Konstelasi politik jelang pemilihan presiden (pilpres) 2019, kian menghangat. Joko Widodo (Jokowi), tetap menjadi calon presiden (capres), terpopuler. Yang paling dinanti publik, siapa sosok yang akan menjadi pendamping mantan Walikota Solo di pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Sederet figur mulai mencuat. Hasil survei versi Indikator Politik Indonesia, ada sejumlah nama yang masuk bursa favorit cawapres Jokowi. Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menempati urutan puncak.
Menariknya, nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, masuk nominasi. Eks Gubernur DKI Jakarta yang kini berstatus terpidana kasus penistaaan agama, ikut difavoritkan menjadi pendamping Jokowi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian, juga tembus nominator kandidat idola calon orang nomor dua di Indonesia.
Dari hasil survei yang dikerucutkan menjadi 8 nama, Basuki Tjahja Purnama mendapatkan 17 persen , Gatot Nurmantyo 14 persen, Ridwan Kamil 11 persen, Sri Mulyani 9 persen, Tri Rismaharini 8 persen, Tito Karnavian 6 persen, Puan Maharani 2 persen dan Luhut Binsar Pandjaitan 1 persen
Namun ketika dikerucutkan menjadi tiga nama, Gatot Numantyo unggul dengan 25 Persen disusul Sri Mulyani Indrawati 24 persen dan Tito Karnavian 12 persen. Sementara 39 persen responden belum menentukan pilihan. “Mereka lebih diunggulkan sebagai tokoh yang paling pantas mendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden 2019 mendatang," ungkap peneliti Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi saat merilis hasil survey di kantornya, Jl Cikini V, Jakarta Pusat, Rabu (11/10) kemarin.
Survei Indikator Politik Indonesia ini telah dilaksanakan pada 17-24 September 2017 dengan metode multistage random sampling, melibatkan responden sebanyak 1220 orang. Margin error survei ini +/- 2,9 % dengan tingkat kepercayaan 95 %. Respons yang terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih.
“Yang ditanyakan dalam survey, siapa yang paling pantas menjadi Wapres Jokowi pada pilpres 2019 mendatang. Dan nama-nama itu yang mencuat. Tapi di survei 8 nama ada 38 persen responden yang tidak menjawab. Dan di 3 nama terakhir, 39 persen responden belum menentukan pilihannya ,” tandasnya.
SMI CAWAPRES ALTERNATIF
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan
Situasi ekonomi, politik, dan hukum bangsa akan menentukan pendampung Jokowi di Pilpres 2019 mendatang. Jika kondisi politik stabil, maka sosok cawapres yang tepat dinilai adalah figure yang menguasai ekonomi.
Sebab Jokowi sebagai inkumben dinilai fokus pada pertumbuhan ekonomi. Nama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) disebut sebagai sosok yang tepat sebagai cawapres bagi Jokowi.
Demikian tanggapan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya. Ia merujuk pada langkah yang diambil Presiden SBY saat meminang Gubernur BI Boediono sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2009 lalu. “Untuk fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, dia tarik Boediono. Tapi itu dalam kondisi politik sudah stabil," papar Yunarto.
Sebaliknya, jika situasi politik belum stabil, figur cawapres yang layak untuk mendampingi Jokowi dinilai berasal dari institusi pertahanan dan keamanan. Dalam hal ini, Yunarto menyebut nama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. "Tergantung pada situasi politik, ekonomi, dan internal dari apa yang terjadi. Tapi kalau ditanya tiga nama besar ya itu, Gatot, Tito, dan SMI," kata Yunarto.
Menurutnya, ada tiga pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi dalam sisa dua tahun masa jabatannya. Ketiga hal ini krusial untuk dikelola dengan baik jika Jokowi ingin kembali memenangkan pertarungan pada Pemilihan Presiden 2019 nanti.
"Yang pertama tentu saja kita berbicara pencapaian di bidang ekonomi sebagai kebutuhan mendasar bagi semua pemilih," kata Yunarto.
Sementara ada tiga hal yang dianggap menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pertama, perlambatan ekonomi global yang belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. "Kondisinya memang tidak sebaik dulu ketika SBY masuk di periode kedua tahun 2008-2009. Kondisi eksternal lebih sulit," urainya lagi.
Kedua, ambisi di bidang infrastruktur membutuhkan anggaran yang sangat besar. Dalam hal ini, kata Yunarto, kebijakan publik yang menyangkut masyarakat kecil kadangkala dikorbankan.
Sebagai gantinya, pemerintah banyak memberikan subsidi yang sifatnya bantuan tunai kepada masyarakat. Yunarto menyebut kebijakan semacam ini ibarat memberikan ikan tetapi tidak memberikan pancing. "Bagaimana kemudian pemerintah dilihat tetap memiliki keberpihakan pada masyarakat kecil," ujarnya.
Masalah ekonomi juga terjadi di level masyarakat menengah ke atas, terutama menyangkut pajak. Yunarto menyampaikan pajak progresif seringkali mengorbankan aktivitas di sektor swasta yang tidak terbiasa dengan tarif pajak tinggi.
Selain ekonomi, persoalan politik dan hukum masih menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi hingga 2019 nanti. Di bidang politik, kata Yunarto, Jokowi memiliki pekerjaan rumah untuk meredam upaya sekelompok pihak yang memainkan politik identitas. Isu yang sudah dimainkan sejak kampanye pemilihan presiden 2014 itu harus diredam agar tidak memunculkan konflik horisontal dan masyarakat merasa politik tidak stabil. Dampaknya, kata Yunarto, pemerintah bisa saja dianggap gagal.
Di bidang hukum, Yunarto menitikberatkan tantangan ada pada pemberantasan korupsi. "Dalam konteks KPK, kita tahu masih ada stagnasi karena pertarungan politik yang membelit Jokowi, terutama di level DPR dan partai-partai pendukungnya sendiri," pungkasnya.
PILPRES SEKARANG, JOKOWI MENANG
Popularitas Jokowi masih berada di puncak. Tingkat kepercayaan publik terhadap mantan Gubernur DKI itu masih tinggi. Hasil survey, Indikator Politik Indonesia, menyebut tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK masih mencapai 60,3 persen.
Sehingga jika Pilpres digelar saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia dinilai akan memilih Jokowi. Itu juga berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia medio 17-24 September 2017.
Dari pertanyaan, siapa yang akan mereka pilih jika pilpres dilakukan sekarang, sebanyak 34,2 persen responden memilih Jokowi. Prabowo Subianto, tetap menjadi kandidat pesaing Jokowi. Dalam survey Prabowo menduduki peringkat kedua dengan 11,5 pesen.
Disusul Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Hary Tanoesoedibjo , Gatot Nurmantyo, Basuki Tjahaja Purnama, Agus Harimurti Yudhoyono (0,5%), Anies Baswedan, dan Jusuf Kalla.
"Dengan dukungan terhadap Jokowi saat ini tidak berbeda dengan tahun lalu, Agustus 2016. Namun demikian, dukungan terhadap Prabowo sedikit menguat dibandingkan Agustus 2016," kata peneliti Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi
Tidak sampai di situ, Muhtadi mengatakan pihaknya kemudian mengurutkan menjadi 6 nama dan 2 nama jika pilpres dilakukan sekarang. Pada simulasi 6 nama, Jokowi mendapatkan suara 53,3 persen, disusul Prabowo 26,6 persen, Anies Baswedan 3,5 persen, Gatot Nurmantyo 2,9 persen, Sri Mulyani 0,8 persen, dan Tito Karnavian 0,5 persen. Sebanyak 10,4 persen responden memilih tidak menjawab dan tidak tahu.
Untuk simulasi nama, antara Jokowi dan Prabowo, 58,9 persen responden akan memilih Jokowi dan 31,3 persen akan memilih Prabowo. Sebanyak 9,8 persen memilih tidak menjawab dan tidak tahu. "Responden 9,8 persen sepertinya mengharapkan ada alternatif figur di pilpres," ucapnya.
Selain itu, Jokowi unggul dalam simulasi head to head dengan Prabowo. "Prabowo tidak bisa diremehkan mengingat selama tiga tahun terakhir Prabowo belum melakukan aktivitas sosialisasi secara memadai," tandasnya.
JOKOWI: JANGAN PECAH KARENA PILPRES
Presiden Jokowi ikut angkat bicar menyikapi situasi politik yang kian memanas jelang Pilpres maupun pilkada serentak yang akan dihelat 2018 hingga 2019 mendatang. Masyarakat diajak untuk menjaga kerukunan dan tidak mudah terprovokasi oleh isu sesat.
"Saat pilkada ada yang ngomporin, masyarakat panas. Ada yang manasin isu, masyarakat panas," ujar Jokowi saat membagikan sertifikat tanah untuk warga se-Tangerang Raya di Lapangan Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (11/10) kemarin.
Jokowi mengingatkan pemilu, baik di daerah maupun nasional, hanyalah kontestasi 5 tahunan. Jadi jangan sampai kegiatan itu malah memecah bangsa. "Pilih pemimpinmu yang terbaik, coblos, sudah. Itu hak pilih, silakan," kata Jokowi.
Perpecahan di masyarakat hanya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Jadi masyarakat jangan mau diadu domba. "Jangan hanya karena pilihan bupati, wali kota, gubernur, presiden, kita jadi pecah. Tidak! Jangan sampai rusak hubungan antartetangga, antarkampung," lugas Jokowi dengan nada tinggi.
Sebagian masyarakat dinilai sering lupa, bahwa mereka adalah saudara sebangsa. Jadi tak ada alasan untuk kemudian bermusuhan hanya karena pilihan politik. "Jangan korbankan, gara-gara pilihan bupati, wali kota, gubernur, presiden kita jadi pecah. Tidak! Negara ini negara besar, jangan hanya pilihan bupati, wali kota, gubernur, presiden, pecah persaudaraan kita," timpalnya.
Sebelumnya, Jokowi ketika dimintai tanggapan terkait hasil surveyi yang menunjukkan tingginya tingkat kepuasan masyarakat atas kinerjanya, ditanggapi dingin. "Hasil yang ditunjukkan survei itu harus memacu kami untuk bekerja lebih keras lagi," ujarnya.
"Tugas kami adalah bekerja keras dan saya beserta seluruh kabinet akan terus bekerja keras karena memang tugas kita bekerja. Tentang penilaian baik atau tidak, kami serahkan ke masyarakat," tandasnya.
Terpisah, juru bicara Istana Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo menganggap tingginya elektabilitas Presiden Jokowi merupakan dampak dari kepercayaan publik. Sebab menurutnya, kedua hal itu berhubungan. "Hasil survei yang menunjukan tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi masih tinggi. Jadi, selama menjalankan roda pemerintahan, Presiden Jokowi diapresiasi publik," kunci Johan.(dtc/tmp)
0 komentar:
Posting Komentar