Demo lagi. Aksi lagi. Membosankan. Terakhir aksi 299. Sejak dua bulan lalu kegaduhan semakin marak, dengan ide nonton bareng film G30S/PKI. Publik melihat dengan gemes karena kelihatan di permukaan Jenderal Gatot Nurmantyo bermain politik. Publik dan partai pun terkecoh. Publik lupa bahwa Presiden Jokowi bukanlah politikus sejati, yang justru bisa bersikap dan bertindak melebihi para politikus. Langkah dan sikap Jokowi dan Gatot merupakan langkah menyikapi seluruh perkembangan politik makro dan strategi Pilpres 2019, terutama menguatnya Islam radikal.
Untuk menghancurkan gerakan Islam radikal yang bermain di tataran politik, maka tiada lain adalah dengan melakukan pemetaan yang pas. Sejak masa 2014 Jokowi telah memahami upaya merebut kekuasaan dengan menggunakan politik identitas Islam radikal. Obor Rakyat yang didanai oleh mafia Petral Riza Chalid, dan penghinaan-penghinaan terhadap Jokowi, yang para pembelanya dibela oleh Fadli Zon, menjadi petunjuk awal gerakan itu.
Namun Presiden Jokowi bertindak ekstra cerdas. Jokowi tidak bertindak gegabah. Tidak terpancing. Justru Jokowi membangun dengan meloloskan UU ITE, mengatur tentang hate speech, dan melawan dengan strategi lainnya. Pada awalnya pembiaran ini dianggap sebagai kelemahan Presiden Jokowi. Jokowi tidak bergeming.
Aliansi antara kelompok Islam radikal dan partai politik seperti Gerindra dan partai agama PKS, dan PAN serta SBY semakin solid dan tampak kokoh. Puncak dari menguatnya aliansi ini adalah DPR menghambat revisi UU Anti Teoris yang memberi kekuasaan kepada TNI dan Polri bertindak seperti Malaysia dan Singapura yang memiliki ISA (internal security act), yang bisa digunakan untuk menumpas teroris sedari awal sebelum bom diledakkan. Tentu ini membuat rakyat was-was dankhawatir. Strategi Jokowi jalan terus.
Langkah pertama Jokowi adalah memisahkan Golkar dari KMP untuk memotong irisan nasionalis dan agama. Jokowi hanya akan membiarkan Gerindra dan PKS, serta dukungan minor dari PAN dan Demokrat. Pemecahan ini semakin menyolidkan kebersamaan Gerindra dan PKS menjadi semakin dekat dengan Islam radikal.
Puncak peristiwa dan menjadi jebakan sekaligus blessing in disguise adalah ketika Islam radikal memanfaatkan kriminalisasi Ahok. Parpol sejenis dan sealiran kepercayaan seperti PKS, PAN, Demokrat, bersatu padu menyatu dengan Islam radikal.
Meraka bersama FUI, GNPF-MUI, dan tentu FPI dan mulai menebarkan secara nyata strategi politik identitas Islam radikal, Jakarta Bersyariah, Indonesia Bersyariah, bahkan Khilafah, mereka mengusung mimpi-mimpi tersebut sebagai alat manarik dukungan dari para pemilih.
Saking hebatnya bau harum identitas kampanye mimpi surga Islam radikal ini, ormas hebat seperti Muhammadiyah pun tergeret bermain dalam politik identitas ini dengan corong congor Din Syamsuddin dan Simanjuntak – yang ternyata culun tidak memahami esensi dan roh gerakan.
Demo berjilid-jilid semakin menampakkan kekuatan lawan dan kawan. Sejak awal demo 411 sampai 212 sampai 313,lalu 217, adalah alat pemetaan bagi Presiden Jokowi, Polri, TNI, dan BIN. Banyak yang ditangkap dan menjadi tersangka makar. Kini mereka diam.
Selain itu, yang harus ditundukkan adalah penyebaran isu, hoax, dan adu domba yang dilakukan oleh musuh politik Jokowi yang menjadi agenda kampanye Pilpres 2019. Untuk melawan itu, terkait tiga isu utama yang digunakan oleh mereka yakni PKI, intoleransi, dan pemelintiran berita, Jokowi harus berhati-hati. Untuk dua terakhir Jonru, Alfian Tanjung, Asma Dewi, Saracen, dan lanjutannya telah menjadi pesakitan. Tinggal PKI.
Untuk isu PKI ini, jebakan yang dilontarkan oleh Jokowi adalah dengan melepaskan berita tentang PKI oleh pimpinan tertinggi TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Jebakan ini dimakan mentah oleh partai agama PKS,oleh Prabowo yang bertemu dengan Jenderal Gatot dan para purnawirawan, bahkan oleh Amien Rais yang menyetir dan memelintir hendak mengadu domba antara TNI dan Polri.
Memang jebakan ini sangat bisa berisiko jika tidak terkendali. Ide lontaran untuk nobar film G30S/PKI dari Jenderal Gatot menjadi alat delegitimasi terhadap isu PKI. Bahkan, Jokowi sendiri ikut nonton film G30S PKI karena Presiden Jokowi adalah Panglima Tertinggi TNI, yang jelas membawahi Jenderal Gatot Nurmantyo.
Akibat akrobat ini, peristiwa aksi 299 dan nobar film G30S/PKI hanya menjadi gambaran dan tontonan hancurnya isu PKI sebelum Pilpres 2019. Kenapa? Kini publik paham betul siapa penggerak dan penyebar isu PKI itu. Survei sangat jelas isu tentang PKI ini adalah mainan dan kebahagiaan bagi para pendukung Prabawo dan PKS yang dihuni sebagaian besar adalah kaum Bumi datar. Juga para ormas Islam radikal FPI, FUI, dan ormas lain yang sebagiannya menjadi bagian mereka seperti Muhammadiyah, misalnya. Bukti keradikalan mereka adalah Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pun, kini tampak sekali kendali Republik Indonesia berada di tangan Presiden Jokowi dengan kekuatan pemerintahan Panglima TNI, Polri, BIN, lembaga negara lain dan dukungan rakyat solid melawan Islam radikal. Publik pun tenang berbagai maneuver Jenderal Gatot Nurmantyo hanyalah suatu strategi besar untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam sejarahnya TNI belum pernah bersekutu dengan kalangan Islam radikal.
TNI adalah yang menumpas Permesta,PRRI, DI/TII, dan bahkan PKI. Maka mimpi PKS dan Gerindra dan FPI dan Amien Rais untuk menarik Jenderal Gatot untuk diiming-imingi jabatan mimpi capres atau cawapres musnah sudah. Jenderal Gatot Nurmantyo ada di dalam kesatuan pemerintahan Presiden Jokowi. Salam bahagia ala saya.
0 komentar:
Posting Komentar