Sejak awal memang terasa, terlihat serta aneh, dimana segerombolan kaum bumi datar tergabung dalam aksi 299, melakukan protes terhadap Perppu Ormas dan melawan kebangkitan PKI akan tetapi malah meminta agar HTI tidak dibubarkan.
Disini letak kegagalan dalam penafsiran, mengapa ‘gagal’ karena mereka menggunakan standar ganda dalam melihat Perppu Ormas. Nah, satu hal yang tidak bisa kita pungkiri bahwa Perppu ormas ini harus dilihat dari sebab akibat munculnya Perppu ini.
Jika ditinjau secara mendalam maka sebab adanya Perppu Ormas ini karena adanya ancaman ‘dari dalam’ sehingga negara wajib membuat sebuah kekebalan untuk menjaga NKRI dari ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Jadi, tak uslah teriak anti PKI tapi tak anti HTI. Jika benar mereka anti PKI maka seyogyanya mereka mendukung Perppu Ormas sebab cakupannya sebenarnya bukan ormas Islam saja, tapi juga komunis, organisasi radikal lainnya yang berbasis selain Islam.
Saya sepakat dengan pernyataan pakar hukum tata negara dan tata kepentingan (menurut saya) Yuzril mengatakan Perppu Ormas bisa saja menjadi senjata untuk membubarkan Nahdatul Ulama.
Jika Nahdatul Ulama ingin merdeka sendiri dan mengancam keutuhan NKRI kenapa tidak? Sebab disitulah fungsi yang subtansial dari Perppu Ormas, namanya juga ‘kekebalan’ atau sistim imun.
Misalnya dalam tubuh NKRI, Nahdatul Ulama sebagai salah satu organisasi masyarakat terbesar dan berpengaruh di Indonesia lantas berubah dari bakteri baik, menjadi virus yang berbahaya maka secara otomatis sistim imun (Perppu Ormas) akan bekerja sebagaimana tugas dan fungsinya sebagai sistim imun atau kekebalan tubuh NKRI. Sebagai tentara tubuh maka ia (Perppu) harus melumpuhkan segala aktivitas NU sebagai virus yang mengancam kesehatan NKRI.
Tapi Pak Yuzril harus membuat sebuah cacatan khusus bahwa sejak lahirnya NKRI, posisi NU jelas dan negara harus berterimakasih terhadap kontribusi NU dalam menjaga dan merawat NKRI itu sendiri. Ia tampil sebagai ‘imun’ bagi NKRI, maka tak heran jika NU selalalu mengambil bagian dari sejarah anti NKRI dari PKI hingga HTI, NU sebagai ‘imun’ selalu melakukan perlawanan demi keutuhan tanah dan air yang dititipkan oleh para leluruh kita.
Lantas ada apa menolak kebangkitan PKI lalu mendukung HTI dengan berteriak ‘cabut Perrpu Ormas’, disinilah letak salah kaprah dan gagal logika. Jangan karena sistim imun yang bekerja dengan hasil kinerja pertama kali adalah ormas Islam yang dilumpuhkan pertama kalinya, yang dalam hal ini adalah HTI, maka disinilah timbul niat untuk menggoreng ini untuk menghadapkan agama dengan negara dan negara menjadi pemberontak agama.
Mereka hanya ingin menggiring opini bahwa seolah-olah pemerintah abai dengan ormas-ormas non Islam lainnya yang juga bersifat radikal. Padahal Perppu itu harus dilihat secara utuh bahwa Perppu tersebut adalah tentara bagi siapa saja, entah itu PKI sampai HTI yang terlihat anti demokrasi tetapi berharap pada demokrasi, yang terlihat mencintai NKRI tapi mengusung ideologi khilafah islamiyah.
Parhnya lagi mereka meminta agar DPR mengintervensi Polri untuk menghentikan kriminilisasi terhadap aktivis Islam. Nah, harusnya mereka menggunakan logika dan akal sehat mereka untuk membedakan dengan baik, mana disebut kriminal dan mana yang disebut kriminalisasi.
Penegaka hukum itu tak pandang bulu, tak pandang ketiak, tak pandang warna rambut, bentuk rambut hingga jenis kawat gigi itu yang harus mereka dukung sebab Islam sebagai agama mayoritas justru mengajarkan untuk berbuat adil walaupun kepada yang bukan segolongan dengannya. Jikalau ada aktivis entah itu beragama Islam, Budha, Hindu, yang melakukan tindakan kriminal, ya mau tak mau, suka tak suka memang harus ditindak.
Sebab keadilan harus ditegakkan sebagaimana ajaran agama Islam, kita sepakat bahwa siapa pun dia tidak boleh kebal terhadap hukum, lantas tolak ukur mana untuk bisa dijadikan dasar guna membedakan mana kriminalisasi dan kriminal murni.
Jawabannya sangat sederhana yaitu jadikan hukum sebagai panglima, lalu biarkan pengadilan yang bekerja, di pengadilanlah kalian berbicara dan membuktikan jangan malah lari dari panggilan kepolisian, itu namanya perbuatan yang tidak pantas dan tidak etis apalagi yang tidak memenuhi panggilan kepolisian dengan cara kabur tak ada kejelasan. Eh, malah teriak ‘anti PKI’, meminta pemerintah untuk mengekan hukum sementara ia sediri tak mau diproses hukum. Itulah yang disebut salah kaprah dan gagal logika.
Intinya menolak kebangkitan PKI wajibnya hukumnya dengan aktivitas HTI, segala bentuk ideologi yang akan mengacam negara. Paham komunis dan Khilafah adalah paham yang targetnya adalah menguasai negara. Olehnya itu, sudah saatnya kita berkata “tidak’ untuk PKI dan HTI. Okelah jika ada yang berkata ‘HTI tidak korupsi, tidak angkat senjata’. Nah, sederhananya lebih baik angkat senjata dari pada strategi bawah tanah melalui doktrin-doktrin NKRI toughut hingga demokrasi prodak kafir.
Sebelum wafat, KH Hasyim Muzadi pernah berkata di ILc, dalam diskusi ‘Isis mengancam kita’ beliau secara tegas berpesan bahwa ada upaya membenturkan agama dan negara, dengan menjadikan negara sebagai penindas agama dan agama sebagai pemberontak negara. Bahkan diakhir pembicaraannya beliau berpesan “Ambil Islamnya, bukan budayanya (arab) dan transnasionalnya yang lebih bermakna politis.
Saya pikir sepenggal bahasa Pak Kiai sat itu dimana kamrea televisi tvOne sempat menyorot Ismail Yusanto saat beliau menyidir “jangan ambil transnasionalnya” sudah cukup untuk menjawab orasi Ismail Yusanto dalam aksi 299 kemarin. Dalam aksi tersebut terekam kamera salah satu televisi dimana Ismail Yusanto tetap mengklaim bahwa khilafah adalah milik seluruh umat Islam, jika memang iya lantas kenapa banyak negara Islam yang melarang Hizbut Tahrir beraktivitas?
Sudahlah, berhentilah berutopia belaka den demonstrasi yang membuang energi umat, mari kita bekerja dan berdoa menurut keyakinan kita masing-masing agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejaterah dan diberikan rahmat dan ampunan dari Tuhan yang kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar