Cari Blog Ini

Rabu, 01 November 2017

Gemar Mengkafirkan ? Begini Kritik Bung Karno Dan Jokowi Tentang Fenomena ini

Syahdan, Bung Karno (BK) pun merasa gerah dengan kerapnya pemuka-pemuka agama melontarkan fatwa kafir dan menganggap kafir orang atau kelompok yang berbeda. Bahkan tak hanya itu, perjuangan Bung Karno bersama founding father yang lain demi tegaknya nasion Indonesia tak luput dari tuduhan kafir.
Dalam surat-surat Islam dari Endah (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
“Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, Bukan Api Islam yang menyala-nyala, Bukan amal Islam yang mengagumkan, tetapi...dupa dan korma dan jubah dan celak mata ! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar,-dia, dialah yang kita namakan Islam. Astaghfirullah! inikah Islam? inikah agama Allah? yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke up-to-date-an? yang mau tinggal mesum saja, kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal naik onta dan makan zonder sendok saja, seperti di zaman Nabi dan khalifah-nya.”
Dus, fenomena kafir mengkafirkan memang bukan hal yang baru. Bahkan apabila kita menelisik sejarah agama-agama, akan banyak kita temukan satu kelompok mengkafirkan kelompok lainnya. Itu tidak terjadi dalam relasi antar agama, namun lebih dari itu kerap juga terjadi dalam hubungan internal agama bersangkutan.
Di tanah air sendiri yang kerap menjadi korban dari praktek semacam ini adalah kelompok Ahmadiyah (JAI) dan Syiah. Dua kelompok ini sering mendapatkan persekusi dari kelompok-kelompok intoleran yang kerap mengatasnamakan mayoritas umat Islam. Persekusi terhadap mereka biasanya dilatar belakangi oleh fatwa-fatwa yang menyebut bahwa mereka adalah kelompok sesat dan menyesatkan. Dalam hal ini fatwa MUI tidak bisa dianggap sepi. Dalam berbagai kesempatan, pelaku persekusi selalu mendasarkan sikap dan tindakan pada Fatwa yang diterbitkan MUI ini.
Peristiwa tragis yang menimpa JAI terjadi di beberapa daerah, namun yang tergolong sadis dan merobek kemanusiaan adalah peristiwa di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Provinsi Banten pada 6 Pebruari 2011 lalu. Ribuan massa menyerang sebuah rumah milik anggota JAI. Akibat penyerangan ini, tiga orang tewas, sementara dua mobil, satu motor, dan satu rumah, hancur diamuk massa.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah satu dasawarsa lebih puluhan kepala keluarga anggota JAI mengungsi dan menempati tempat pengungsian di Asrama Transito tanpa kejelasan yang pasti. Hal serupa dialami kelompok Syiah di Sampang Madura pada 26 Agustus 2012 lalu. Ratusan orang menyerang rumah Ustad Tajul Muluk dan mengancam mengusir warga Syiah dari Sampang. Warga Syiah meski jumlahnya sedikit tidak rela begitu saja diusir dari kampung halamannya dan melakukan perlawanan. Akibatnya, satu orang warga Syiah tewas dengan luka sabetan dan bacokan.
Pada sekitar setelah maghrib, yaitu pukul 18.30 WIB sejumlah warga syiah dievakuasi oleh pihak kepolisian di Gedung Olahraga Sampang. Sedang ratusan warga syiah yang lain berlari bersembunyi ke hutan dan persawahan yang berada di sekitar rumah mereka. Total data warga syiah yang dievakuasi ke Gor Sampang sampai Senin (27/8) pagi adalah 51 orang laki-laki dewasa dan 56 orang perempuan dewasa (beritasatu.com).
Dari tahun ke tahun, praktek kafir mengkafirkan tidak pernah berhenti. Bahkan ekskalasinya semakin meningkat. Contohnya di DKI pada Pilgub yang baru saja lalu. Warga muslim yang mendukung Ahok dilabeli dengan tuduhan murtad, kafir dan munafik. Tuduhan yang begitu renyah dan mudah dilontarkan lantaran perbedaan pilihan politik. Agama dengan mudah dan murahnya dijadikan jualan untuk memojokkan pihak-pihak tertentu.
Inilah yang juga menjadi kekhawatiran Presiden Jokowi. Seperti dilansir dari laman tribunnews.com, "Sekarang ini saya lihat banyak sekali fenomena yang gampang mengafirkan orang," ujar Jokowi dalam acara penutupan Multaqa IV Alumni Al Azhar se-Indonesia di Gedung Islamic Center, Kota Mataram, NTB Kamis (19/10/2017).
Jokowi melihat, paham radikal itu berkembang seiring dengan berkembangnya penyebaran ajaran melalui media sosial. Salah satunya adalah melalui situs berbagi video YouTube. Sayangnya, tidak ada sebuah mekanisme untuk memfilter seluruh proses penyebaran paham radikal di media sosial tersebut. Akibatnya, konten negatif pun tetap dapat diakses oleh netizen.
"Pertanyaannya, siapa yang menyaring? Siapa yang screening bahwa yang disampaikannya itu benar dan bukan pendapat pribadi, bukan tafsir pribadi?" ujar Jokowi. Oleh sebab itu, Jokowi mengajak masyarakat untuk sama-sama memfilter konten di media sosial.
Kesimpulannya, praktek kafir mengkafirkan tidak boleh dianggap enteng. Sebab jika dibiarkan begitu saja, maka NKRI yang plural dan Bhineka Tunggal Ika akan menjadi slogan semata. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok intoleran semakin bersimaharajela dewasa ini.
Sumber :

0 komentar:

Posting Komentar