Cari Blog Ini

Rabu, 01 November 2017

Ini Perbedaan dan Persamaan ‘Jas Merah’ Soekarno dan ‘Jaket Merah’ Jokowi

Bagi para pembaca yang belajar sejarah, bukan sumbu pendek, dan bukan penikmat berita Saracen, tentu kita tahu motto yang pernah dikumandangkan oleh Soekarno, Jas Merah. Apa itu ‘jas merah’? Sebelum saya menjelaskan apa arti jas merah, mari kita simak apa yang menjadi sifat unik dari presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
History is His Story – James Packer
Soekarno suka sekali dengan singkatan-singkatan. Beberapa singkatan yang dibuat di era Soekarno yang saya tahu cukup banyak. Ada yang memang dari kalimat panjang ke sebuah singkatan secara langsung, ada pula dari kata dasar, dan dibuat cukup menarik oleh Soekarno. Ini adalah ide jenius Soekarno, yang rasanya ditularkan sebagian kepada saya, sebagai salah satu pengagumnya. Saya pun suka membuat jembatan keledai, untuk mempermudah saya mengingat sesuatu. Terima kasih Bung Karno!
Singkatan-singkatan yang dbuat di antaranya adalah Nefo, Oldefo, Maphilindo, Petani, Berdikari, Manipol USDEK, Nasakom. Nekolim. Sebenarnya masih banyak lagi jargon-jargon yang dibuat oleh Soekarto di dalam pidatonya, termasuk Jas Merah.
Ini kepanjangan-kepanjangan yang dimaksud:
Nefo: New Emerging Force. Oldefo: Old Emerging Force. Maphilindo: Malaysia, Philipina, Indonesia. Petani: Penyangga Tatanan Negara Indonesia (Keren sekali ya!). Berdikari: berdiri di atas kaki sendiri. Manipol USDEK: Manifesto politik yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Nasakom: Nasionalisme, agama, komunisme (Saya baru tahu, Komunisme sempat menjadi primadona pada saat Soekarno, yang dihancurkan oleh Soeharto). Nekolim: Neo kolonialisme dan imperialisme. Jas Merah: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.
There is nothing new in the world except the history you do not know. – Harry S Truman
Semboyan jas merah yang terkenal itu diucapkan pertama kalinya oleh Soekarno dalam pidato terakhirnya di dalam HUT RI tanggal 17 Agustus 1966, setelah kasus besar G30S terjadi, katanya karena didalangi oleh Soeharto. Sampai saat ini jargon ini sering kita dengar. Sebagai bangsa dan negara yang berdikari, bagaimana mungkin kita bisa meninggalkan sejarah kita?
Tentu meninggalkan sejarah tidak mungkin terjadi. Namun saya sangat yakin bahwa teriakan Soekarno yang sudah wafat, justru sedang mengajak bangsa kita yang sedang meninggalkan sejarah dan mengikuti propaganda orba, kembali kepada sejarah Indonesia yang sebenarnya.
Di mana sejarah Indonesia yang sebenarnya? Yang pasti, sejarah yang beredar di bumi Indonesia ini, sangat tidak subjektif, dan cenderung memiliki sifat propaganda untuk membesar-besarkan seseorang. Inilah yang dikatakan Sukmawati Sukarnoputri, bahwa rezim Orde Baru pandai dalam memelihara trauma. Jika ingin belajar sejarah, maka tidak sedikit orang-orang Indonesia yang mengirim dirinya atau dikirim ke Belanda, di sebuah universitas yang cukup terkenal dalam membahas sejarah Indonesia.
Universitas Leiden menjadi salah satu tempat untuk mempelajari sejarah. Mengapa harus ke luar negeri? Karena setidaknya, pencatat sejarah dari luar negeri terlihat jauh lebih objektif, karena tidak ada kepentingan-kepentingan yang dijaga. Setelah Soekarno meneriakkan jas merah, sekarang giliran Pak De Jokowi dengan kostum jaket merahnya yang digunakan pada saat nobar film yang dianggap propaganda orde baru, yakni Pengkhianatan G30S PKI.
Apa arti dari jaket merah Jokowi? Mungkin Jokowi tidak menyuarakan hal tersebut. Namun izinkan saya untuk melakukan interpretasi sederhana mengenai kostum jaket merah tersebut. Jika jas merah artinya “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, maka jaket merah artinya “Jangan keterlaluan mempermainkan sejarah!”.
Sejarah yang sudah begitu suram di Indonesia, rasanya harus juga direvolusi. Mengapa? Jelas karena kesalahpahaman rakyat Indonesia terhadap sejarah sudah masuk ke tahap yang mengkhawatirkan. Lihat saja isu-isu PKI yang diembuskan bisa sampai nyasar ke Pak De Jokowi, dan juga isu-isu antek asing dan aseng yang diembuskan, bisa nyasar ke orang yang sama.
Lihat saja Ahok yang dizalimi karena ketidak tahuan para laskar atas kalimat yang sebenarnya diucapkan, dan diedit oleh Buni Yani. Saya berharap sekali bahwa Buni Yani bisa dipenjara lebih lama dari Ahok. Tuntutan JPU kepada Ahok 1 tahun dan diperpanjang oleh vonis hakim 2 tahun. Bagaimana jika tuntutan JPU kepada Buni Yani 2 tahun, diperpanjang sampai 4 tahun? Matematikanya sederhana bukan? Indonesia butuh orang-orang seperti Jokowi dan Ahok!
Betul kan yang saya katakan?
Jika pembaca Seword ingin melihat dan menikmati buah pemikiran saya yang lainnya, silakan klik link berikut:

0 komentar:

Posting Komentar