Radikalisme, Ekstirimisme dan Terorisme merupakan suatu kesatuan substansi yang menurut masyarakat luas berhubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan ada beberapa kelompok social yang menunjukan bahwa tiga istilah ini merupakan hal yang bersifat negative dan layak untuk dihindari. Jika dilihat dari sisi definisi, ketiga terma ini sangatlah berbeda. Menurut kamus Oxford Living Dictionaries,
Radikalisme merupaan bentuk kepercayaan atau aksi dari sekelompok individu yang menyuarakan reformasi social atau politik kepada masyarakat; Ekstrimisme merupakan kepercayaan terhadap pandangan-pandangan/interpretasi ekstrem dari ajaran politik atau agama (fanatisme); sedangkan terorisme merupakan aksi indimidasi dan kekerasan secara illegal, terutama terhadap masyarakat sipil, dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan politis.
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria/Islamic State of Iraq and Levant/Daesh) merupakan salah satu kelompok teroris yang merumuskan ketiga terma tersebut dalam suatu organisasi yang mereka yakini sebagai pemahaman yang benar dalam pandangan ilmu agama Islam yang mereka telah salah menginterpretasikannya (menerjemahkan manuskrip Al-Qur’an dan Hadist secara Zahir dan tidak menggunakan metode Qiyas). Hasilnya adalah pandangan Jihad yang salah diartikan oleh kelompok ini. Sebelumnya, Al-Qaeda juga menyimpang dalam mengartikan dan memahami ideology Islam dan memproklamirkan diri sebagai Islam fundamentalis yaitu penganut ajaran Islam hingga ke akar. Hal ini kemudian dibesar-besarkan oleh beberapa media dan menimbulkan manufakturasi pikiran (manufacturing consent) mengenai grup terorisme yang condong kepada Islam konservatif dan memojokan pemeluk agama Islam padahal ada beberapa kelompok terorisme yang tidak membawa nama-nama agama dalam aski terorisme mereka.
Dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Indonesia Berbicara, kami dapat menyimpulkan beberapa pertanyaan yang timbul dari tema ini:
- Jikalau aksi terorisme bisa berangkat dari latar belakang mana pun, maka apakah akar dan penyebab dari aksi terorisme itu sendiri?
Terorisme tidak selalu berakar dari radikalisme atau ekstrimisme. Tetapi ekstrimisme bisa menjadi awal motivasi untuk melakukan terorisme yang kemudian menstimulasi perilaku radikal terhadap suatu paham yang diyakini bisa mengubah suatu sistem yang selama ini dianggap telah gagal atau hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem tersebut. Namun, karena sila pertama dari Pancasila berhubungan dengan agama dan nilai-nilai beragama telah menjadi darah daging dalam berkehidupan berbangsa di negeri ini, ada beberapa orang atau organisasi yang akhirnya menggunakan terma agama untuk mensukseskan aksi terorisme yang dilatar belakangi oleh stigma ekstrimisme terhadap suatu ajaran tertentu.
Dengan kata lain, ketiga terma tersebut bersifat anti perbedaan yang sangat bertentangan dengan nilai utama keberagaman di Indonesia, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu. Agar bisa melaksanakan terorisme, beberapa kelompok radikal di gunakan dan diberikan pengertian atau edukasi yang salah terhadap sistem (pemerintahan) yang telah ada dan juga diberikan pemahaman yang salah terhadap agama yang dianutnya (karena agama memiliki pengaruh yang besar di Indonesia).
Tidak hanya itu, ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam globalisasi membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menyaring setiap informasi yang diterima dan jika dikaitkan dengan rendahnya keinginan masyarakat Indonesia untuk membaca membuat Indonesia langsung menelan mentah-mentah setiap informasi yang belum tentu benar dalam hal isi informasi serta sumber informasi tersebut.
Kesenjangan social dan ekonomi juga bisa memicu adanya aksi-aksi terror di Indonesia dan bisa membuat aksi-aksi terorisme menjadi lebih kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan berbangsa. Dari kesenjangan social ekonomi tersebut munculah rasa heroistik untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap senasib dengan orang tersebut. Dari latar belakang tersebut, orang-orang yang dituju kemudian diradikalisasi dengan penanaman doktrin-doktrin dasar dari sebuah pemahaman atau ideology. Kemudian pemikiran yang sudah dibangun dikorelasikan dengan pemikiran kelompok yang menyebabkan kebencian atau proses ekstrimisasi. Setelah itu muncullah rasa heroic yang akhirnya menimbulkan pergerakan aksi yang tidak sesuai dengan standar norma atau aksi terorisme.
- Bagaimanakah solusi dari permasalahan tersebut?
Solusi secara umum
Pendidikan moral yang tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari orang tua yang menjadi actor pendidikan terdekat dari seorang anak. Disini juga dapat terlihat bahwa pendidikan agama yang benar akan membuat pemahaman moral lebih ditekankan sehingga tidak membawa kepada aksi terorisme. Tidak hanya itu, memposisikan atau meperlakukan seseorang atau kelompok secara sama di mata hukum tanpa membeda-bedakan kepentingan juga dapat mencegah terjadinya terorisme yang didalangi oleh ekstrimisme dan radikalisme.
Solusi untuk Kondisi di Indonesia
Komunikasi yang intensif kepada setiap lapisan dan golongan masyarakat dapat mengurangi keinginan untuk melakukan kegiatan yang bersifat terror. Komunikasi ini sebaiknya dijalankan terlebih dahulu oleh pemerintah melalui pembuatan kurikulum dasar tentang multikulturalisme yang seharusnya diterapkan sejak dini. Dari komunikasi yang dijalankan, dapat diketahui nilai-nilai yang diyakini dan ciri-ciri dari setiap kelompok yang ada di Indonesia, kemudian dari situ pemerintah bisa menitikberatkan pada saling menghormati terhadap nilai-nilai dari setiap kelompok dan tidak membenci kelompok yang berbeda dengan nilai atau prinsip yang kita yakini. Sehingga tidak ada lagi gap atau pemisah antar kelompok karena setiap kelompok adalah sama dimata hukum.
0 komentar:
Posting Komentar