Auladisy-Syaikh lit-Turats, Cetakan I, tanpa tahun, hlm. 108.
Fiuhh…lelah juga melihat energi bangsa ini
“mengelepar-gelepar”, yang saling kontras atau bertentangan sama-sama
saling berkata “DEMI NKRI, DEMI BANGSA INDONESIA”, tapi kenapa masih
ribut kalau sama-sama cinta Negeri ini?, dan syarat Jihad itu adalah
menunddukkan ego diri, kalau sudah bisa menundukkan ini, semoga negeri
ini makin indah dengan harmoniasi.
Jadi saya tidak membela si A atau si A,
baik si Agus, SI Ahok atau Si Anies, tapi saya hanya membela orang-orang
yang waras, yang tidak doyang fitnah, dan tidak doyang dengan provokasi
dan tidak doyang tipu-tipu rakyat kecil hanya karena ingin menampilkan
dirinya menjadi gubernur lima tahunan, karena bagaimana pun kebusukan
itu dibungkus tetap akan tercium juga, jadi secara waras kenapa kita
memilih bau busuk kalau ada bau harum?, bukankah bau harum itu
menyenangkan?, bukan begitu kura-kura?, Duh..ikut-ikutan seperti kura
saya, hehee.
Salam waras.
Oleh: Haerul Said
0 komentar:
Posting Komentar